http://winest-wirmayani.blogspot.com/2013/04/budaya-galau-mahasiswa-vs-tipologi-dosen.html

Senin, 05 Desember 2016

Melawan Takut

Selamat malam Penciptaku, hari ini aku ingin mengucapkan terima kasihku kepadaMu sebelum aku melewati gelapnya malam ini. Aku ingin mengatakan kepadaMu betapa aku bersyukur atas apa yang telah kulihat, temui dan rasakan. Semua itu membuatku semakin dewasa, mengajarkanku untuk lebih bijak. Aku percaya tak ada sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Semua itu terjadi karena kehendakMu.

Bulan ini adalah salah satu periode yang penting dalam catatan harianku. Aku yang dikenal sebagai sosok lembut dan melankolis ini beberapa minggu terakhir memiliki pengalaman yang jauh berbeda dari sebelumnya. Kawan atau kerabat dekatku tahu benar jika aku adalah tipikal orang yang mengagumi kedamaian, keanggunan dan kecerdasan. Sudah menjadi barang pasti bahwa aku membenci kekacauan, kekasaran dan kebodohan.  Oleh karena itu, bagi siapapun yang menyandang apa yang kubenci itu, sudah sangat pasti mereka masuk dalam daftar hitamku. Jangankan bergaul, melihat orang yang berwajah sangar saja sudah berbagai hal negatif yang bersarang dalam pikiranku. TAPI itu dulu. Sekali lagi itu dulu sebelum aku tahu dan berhadapan dengan orang-orang berikut.

Belakangan ini, aku dan beberapa kerabat yang terhimpun dalam sebuah organisasi sosial yang mengabdi dalam bidang pendidikan. Kami melakukan kegiatan mengajar di lingkungan yang terbilang tak biasa. Lingkungan yang berbeda dan juga kelompok orang yang sangat berbeda dari pengalamanku sebelumnya. Ya, kelompok orang yang masuk dalam daftar hitamku. Seperti yang kutulis di awal tadi, aku membenci kekacauan, kekasaran dan kebodohan. Tapi inilah karmaku bertemu dengan mereka. Aku memberikan pelayanan pendidikan kepada narapidana di salah satu lembaga pemasyarakatan di Palu. Pelayanan pendidikan itu berupa kegiatan mengajar baik secara formal maupun informal.  Tubuh penuh tatto, kaki terluka oleh tembakan timah panas, bibir hitam legam dan raut wajah sangar adalah serangkaian pemandangan menyeramkan yang selalu terguguhkan di hadapanku. Melihat hal demikian, terang saja nyaliku terpincut dan rasa nyamanku tergerus. Belum lagi setelah mengetahui kasus mereka, ada yang terlibat narkoba; baik itu pemakai atau pengedar, begal, pembunuhan; baik itu pembunuhan biasa bahkan pembunuhan berencana. Oh My Godness!!

Awalnya aku tak begitu yakin bisa menghadapi mereka apalagi melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Rasa takut dan stigma negatif yang berlebihan membuatku tak nyaman berada diantara mereka. Suatu ketika aku berada dalam kesadaran spiritual primaku. Saat itulah aku berpikir bahwa aku harus berhadapan dengan mereka tanpa peduli apapun latar belakangnya. Aku menjadikan ini semua sebagai sebuah tantangan untuk diriku. Tak mudah bagi seorang introvert plus melankolis melakukan hal ini. Berbekal Ilmu Komunikasi, walaupun tak begitu akrab dengan aspek praktisnya, aku ingin memberikan yang terbaik dari diriku.
Foto Bersama

Sepuluh, limabelas menit berlalu, tak ada sepucuk senyumpun yang terlintas di wajah mereka. Beberapa pasang mata itu hanya fokus memandang ke arahku, mendengarkan dan mungkin juga membaca raut wajahku yang menyiratkan kegelisahan. Aku sempat berpikir, sebegitu “garing”nyakah aku hingga tak bisa mencairkan suasana, tak bisa membuat mereka tersenyum? Atau karena kekhawatiranku pada mereka yang akan melakukan tindakan-tindakan kurang baik terhadapku sehingga tampak pada raut wajahku yang tidak bersahabat hingga akhirnya membuat mereka menjadi kurang nyaman? Hmmm.. bisa jadi. Aku pamit ke luar sebentar mengambil air mineral, mengatur nafasku, lalu kembali ke kelas. Apa yang terjadi? Tak lama berselang setelah itu, aku berhasil menghadirkan senyum mereka, bahkan tak jarang tertawa cekikikan pun kerap terdengar. Begitulah seterusnya hingga waktu belajar usai.

Pada pertemuan kedua, mereka sudah menunjukkan keterbukaannya, berani bercerita tentang dirinya kepadaku. Mereka cukup kooperatif dan komunikatif, walau ada beberapa diantara mereka memiliki latar belakang pendidikan yang belum cukup baik sehingga sulit baginya untuk memahami makna sebuah kalimat ataupun istilah. Tapi itulah tantangan, itulah tugasku untuk membuatnya paham. Sekedar informasi, beberapa dari kisah hidup mereka berhasil mengetuk hatiku dan membuatku jauh lebih bersyukur atas hidup yang kumiliki. Mereka adalah sosok yang kuat, terlepas dari segenap pelanggaran hukum yang mereka lakukan. Belum tentu aku bisa sekuat mereka jika aku berada di posisinya.
Menulis Essay


Well, semua ini adalah pelajaran baru buatku. Sebuah pelajaran yang membuatku bertambah dewasa dan mengajarkanku untuk bersikap lebih bijak. Sebelumnya tak pernah terpikir olehku bisa berbaur dengan mereka yang dengan kondisi demikian karena terlalu banyaknya stigma negatif yang bersarang di kepalaku. Tapi setelah  menjalin komunikasi dengan mereka, stigma negatif itupun perlahan memudar. Aku ingin membagikan sebuah advice kepada kita semua yang aku peroleh dari mereka. Jangan karena kita benar lalu dengan mudahnya kita menganggap salah seseorang. Jangan karena mereka tak sama dengan orang kebanyakan lalu dengan mudahnya kita memberi penilaian bahwa mereka salah. Terkadang kita menganggap salah atau buruk seseorang karena kita belum pernah ada di posisi mereka, belum pernah menjalani hidup seperti yang mereka jalani. So, stay positive and be wise!

Minggu, 18 September 2016

Why Do Spain? (Special “Baper” Edition)


Barcelona dan Madrid merupakan dua kota yang identik dengan cabang olahraga yang memiliki banyak penggemar diseluruh belahan dunia. Mendengar kedua nama itu pasti langsung terbersit di benak mostly people tentang tim sepak bola di Spanyol. Apakah saya juga termasuk fans club Barcelona atau Madridista atau penggemar sepak bola-lah? No, I don’t.
² Backsound: We Are The One - Pitbull ft Jenifer Lopez²

Belakangan ini Spanyol menjadi destinasi yang sedang saya upayakan untuk dikunjungi. Bukan untuk urusan persepak-bolaan tentunya, tapi kepentingan akademik. Salah satu perguruan tinggi di Spanyol berhasil menyita perhatian saya. Reputasi, iklim akademik, sistem pendidikan, kondisi alam, budaya, kualitas jurusan-pengajar-lulusan yang berstandar internasional, serta banyaknya publikasi ilmiah yang dihasilkan oleh universitas ini menjadikan hati dan pikiran saya tertambat dan ingin segera menjadi bagian dari mereka. Bisa dikatakan saya telah jatuh cinta dengan kampus beserta seluruh komponennya itu. 
² Backsound: Gaudeamus Igitur²

But wait, jurusan apakah itu dan mengapa harus disana? Kalau soal jurusan/major, masih rahasia dong, yang jelas bukan Fisika. Mengapa harus disana? Karena di kampus itu, jurusan XYZ (sebut saja begitu) adalah salah satu jurusan XYZ terbaik di Eropa, bahkan dunia. Atas keyakinan bahwa saya benar-benar telah jatuh cinta dengan kampus beserta seluruh komponennya itu, maka sesegera mungkin saya akan “melamarnya”. Bukankah demikian seharusnya sikap anak muda yang dewasa menyikapi hubungan? Tak perlu berlama-lama pacaran. Kalau sudah yakin, langsung lamar. Kelar!! Mau tunggu apa lagi? Oops, sepertinya ada yang baper <bagi-bagi tissue>.
²Backsound: Marry Your Daughter – Brian McKnight²

Sudah selesai, kan bapernya? Yuk kembali ke topik. Lalu, apa saja yang perlu disiapkan untuk hal itu? Pertama, kamu harus sehat jasmani dan rohani. Jomblo nggak jadi masalah. Toh, jomblo bukan penyakit, kan? So, you are possible, guys <big smile>. Kedua, kamu harus punya sertifikat penguasaan atas bahasa asing, dalam hal ini TOEFL atau IELTS. Buat kamu yang terlalu sering menggunakan bahasa kalbu, bahasa gaul, atau bahasa cinta yang berbunga-bunga (hingga layu), yuk luangkan sedikit waktu untuk belajar bahasa internasional, at least English!

Ketiga, kamu harus lulus S1/sederajat. Nah kalau kamu baru lulus TK, SD, SMP, lebih baik kamu permantap dulu kemandirianmu. Mulai dari cuci baju sendiri, masak sendiri, makan sendiri dan hidup sendirian. Oops..  <jomblo life>. Keempat, kamu harus both lulus beasiswa and kampus/jurusan yang dituju. Jika belum berhasil, coba lagi! Kamu kan sudah terlatih patah hati. Ditinggal tanpa alasan aja kamu sudah biasa, masa’ untuk urusan pendidikan kamu mau nyerah? Jangan sampai lah ya. Keep trying till you invited in your eks’s wedding. #aaauuoooo <I think will poisoned by those single loner people>.
²Backsound: Send My Love - Adele²

Kelima, kamu harus mendapat restu atau izin dari keluarga. Jika kamu pergi tanpa seizin mereka, dikhawatirkan kamu akan dikirimi paket yang berisi kartu keluarga dan correction pen (yang biasa kamu sebut tip’eks itu lho) untuk menghapus sendiri namamu dari daftar keluarga <jleb!>. Penting juga buat kamu untuk minta izin kepada pemilik warung langgananmu sebelum kamu berangkat kesana. Pastikan bahwa hutangmu sudah lunas. TAPI, tolong garis bawahi yang satu ini, jangan sekali-kali kamu minta izin ke pacar apalagi suami/istri. Nggak guna, useless, mubazir! Tanya kenapa? Ya karena kamu gak punya pacar, terlebih suami/istri <sadar Mblo, sadar>.
²Backsound: Daylight – Maroon Five²

Keenam, ini poin yang paling penting, kamu harus berani dengan ketinggian. Sebab, dari Indonesia hingga Spanyol, kamu akan diterbangkan dengan pesawat, bukan dengan bayangan masa lalu. Jangan sampai kamu phobia akan ketinggian, kamu lalu membuka kaca jendela pesawat dan terjun bebas ke alam semesta beserta isinya. Jangan sampai kamu phobia akan ketinggian, kamu jadi mendadak epilepsi (epilepsi=ayan, gak pakai “W”; kalau Wayan, itu nama saya). Kan kasihan awak pesawatnya ngurusin kamu yang menggelepar-gelepar sekarat di kabin. Kalau kesabaran mereka sudah di ujung tanduk, bisa-bisa kamu dibuang lho. Kalau sudah begitu, yaudah, selamat menembus atmosfer berlapis-lapis, terbang bersama paus akrobatis, menuju rasi bintang paling manis <korban iklan>. Atau saking takutnya akan ketinggian, kamu jadi kesurupan. Iya, kesurupan mantan (the most eerie word), karena begitu tingginya harapanmu kepadanya. #aaauuoooo <woles mblo>. Maka dari itu mengapa penting sekali buatmu untuk menaklukkan rasa takut akan ketinggian.
²Backsound: Stitches – Shawn Mendes²

Demikianlah catatan singkat atau boleh juga disebut tips umum buat calon awardee beasiswa postgraduate. Walau kontennya tak sinkron dengan judulnya, izinkan saya mengucapkan banyak terima kasih kepadamu yang telah membuang-buang waktu untuk membaca tulisan ini. Buat kalian yang tengah berjuang mengejar impian, good luck! Keep your spirit up! God bless us.  See ya...

²Backsound: Find You - Zedd ft Matthew Koma, Miriam Bryant²

Rabu, 01 Juni 2016

Ketika Satu Usapan Jidat Bisa Memanggil Memory 1992




“Luh, sehat-sehat disana? Selalu perhatikan jidatmu itu, jangan sampai panas. Ibumu titip salam, katanya rindu dengan jidat dan pipimu.” Begitulah kira-kira kalimat yang selalu Bapak sematkan entah itu via suara atau pesan singkat. Beberapa hari lalu juga saya dihubungi oleh sepupu saya katanya ayahnya menitip salam rindu untuk jidat (dahi) saya. Memang, jidat dan saya adalah dua hal yang terlalu sulit dipisahkan. Tak heran, jika bertemu saya, mereka selalu meluangkan waktu untuk mengusap jidat saya yang luas, yang bisa mengingatkan mereka akan peristiwa tahun 1992 silam. Bahkan pada saat menjelang akhir hayatnya, nenek saya masih menyempatkan diri mengusap jidat saya. Ada apa dengan jidat saya? Apakah ada kandungan hal-hal mistis? Jawabannya, tentu saja tidak.

Bulan ketujuh dua puluh empat tahun silam, keluarga saya diliputi kebahagiaan. Bahagia karena sebentar lagi cucu/anak pertama mereka akan lahir ke dunia. Bisa dibayangkan bagaimana senangnya ketika baru pertama kali rumah akan diramaikan oleh tangisan seorang bayi. Semua keluarga saya (keluarga dari pihak Ibu dan Bapak), sangat menantikan hal itu. Hal-hal yang berkaitan dengan kelengkapan bayi, sudah lengkap mereka persiapkan dalam rangka menyambut bayi mungil yang sebentar lagi menjadi anggota keluarga mereka. Baju bayi, sarung tangan dan kaki, beserta bedak, tak usah ditanya lagi. Begitu mereka bertutur.  Ternyata das sein dan das sollen selalu saja tak sejalan. Kebahagiaan mereka seolah semu, berbalik 360 derajat setelah melihat kondisi si ibu yang memprihatinkan, serta si bayi mungil yang baru kira-kira 10% merasakan udara di bumi, yaitu hanya sebatas kepalanya saja, lebih tepatnya hanya bagian jidat (tidak termasuk alis). Siapapun yang berada disana saat itu, refleks mengeluarkan air mata dan doa pun mengalir begitu saja dari mulut mereka. Itu adalah hari yang mengharukan. Antara rumah akan ramai dengan suara tangisan bayi atau akan kehilangan dua nyawa sekaligus.

Peralatan medis yang terbatas, membuat si ibu hamil tak bisa diberikan pertolongan di desa saat itu, terlebih karena kondisinya sudah sangat parah. Bidan desa pun angkat tangan akan kasus ini. Lalu si ibu hamil dan bayi yang baru 10% menjadi anggota penduduk planet bumi itu dilarikan ke puskesmas kecamatan. Mungkin nasib baik belum berpihak kepada kami, hingga si ibu hamil itu tidak juga berhasil mengeluarkan 90% lagi dari bagian tubuh si bayi dari rahimnya. Lagi-lagi keterbatasan peralatan medis menjadi kendalanya. Semuanya kini pasrah, kecuali almarhum kakek dan paman saya. Si ibu hamil beserta bayi yang malang itu lalu di bawa ke RSU. Undata Palu, setelah 2hari dan tiga malam si ibu hamil merasakan sakit yang luar biasa dan jidat si bayi malang itu sudah membiru. Yang lebih memprihatinkan lagi, air ketubannya sudah habis.

Tak sampai hitungan jam, dengan peralatan medis yang cukup canggih dimasa itu, kecemasan mereka dibayar dengan tangisan lirih seorang bayi perempuan dengan berat 356gr. Kesedihan mereka seketika berubah menjadi kebahagiaan tiada tara ketika melihat bayi perempuan serta ibunya yang juga terlihat sehat, seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya. Hanya saja jidat si bayi masih terlihat kebiruan. Dua hari tiga malam terjepit di pintu keluar bukanlah hal yang mudah. Begitu juga dengan si ibu yang kuat menahan sakit selama itu hingga bisa melahirkan normal. Mereka merupakan tim yang solid. Sama-sama bertahan dan berjuang untuk tetap hidup.

Itulah kisah singkat seputar jidat. Itu pula sebabnya mengapa mereka selalu merindukan untuk mengusap jidat saya kapanpun. Sentuhan terhadap jidat itu bisa mengingatkan mereka pada tahun 1992, betapa cemas dan gembiranya mereka memiliki cucu, anak, keponakan untuk pertama kalinya. Itu pula yang menjadi penyebab mengapa saya terlalu sulit mendapat izin untuk bekerja atau sekolah di luar Sulawesi Tengah. Rindu tak bisa diobati dengan suara di telpon, katanya. Terkhusus orang tua saya, selain saya hanya anak perempuan satu-satunya dari mereka, saya juga menjadi kesan tersendiri bagi mereka ketika berhasil melewati masa-masa sulit bersama. Semoga Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Tahu, Pengasih dan Penyayang itu selalu menyertai kita sekalian.

Senin, 02 Mei 2016

Tuhan, Apakah Saya Berbohong?



Tuhan, apakah saat ini Engkau sedang menatap ke arah saya? Engkau Yang Maha Tahu pasti dengan tepat bisa menebak apa gerangan yang tengah saya rasakan. Tuhan, saya pikir saya sudah bisa seratus persen melupakan perasaan-perasaan aneh itu, tapi ternyata saya sedikit keliru. Saya jadi gagal fokus ketika berhadapan dengan seseorang yang mempunyai banyak kemiripan dengan makhlukMu yang sulit didefinisikan itu.

Beberapa kali saya mencoba untuk mengingatkan diri saya bahwa semua itu sudah berlalu, kejadian lampau yang tak perlu dikenang atau diulang sekalipun. Tapi apa? Memori saya akan peristiwa itu terulang kembali. Bukankah Engkau telah menghapuskan rasaku terhadapnya? Tapi mengapa ketika berhadapan dengan hal demikian ada yang berubah? Tuhan, apakah cara saya yang salah? Atau selama ini saya berharap dan berkesimpulan terlalu jauh, memaksa nurani saya untuk mengatakan bahwa saya sudah bisa melupakannya? Atau mungkin saya juga menahan ilmu gengsi ketika makhlukMu yang sulit didefinisikan itu meminta maaf kepadaku beberapa waktu lalu?

Tuhan, saya gagal paham. Bagaimana tidak, hampir tiap hari saya melihat, bertemu, bertegur-sapa, dan terlibat kerjasama dengan seseorang yang memiliki keidentikan dengan makhlukMu yang sulit didefinisikan itu. Mulai dari warna kulit, senyum khas, tempo bicara, bentuk rahang, tulang pipi, postur tubuh dan hampir semua karakteristiknya memiliki kesamaan. Bagaimana caranya agar semua itu tidak mengingatkan saya kepadanya?


Tuhan, jika Engkau berkenan, tolong ajari saya cara paten untuk melupakan cerita lampau itu. Saya sudah mencoba sebisa mungkin untuk melupakannya, tapi baru dihadapkan dengan ujian dengan hadirnya seseorang yang mirip makhlukMu yang sulit didefinisikan itu saja, pertahanan saya langsung melemah. Mungkinkah cara saya yang kurang maksimal? Tuhan, saya lelah. Saya ingin berhenti sejenak dari aktivitas yang terlalu menguras hati itu. Tuhan, maukah Engkau mendengar pertanyaan terakhir dariku hari ini? Apakah saya telah membohongi diri sendiri dengan berpura-pura melupakannya?

Sabtu, 26 Maret 2016

Ketika Hidup Memberimu Ratusan Alasan untuk Menangis, Tunjukkan Bahwa Kamu Punya Ribuan Alasan untuk Tersenyum



Sore itu Palu diguyur hujan.  Tumben. Sejauh ini Palu cerah terus.  Hujan yang sebagian anak muda mengidentikkannya dengan keromantisan, agaknya berbeda denganku. Dulu, aku memang bersahabat dengan hujan, tapi semunya berubah ketika negara api menyerang. Oops.. Pria bersajaha yang sangat peduli denganku belakangan ini melarang agar aku tak terlalu dekat dengan hujan. Ia berpotensi membuatku demam yang tentu saja menggelisahkan pria kesayanganku itu. Siapakah dia? Ya, siapa lagi kalau bukan Si Bapak.

Oh iya, waktu itu aku lagi apes-apesnya. Sudah terserang demam, tidak ada orang di rumah, persediaan snack habis, kotak obat tidak tahu disimpan dimana, pulsa amblas dan modem rusak. “Hmm.. kelar hidup gue” gumamku dalam hati. Mau tidak mau, dengan menggunakan mantel ekstra tebal, masker, kaos kaki, celana panjang yang disusun dua lapis, aku meraih payung pelangi yang berdiameter cukup lebar dan pergi ke kios depan rumah untuk membeli sejumlah kebutuhan. Seandainya ada pulsa, aku mungkin bisa meminta pertolongan kepada sahabat ataupun tetanggaku. Tapi apalah dayaku, mereka semua seolah kompak tak berfungsi pada saat-saat kritis seperti saat itu.
Sesampainya di kios, aku membeli minuman cokelat serbuk yang akan kuseduh dan mungkin bisa membuat tubuhku berkeringat. Tak lupa juga aku membeli obat demam, pulsa, beserta snack seadanya. Beginilah kalau jauh dari orang tua dan tak ada siapa-siapa di rumah. Ngenes. Mungkin ini semua yang dikhwatirkan oleh Ibuku sehingga ia tak pernah merestuiku untuk pergi bekerja atau kuliah di luar kota.

Aku meraih kembali payungku yang semula kuletakkan di beranda kios. Aku berjalan tertatih-tatih melawan pergolakan dalam tubuhku. Kemudian perhatianku tertuju pada empat orang anak berpakaian serba panjang. Tiga perempuan dan satu laki-laki. Mereka kehujanan sepulang dari mengaji. Mungkin karena efek demam dan juga rintik hujan yang deras, suaraku jadi tak terlalu keras sehingga mereka tak mendengar panggilanku. Sambil mempercepat langkahku, aku mengulang memanggilnya hingga akhirnya mereka mendengar suaraku. Aku menginstruksikan mereka berempat agar berlindung di payungku. Mereka mengiyakan, walau kami belum saling mengenal. Aku menuntunnya ke tempat tinggalku dan berteduh disana, sebab kondisiku tak memungkinkan untuk mengantar mereka satu per satu ke rumahnya. Setidaknya, mereka bisa berteduh dan tidak kehujanan di jalan. Aku tahu benar, bagaimana paniknya orang tuaku jika anaknya sakit. Begitu juga aku jika dalam keadaaan sakit, betapa tidak mengenakkannya, seperti demamku saat itu.

Beruntung tadi aku membeli sejumlah minuman coklat serbuk, jadi cukup juga untuk mereka. Aku menghampirinya di teras yang sebelumnya telah aku instruksikan untuk beristirahat disana. Sambil menyerahkan empat cangkir Milo hangat dan sejumlah makanan ringan untuk mereka, aku menanyakan apakah mereka punya nomor telepon orang tua yang bisa aku hubungi. Dua dari mereka hafal nomor telepon orang tuanya, sedangkan yang dua lainnya menyatakan tidak tahu, akan tetapi orang tua mereka saling mengenal. Lalu aku hubungi kedua orang tua mereka jika anak mereka ada bersamaku. Tak lupa aku beritahukan alamatku yang letaknya juga tak begitu jauh dari kediaman mereka. Orang tuanya menanyakan identitasku. Aku bisa menangkap kewaspadaannya. Belakangan ini memang sering tersiar kabar banyak terjadi kekerasan terhadap anak. Wajar jika mereka berhati-hati kepada orang yang belum dikenalnya. Setelah aku beritahu identitasku, mereka berterima kasih kepadaku dan mengatakan akan segera menjemput anak mereka.

Aku berbincang-bincang kepada mereka. Kami mengenalkan diri satu per satu. Mereka duduk di bangku kelas empat dan lima Sekolah Dasar. Tak jarang juga terdengar canda tawa diantara kami. Aku berusaha tampak sesehat dan seceria mungkin agar mereka merasa berkawan dan merasa diperhatikan. Aku melihat diriku sewaktu kecil dari mata mereka. Ya Tuhan, beginilah aku sewaktu kecil. Suka main hujan-hujanan, bermain hingga lupa waktu, menarik ingus tanpa rasa jaim. Betapa ringan dan polosnya jadi anak-anak. Aku tersenyum lebar kepada mereka. Aku juga ingat ketika terjebak hujan sepulang dari les saat SD. Saat itu aku lapar, sedangkan rumah masih jauh dan malu singgah berteduh di rumah orang yang tak dikenal. Lalu, apa bedanya aku dengan mereka? Mungkin mereka merasakan hal yang sama. Sepulang mengaji, pastilah mereka lapar.

Aku berpamitan ke dapur dan meninggalkan mereka berempat di teras. Tak butuh waktu lama buatku untuk membuat nasi goreng sederhana yang hanya berlaukkan telur dadar, potongan sosis serta taburan bawang goreng dan pilus di atasnya. Sebenarnya aku suka selera pedas. Selain itu, sensasi pedas juga bisa membuatku cukup berkeringat bila dalam kondisi demam begini. Akan tetapi mengingat anak-anak itu, aku urungkan niatku dan hanya membuat nasi goreng biasa, tanpa cabai. Aku pun kembali menemui mereka dengan sajian nasi goreng buatanku. Aku mempersilahkan mereka mengambil sendiri makanannya dan tak lupa mengingatkan mereka untuk berdoa sebelum makan. Ternyata dugaanku benar. Mereka lapar, sama sepertiku saat pulang les waktu SD. Mereka dengan lahapnya menyantap nasi goreng sederhana itu dan menambahkannya kembali setelah nasi di piringnya habis. Dalam hati aku merasa sangat bahagia melihat mereka makan begitu lahap. Berebut telur, salah mengambil gelas temannya, saling icip-icip nasi di piring temannya padahal rasanya sama, lomba cepat-cepatan makan and just like that. Ya Tuhan, aku seperti bercermin.

Hingga kami selesai makan, orang tua mereka belum juga menjemputnya. Memang saat itu hari masih hujan. Apa sebegitu yakinnya mereka dengan orang yang belum dikenalnya ini hingga mereka mengulur waktu sedemikian lama untuk menjemput buah hatinya? Sambil menunggu jemputan, kami berbincang-bincang kembali. Tentang sekolah, tempat mengaji, superhero, hingga seputar princess. Tak semuanya kumengerti akan hal yang mereka ceritakan. Terkadang aku hanya ikut-ikutan tertawa walau tak mengerti dimana letak lucunya. Dalam keheningan, salah seorang dari mereka melontarkan tanya kepadaku “kenapa kakak baik sama kita?”. Lalu disambung oleh seorang lainnya: “iyo, kan kak Irma beda agama dengan kita. Kita Islam dan kak Irma Hindu”.

Ya Tuhan, anak-anak adalah fase makhlukMu yang paling polos. Aku tersenyum kepada mereka dan menjelaskan jika kita harus berbuat baik kepada siapa saja. Aku katakan, berbuat baik adalah suatu kewajiban, walaupun tidak saling mengenal. “Kak Irma baik sama kalian karena kita semua bersaudara. Walau beda agama tapi kita sama-sama tinggal di Indonesia. Kita gak boleh pelit. Kita wajib saling tolong menolong. Kak Irma yakin kalian juga anak-anak yang baik. Nah, Kak Irma gak mau anak-anak baik seperti kalian sakit karena hujan-hujanan. Kalian juga sering-sering berbuat baik ya. Berbuat baik itu seru kok” aku mencoba memberi penjelasan kepada mereka.

Sekitar belasan menit setelah itu, satu dari orang tua mereka datang dan disusul oleh orang tua yang satunya. Aku menyambut mereka dengan baik. Mereka berterima kasih kepadaku telah menjaga anak-anaknya. Mereka juga tambah berterima kasih setelah anak-anak itu sambung-menyambung bercerita kepada orang tua mereka jika aku telah menjamu mereka dengan secangkir Milo hangat dan sepiring nasi goreng. Aku hanya tersenyum simpul kepada mereka dan seraya menyambut uluran tangannya ketika mereka hendak bergegas pulang. Sakitku terasa sedikit berkurang setelah bertemu dengan anak-anak itu.

Berselang beberapa hari setelah kejadian, ketika aku pulang ke rumah usai beraktivitas, salah seorang di rumah lalu menyerahkan sebatang coklat pasta kepadaku. “Ini e ada Choki-Choki untuk kau”. Aku langsung menyambar cokelat mini itu lalu tersenyum mengejek dan berkata: “Hah, cuma satu? Pelit amat lu” celetukku. “Eh bukan dari saya itu. Tadi ada anak-anak bajilbab yang datang antar, dibilang untuk Kak Irma. Apamu diakah?” Aku menepuk jidat. Ya ampun, pasti itu salah satu dari anak-anak yang berteduh saat hujan lalu. Aku ingin berterima kasih kepada anak itu. Ternyata sekecil apapun kebaikan kita, akan diingat oleh orang, terutama anak-anak yang sarat akan kepolosannya. Terima kasih telah mempertemukanku dengan anak-anak itu, Tuhan. 

Rabu, 23 Maret 2016

Sepucuk Surat Elektronik untuk Seseorang di Alam Lain

Salam keagamaan,

Untukmu yang berada di alam lain, apa kabarmu? Apa kamu sudah makan? Orang hebat sepertimu harus selalu sehat. Oh iya, mulai pagi tadi aku telah menambahkanmu dalam bait doaku. Walau tak menyebutkan namamu, tapi aku punya panggilan khusus untuk mendeskripsikanmu yang hanya aku dan Tuhan yang tahu. Aku memang perlu banyak belajar  agar aku bisa tahu siapa kamu. Aku tak cukup punya referensi tentangmu. Selama ini aku hanya berurusan dengan makhluk yang tidak peka, yang terkadang harus memakai cara-cara konyol untuk membuatnya peka. Tapi ini berbeda denganmu. Kamu peka namun tanpa suara.

Untukmu yang berada di alam lain, mungkin tak sulit bagiku untuk memahami sikapmu. Hanya butuh “polesan” sedikit untuk mengerti semuanya, sebab aku sudah punya dasar atas itu. Apa kamu tak sadar jika kita punya banyak kesamaan?  Kamu juga tipe pengarah, sama denganku.  Itu pula yang mungkin membuat kita sama-sama menjadi “pendiam”. Fyi, aku bukan tipikal perfeksionis. Bukan juga yang mendewakan gelar atau harta. Yang aku sangat hargai adalah sosok yang baik, cerdas, bersahabat dan sudah menjadi barang pasti harus seiman. Itu yang menjadi standar utamaku. Gelar dan harta walaupun bisa melancarkan banyak urusan, akan tak ada artinya jika orangnya kurang baik. Kalau sudah kurang baiknya, otomatis juga kurang bersahabat dan sudah pasti kurang cerdas. Mungkin jika aku tipe orang seperti itu, sudah aku iya-kan saja dari dulu ketika seseorang lulusan M.BA itu datang meminta kesediaanku. Ia memang seiman denganku, tapi kurang baik menurut kacamataku. Apalah artinya cerdas secara intelektual tanpa dibarengi dengan kecerdasan emosional dan spiritual?

Untukmu yang berada di alam lain, jika ingin mengenalku lebih jauh, bersuaralah!  Kamu punya hak untuk itu. Aku tidak se-perfect dan se-kaku yang kamu pikir. Kamu bisa mengirimkan pesan kepadaku melalui media komunikasi yang biasa kita gunakan. Walau beda alam, kita masih memakai bahasa yang sama, kan? Tak perlu ragu atau sungkan. Selagi kamu baik, cerdas dan bersahabat, aku akan menyambutmu dengan baik. Aku yakin kamu memiliki ketiga aspek itu. Itulah yang menjadikanmu menarik di mata dan di otakku.

Untukmu yang berada di alam lain, sampai disini dulu suratku. Jika kamu punya waktu luang dan punya cukup energi, kamu bisa membalas suratku melalui media apapun. Tapi kalau tidak bisa juga tidak apa-apa. Jaga selalu kesehatanmu ya! Ibumu akan sedih jika kamu dalam kelemahan tubuh. Masyarakat akan semakin menjadi-jadi keluhannya jika kamu dan kawan-kawanmu tak dapat bertugas karena sakit. Tolong sampaikan juga salamku untuk mereka. Santih.


Temanmu,


Wayan Irmayani

Selasa, 22 Maret 2016

Dik, Pokok Bahasan Sistem Reproduksi Manusia Tak Butuh Praktek

Dik, mungkin kamu tak begitu mengenalku. Bahkan mungkin kamu tak mau mengenalku, sehingga  dengan mudahnya kamu mendustai dirimu sendiri. Jujur, aku sangat kecewa atas semua hal yang terjadi padamu. Secara hereditas, kita memang tak memiliki hubungan genetik.  Tapi bukankah kita bersaudara di dalam Tuhan? Malah kamu seharusnya yang lebih tahu, karena di ajaran agamamu sering dijumpai kalimat demikian. Atas dasar itulah aku menganggapmu sebagai adik. Orang tuamu juga yang memintaku untuk turut menjagamu. Itu berarti ada sebuah kepercayaan yang mereka lihat dalam diriku.

Lalu ketika aku menjalankan tugasku sebagai seorang kakak yang selalu menginginkan kebaikan bagi adiknya, salahkah jika aku menegurmu saat kamu melakukan kesalahan? Salahkah jika aku melarangmu setelah beberapa arahan dan penjelasan tak pernah kamu indahkan? Kamu mengadukanku kepada Ibumu dan menambahkan bumbu pedas yang kamu buat-buat dalam wacanamu. Lalu Ibumu sempat berpendapat jika aku telah berlaku kasar terhadapmu. Dik, kalau aku tak peduli padamu, buat apa aku bertindak demikian? Menelponmu jika pulang lambat, mengirimimu pesan jika ada hal ganjil yang kurasa, bahkan mengecek keberadaanmu di sekolah, melalui teman atau gurumu. Itukah alasan hingga kamu melabeliku over protective? Seandainya kamu menunjukkan sikap yang baik padaku, aku tak akan pernah bahkan tak perlu melakukan tindakan spionase itu. Tak pantaskah aku curiga jika anak perempuan keluar malam dengan kekasihnya, lalu pulang dengan “keadaan tidak utuh”, atau pulang telat dari sekolah dengan berbagai macam alasan kegiatan dan setelah diselidiki ternyata ada di kos-kosan? Aku mohon maaf jika tindakanku salah dan melampaui batas. Dik, semuanya aku lakukan karena aku peduli kepadamu. Itu yang mungkin tidak pernah kamu tahu dan sadari.

Berita siang itu cukup membuat telingaku panas dan tensiku sontak meningkat. Aku merasa berdosa kepada Ibumu yang pernah menitip pesan untuk turut menjaga (mengawasi) mu. Mengapa kamu dengan mudahnya memberi akses terhadap ovummu? Atau kamu sudah lupa pelajaran Biologi tentang Sistem Reproduksi Manusia, bagaimana jika ovum bertemu sperma? Darimana kamu mendapat pembenaran atas itu semua? Kamu terlalu jauh melangkah Dik.

Di usia remajamu yang belia, usia yang semestinya kamu gunakan sebaik-baiknya untuk menimba ilmu pengetahuan, malah kamu salah gunakan. Pokok bahasan Sistem Reproduksi Manusia yang tercantum di buku Biologi yang tak ada standar kompetensi untuk dipraktekan, malah kamu lakukan. Tak pernahkah gurumu menjelaskan jika pokok bahasan yang satu itu tidak perlu praktek? Atau kamu malas membaca literatur? Disana sudah ada tercantum standar kompetensi untuk setiap pokok bahasan, dan Sistem Reproduksi Manusia hanya sebatas teoritis, TIDAK masuk dalam aspek praktis.
Perlu kamu tahu, orang tuamu jauh-jauh menyekolahkanmu kesini penuh dengan perjuangan, penuh harapan. Tak peduli seberapa lelahnya mereka membanting tulang tiap hari, melawan teriknya matahari, berjudi nasib bahkan bertaruh nyawa demi mendapatkan pundi-pundi rupiah untuk memfasilitasi pendidikanmu. Berharap agar kehidupanmu kelak setidaknya bisa setingkat lebih baik dari mereka. Sementara kamu disini, tanganmu tak pernah lepas dari gadget, kalau ada waktu kosong bukan kamu gunakan untuk belajar, tapi untuk sosmed-an, selfie-selfie-an, makan, tidur, atau huru-hara dengan teman-temanmu. Dimana letak penghargaanmu atas kerja keras orang tuamu? Apakah janin berumur lima bulan yang sedang berkembang dalam rahimmu itu yang akan kamu jadikan blueprint atas kerja keras orang tuamu dalam menyekolahkanmu?

Ketahuilah Dik, menjadi siswi itu memang gampang-gampang susah. Aku sudah mengalaminya lebih dulu. Aku juga pernah melewati masa pubertas. Masa dimana aku selalu diingatkan akan peringatan larangan pacaran oleh Ibuku. Sebenarnya masa-masa menjadi siswi itu bisa menjadi sangat manis jika berada di jalur yang benar dan akan menjadi rumit jika jalur yang benar itu dibelokkan. Masa-masa menjadi pelajar (brahmacari) adalah masa untuk mencari dan menimba sebanyak mungkin ilmu pengetahuan (dharma) dan harus bisa pula menekan dan mengendalikan keinginan atau hawa nafsu (kama). Jika bisa melewati itu semua, pantaslah kamu digelari sisya sista (siswa teladan).


Jadi sekarang, tidak usahlah repot-repot meminta maaf kepadaku. Aku sudah memafkanmu sebelum kamu memintanya. Orang tuamu adalah orang yang paling terpukul atas peristiwa ini dan kepada merekalah kamu pantas memohon maaf. Tuhanpun mungkin baru akan memafkanmu jika orang tuamu sudah bisa memberimu maaf. Bertanggung jawablah atas perbuatan besar yang telah sukses kamu lakukan. Pesanku, jaga kesehatanmu juga janin yang kamu kandung. Rawat baik-baik bayimu nanti. Kamu perlu banyak belajar dari bidan desa atau ibu-ibu yang menurutmu punya kompetensi dalam mengasuh anak. Tak perlu berkecil hati atas insiden ini. Tunjukkan pada orang tuamu dan tunjukkan kepada masyarakat bahwa kamu bisa menjadi ibu yang baik. Cukuplah itu menjadi pelajaran bagimu dan berusahalah untuk memperbaiki semuanya. Tolong jangan abaikan lagi nasehatku yang terakhir ini.

Senin, 21 Maret 2016

Bahagia Itu Sederhana: Bersyukur

Saya sempat menarik nafas dalam-dalam sambil menyeka air mata pada saat yang bersamaan. Sebuah foto sederhana dengan kualitas gambar yang tak terlalu baik entah mengapa bisa membuat saya hingga sedemikiannya. Sekilas terlihat biasa, hanya seorang pria muda dan beberapa anak-anak yang memancarkan senyum gembira. Lalu, mengapa gerangan air mata saya bisa keluar dari peraduannya jika itu merupakan sebuah foto yang melukiskan kebahagiaan?

Benar, itu merupakan lukisan cahaya yang menampakkan kebahagiaan. Senyum mereka tak mampu berbohong atas itu. Wajah anak-anak yang polos nan riang itu juga menjadi bukti bahwa mereka memang benar-benar bahagia. Tak luput juga senyuman pria muda yang menampakkan lesung pipinya. Saya benar-benar bersyukur dan berterima kasih kepadaNya telah memperlihatkan foto sederhana itu yang bisa menggugah emosi. Tersebutlah teman saya di dunia maya yang berkewarganegaraan India. Ia merupakan keturunan Brahmana yang tinggal di wilayah Shantiniketan. Ia seorang guru dan juga seniman.

Suatu hari, saat liburan tiba, ia dan anak-anak didiknya melakukan rekreasi. Di benak saya, rekreasi erat kaitannya dengan keelokan yang bisa mendatangkan rasa gembira. Pantai yang biru dengan hamparan pasir putih dan udara sepoi-sepoi yang melambaikan nyiur; sebuah danau berair hijau yang ditumbuhi beraneka pepohonan disekelilingnya; taman bunga yang harum dan semerbak dengan warna-warni yang memanjakan mata atau pegunungan yang asri dengan aliran sungai jernih. Itu semua yang terbayang jika clue rekreasi disebutkan. Tapi mereka? Teman saya dan anak-anak didiknya berekreasi disebuah sungai tandus yang hampir kering, berdebu dan tak ada pepohonan yang terlihat. Raut wajah mereka sangat ceria, seolah tempat itu indah sekali.

Ya Tuhan, betapa bersyukurnya saya terlahir di tanah surga Indonesia ini. Berapa kali lipat lagi harusnya saya bersyukur mengagumi ciptaanMu. Mereka dengan pemandangan alam yang demikian masih bisa tersenyum tulus penuh rasa gembira, apalagi saya seharusnya yang tiap hari masih bisa melihat dan merasakan sejuknya pepohonan hijau. Jika saya yang sudah terbiasa dimanjakan oleh keindahan alam ini berada posisi mereka, mungkin akan sulit bagi saya untuk tersenyum. Jangankan sebagai destinasi untuk selevelan rekreasi, berhenti sejenak di tempat demikian saja mungkin sudah ada keluhan yang muncul dalam diri saya. Sungguh, saya mendapat pelajaran baru dari foto itu. Pelajaran tentang kehidupan lebih tepatnya.


Saya menanyakan, apakah anak-anak itu benar-benar gembira, seperti yang nampak di foto itu? Teman saya pun mengiyakan. “Bukan hanya mereka, saya lebih gembira melihat kegembiraan mereka” begitu kira-kira jika di Indonesiakan. Lalu saya bertanya kembali, bagaimana pendapatnya tentang Indonesia, sebab beberapa waktu lalu ia dan pacarnya sempat berkunjung ke Bali, di rumah calon mertuanya. Ia pun mengatakan tak pernah terpikir olehnya ada alam seindah Indonesia. Wah, bahagia itu sederhana ya? Lalu, masih adakah alasan untuk tidak bersyukur?

Jumat, 11 Maret 2016

I Witness (Total Solar Eclipse)

Gerhana Matahari Total (Total Solar Eclipse) menjadi perbincangan hangat di Indonesia belakangan ini. Pasalnya, fenomena alam yang langka ini akan melewati sejumlah wilayah di Nusantara. Demam gerhana terjadi dimana-mana, termasuk di tanah kelahiran saya, Palu. Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah ini menjadi salah satu lokasi strategis untuk menyaksikan gerhana dengan durasi 2 menit dan 4 detik. Saya menjadi salah satu dari ribuan orang yang beruntung berkesempatan menyaksikan proses gerhana dengan sempurna, walau hanya menggunakan alat bantu yang sangat sederhana dan terbilang sangat konvensional. Yups, hanya bermodalkan lembaran film bekas foto Rontgen.
Beberapa hari sebelumnya, rencana menyaksikan gerhana sudah masuk dalam agenda saya. Kamera, masker dan camilan sudah saya siapkan dari jauh hari. Tapi kemudian semuanya berubah ketika saya sadar jika fenomena ini akan jatuh bersamaan dengan Hari Raya Nyepi. Pupuslah harapan untuk melakukan outbond melihat proses gerhana terjadi.

Menyaksikan GMT dari atas makam di Tempat Pemakaman Umum Talise
Ternyata Tuhan punya kehendak lain. Beliau mengizinkan “tamu bulanan” saya datang tepat sehari sebelum Nyepi. Itu berarti saya dalam keadaan cuntaka dan tidak diperkenankan melakukan komunikasi transendental. Thanks God. I know, You love me so much! Saya tak bisa menyembunyikan kegembiraan. Really really surprise. I can’t wait for it. Malam harinya (8/9) sekitar pukul 21.20, saya ditelpon oleh Bapak. Ia mengucapkan selamat beribadah Nyepi besok, semoga berhasil melakukan catur brata katanya. Ia juga berpesan, jika hendak menyaksikan gerhana, sebaiknya menggunakan alat bantu khusus.

Sambil menepuk jidat, saya baru sadar ternyata saya harus punya alat bantu tambahan untuk membantu dan melindungi indera penglihatan saya dalam menyaksikan gerhana. Saya juga teringat akan pelajaran IPA (Fisika) sewaktu SD tentang alat optik, yang mana prinsip kerja mata sama dengan kamera. Itu berarti, mata dan kamera saya butuh filter tambahan. Masa iya saya harus melewatkan fenomena alam langka ini? Ya ampun, dimana gerangan saya bisa mendapatkan semuanya jam begini? Lagi pula kondisi keamanan di kota kelahiran saya kurang bersahabat . Ah sudahlah.

Keesokan harinya sekitar pukul 05.30 saya dan tiga rekan lainnya berkumpul membicarakan lokasi yang akan kami tuju. Ada yang mengusulkan Dolo, Matantimali dan Kawasan Teluk Palu. Saya sendiri mengusulkan Taman Edukasi Nosarara Nosabatutu. Entah mengapa saya merasa nyaman jika berada disana. Ternyata dari sekian opsi yang kami usulkan, ada-ada saja sanggahan dari satu sama lain, sehingga tidak terjadi kemufakatan. Setelah hampir satu jam berdebat soal tempat dan tak membuahkan kesimpulan, entah mendapat ide dari mana, tiba-tiba salah seorang dari kami mengusulkan tempat yang terbilang tak lazim. “Kita ke kuburan Talise saja. Nanti naik ke atap kuburnya adikku. View-nya juga bagus disana” usul Ray dengan percaya diri. Pardon me. Are you bold enough? Lalu bagaimana jika waktu gelap nanti kita berempat yang tidak punya cukup nyali untuk hal-hal mistis ini dihadapkan dengan salah satu makhluk penghuni tempat itu?

Mereka meyakinkan saya dengan sejumlah formula bujuk rayu. Diantara kami berempat, saya bukanlah satu-satunya orang yang takut dengan hal-hal mistis. Tapi entah mengapa mereka itu tiba-tiba menjadi sok berani. Mungkin ada pengaruhnya dengan eclipse effect. Entahlah. Sekian lama kita duduk di atas atap kuburan, melihat Kota Palu dari ketinggian dan menunggu detik-detik gerhana. Sambil menikmati camilan pengganti sarapan, tiba-tiba ada sesuatu yang terlintas di benak saya. Teringat saat saya terlibat obrolan singkat beberapa tahun silam dengan salah seorang teman di dunia maya yang juga pengagum Albert Einstein. Ia sempat membahas tentang gerhana.

“Ray, bukannya ayahmu punya film bekas foto Rontgen itu ya? Sepertinya bisa kita gunakan” ucapku dengan pasti. Setelah saya berikan sedikit penjelasan, Ray yang juga satu-satunya laki-laki diantara kami berempat akhirnya pulang mengambil film itu. Berperang dengan rasa takut walau hari sudah sangat terang, kami bertiga memberanikan diri dan saling menguatkan tinggal di atap kuburan untuk beberapa saat sambil menunggu Ray kembali.
***
“Iyo e, jelas sekali kelihatan celetuk Jane dengan wajah gembira. Mereka bertiga bergantian melihat tampilan matahari sebelum gerhana terjadi menggunakan film bekas foto Rontgen yang dijadikan sebagai filter cahaya. Neni menggunakan sunglasses-nya ditambah dengan film foto Rontgen nampak tak kalah gembira. Ray sibuk mengabadikan proses gerhana menggunakan kamera di smartphone-nya dengan bantuan filter sederhana, film Rontgen. Saya pun senyam-senyum sendiri, gembira melihat mereka yang sangat antusias. Yah, walaupun cara kami terbilang konvensional, tapi setidaknya fungsional untuk menyaksikan gerhana matahari total secara langsung dan tentunya tidak mengganggu kesehatan mata. Jika scientists menyaksikan gerhana dengan alat optik canggih, apalah daya kami yang hanya bisa menggunakan lembaran film bekas foto Rontgen.

Gambar terbaik dari yang terburuk yang berhasil kami abadikan .
And this is it, saat yang ditunggu-tunggupun tiba. Kami berempat menjadi saksi mata gerhana matahari total yang terjadi pada tanggal 9 Maret 2016, pukul 08.27 wita dengan durasi 2 menit 4 detik. Sorakan kegembiraan diantara kami berempat saat bumi di pagi hari yang cerah berubah seketika menjadi gelap gulita akibat cahaya matahari terhalang oleh bulan, sekaligus menjadi ungkapan kekaguman atas Kebesaran dan Kemaha-kuasaan Tuhan. Awesome!! I praise dan worship You God, the creator of the solar system. Terima kasih  telah mengizinkan saya menyaksikan langsung Kemaha-kuasaanMu untuk yang kesekian kalinya melalui fenomena gerhana matahari total. Semoga dengan terjadinya gerhana matahari total yang juga bertepatan dengan Tahun Baru Saka ini, dunia ketambahan orang-orang baik dan cerdas baik secara intelektual, spiritual maupun emosional yang dapat membawa pengaruh kebaikan bagi kehidupan sesama dan semesta. Santih.

Sabtu, 27 Februari 2016

Ketika Rasa Sudah Kadaluwarsa



“Bagaimana mungkin aku bisa memaafkan orang yang tak bersalah kepadaku? Tidak, aku tidak bisa. Jangan paksa aku untuk memaafkanmu!”

Untukmu yang pernah aku perjuangkan, dimanapun dan apapun yang sedang kamu lakukan, aku berharap semua kebaikan selalu menyelimutimu. Aku tak ingin menggunakan formula 5W+1H (who what, where, when, why and how), untuk mengawali kalimat apapun itu yang aku tujukan kepadamu. Aku juga berharap demikian denganmu. Ada baiknya kamu menghindari kata “mengapa” atau salah satu unsur “W” dalam mengawali pembicaraan denganku. Kalau kamu masih bersikukuh menanyakannya, aku hanya punya satu frasa sebagai jawabannya. Maukah kamu tahu frasa apa yang aku maksud? “Sudah kadaluwarsa”. Itu! Hanya dua kata.

Aku yang selalu kamu panggil “adik” ini memang sudah (sangat) bisa menganggapmu sebagai kakak. Ya, bukan yang lain-lain. Sebagaimana kakak-beradik, aku tak bisa lagi menaruh perasaan-perasaan yang sulit didefinisikan itu kepadamu, begitu juga kamu seharusnya. Lagu “Tak Pernah Padam” dari Sandi Sandoro pun kini sudah tak relevan lagi menggambarkan perasaanku kepadamu. Jika aku punya hak untuk merevisi lagu tersebut, maka aku akan mengganti salah satu baris liriknya dengan kalimat berikut: “api cintaku padamu sudah terlampau padam”. Sepertinya lirik itu sangat tepat untuk menggambarkannya, apalagi belakangan ini memang sering terjadi pemadaman listrik di kota kelahiranmu juga kelahiranku ini.

Wahai kakak yang secara hereditas sama sekali tak memiliki hubungan genetik dengan adikmu ini, kamu tak perlu meminta maaf kepadaku. Kamu tidak pernah membuat kesalahan yang berarti. Kamu sudah menjalani dengan benar apa yang seharusnya kamu lakukan. Jujur, aku tidak punya alasan untuk marah apalagi benci kepadamu. Memang, beberapa bulan lalu aku sempat merasakan dada yang sesak dan organ penglihatanku menjadi aktif memproduksi kelenjar air mata. Tapi sekali lagi, itu bukan salahmu. Aku hanya ingin rehat dari masa-masa itu. Cuma itu.

Aku masih bisa mengingat bagaimana aku dan kamu waktu itu. Saat kamu menelponku dari kejauhan sana sekedar untuk menanyakan kabarku. Saat kamu bicara ditelpon denganku hingga hitungan jam dihari Valentine. Saat kamu pertama (dan terakhir) datang ke rumah ini menemuiku dan menjabat tanganku berkali-kali. Saat kamu mengirimkanku sepucuk SMS hingga lima layar. Saat kamu menatap mataku dalam-dalam dengan sorot matamu yang tajam. Yeah, that’s all.

TAPI perlu kamu tahu Kak, adikmu ini telah kehilangan rasa atas semua itu. Aku dapat mengingat peristiwanya, tapi aku tak bisa lagi merasakannya. Seperti lawar tanpa baso (Bali:bumbu). Hambar! Aku masih bisa jelas mengingat saat kamu beberapa kali menelponku, tapi aku lupa bagaimana gembiranya aku menyambut suaramu yang dalam itu, bagaimana aku merasakan kenyamanan saat terlarut dalam dialog bersamamu. Aku ingat saat Valentine setahun silam. Kamu menelponku hingga menghabiskan waktu hingga hitungan jam. Tapi, aku lupa rasa senyumku, aku lupa bagaimana rongga dadaku terasa kosong dan plong, bagaimana jantungku secara drastis meningkatkan detakannya ketika mendengar kalimat menggelitik darimu. Aku masih ingat saat kamu cuti (bukan cuti karena aku tentunya) dan datang ke kota ini juga sempat menemuiku di rumah ini. Kamu mengulurkan tanganmu berkali-kali untuk kujabat. Tapi, aku tidak bisa mengingat bagaimana sensasi hangatnya telapak tanganmu ketika berjabat dengan telapak tanganku yang dingin dalam satu genggaman. Aku tak bisa mengingat bagaimana aku merasa seluruh darahku terkumpul di pipiku, yang menjadikannya merona berseri ketika dalam jarak beberapa sentimeter harus kuat membalas tatapanmu yang dalam dan meneduhkan itu. Kini, semua rasa yang pernah ada itu hanya bisa kubaca lewat buku harianku yang sangat detail kutuliskan. Kak, untuk kesekian kalinya kukatakan, adikmu ini sudah kehilangan rasa. Perasaannya kepadamu sudah kadaluwarsa, sudah habis masa berlakunya. Tak bisa lagi dikembalikan atau didaur ulang dengan cara apapun. Tak perlulah kamu tanyakan mengapa.

Adikmu ini telah berhasil melewati masa-masa sulitnya, Kak. Masa dimana aku memaksa seluruh komponen dalam diriku untuk bekerjasama melupakanmu. Tak gampang melawan ego, Kak. Tak gampang melawan kuatnya arus. Pekerjaan move on adalah jenis pekerjaan yang sangat tidak mengasyikan dan sangat menguras energi, waktu dan pikiran. Tapi aku rela melakukannya untuk mengembalikan aku pada realita. Kamu tidak pernah melihat air mata adikmu ini, kan? Bahkan mungkin tak pernah terbersit dibenakmu jika adikmu yang keras kepala dan doyan bergurau itu bisa menangis? Lalu, setelah aku berhasil melewati semuanya, tidakkah kamu ingin memberikan (sedikit saja) apresiasi atas kerja kerasku itu? Tidakkah kamu ingin bertepuk tangan seperti halnya ketika kamu menjadi orang pertama yang memberikan applause kepadaku saat aku menyampaikan ide di depan forum? Aku akan jauh lebih simpati kepadamu jika kamu bisa mengapresiasi usahaku, ketimbang kamu meminta maaf. Bagian mananya yang harus aku maafkan sedangkan kamu tak punya salah apa-apa padaku. Aku malah ingin mendengar kamu mengucapkan selamat kepadaku atas suksesnya kerja kerasku dalam melupakanmu. Bukankah itu yang dulu kamu inginkan? Kamu memang tak mengatakan ataupun menuliskannya, tapi seperti itulah kiranya makna yang tersirat di dalamnya.

 I maybe quiet, but I have so much on my mind...

Aku pikir, Tuhan perlahan-lahan sudah menjawab doa adikmu ini, kak. Doa agar kakaknya yang dikejauhan sana selalu diliputi kebaikan. Doa agar ia diberikan anugerah kekuatan yang ampuh untuk bisa melupakanmu. Tapi, Tuhan Maha Bijaksana. Ia tak mengabulkan seutuhnya. Ia hanya menghapuskan rasaku terhadapmu, bukan keseluruhan peristiwanya. Setelah aku pikir-pikir, memang hanya itulah yang kubutuhkan untuk mengembalikan bagaimana aku sebelum menaruh rasa kepadamu. Kamu tahu apa yang aku gunakan untuk memampukan semua itu? Bhagavadgita. Kamu tentunya tak asing dengan pustaka suci itu.

Sebagaimana kakak beradik, aku ingin menyampaikan kepadamu bahwa saat ini aku sedang meningkatkan kualitas diri agar pantas menjadi pemilik masa depan. Aku sedang mengumpulkan energiku untuk seseorang yang tepat. Seseorang yang bisa kujadikan teman berpikir, yang bahunya bisa kujadikan sandaran tatkala ada hal yang terlalu sulit kucerna dengan logika, yang bisa kuajak berbagi suka duka, yang bisa kuajak bekerjasama mengasuh dan mendidik anak-anak suputra, yang bisa kuajak berbagi segala sesuatu tentang budaya dan agama, yang bisa kuajak bekerjasama membangun masyarakat dan yang bisa kuajak bekerjasama untuk menjaga kelestarian alam. Hmmmmm, masih banyak yang harus aku pelajari agar dipantaskan olehNya untuk bertemu dengan sosok yang demikian. Aku setuju dengan ungkapan Mario Teguh yang mengatakan: “wanita yang baik untuk pria yang baik dan sebaliknya”. Makanya aku berusaha menjadi wanita sebaik-baiknya agar aku pantas berjalan beriringan dengan seorang pria baik. Apakah kamu juga sependapat dengan teori yang sangat sederhana tapi sarat makna itu?

Aku berdoa semoga kamu segera dipertemukan dengan seseorang yang pantas olehNya. Someone who will always stand by your side through your brightest days or/and your darkest nights. For your information, wanita itu paling suka dengan yang namanya kepastian. Jangan pernah menggantungkan dia tanpa kejelasan. Kak, jemuran saja kalau lama digantung bisa hilang, apalagi perasaan adikmu ini.

Jika nanti kamu akan melangsungkan hari bahagiamu, janganlah sungkan untuk mengirimi undangan pawiwahan untuk adikmu ini. Entah kamu akan melangsungkannya di tanah kelahiranmu yang juga tanah kelahiranku (bukan kita) ini, atau di kampung halamanmu, jika tak ada aral melintang, aku pasti akan datang. Begitu juga denganmu. Jika navigatorku sudah dapat menunjukkan letak yang tepat, sebagaimana garis lintang dan garis bujur bertemu membentuk titik koordinat, maka aku akan berpindah ke tempat itu. You must remember,  everything is going to be alright. Maybe not today, but eventually. For the last, I just wanna say thank you for a sweetest smile as long I ever see, for all support you’ve  done and for everything can make me mature enough. Don’t blame yourself anymore. Maybe we are not in a relationship, but friendship will go long last between us. Just enjoy it and let it flow! Best regards.
x_3badcda6