Sederet
pertanyaan “siapa pacarmu”, “mana pacarmu”, atau yang paling sadis “kapan
nikah” adalah beberapa pertanyaan sarkastik yang akhir-akhir ini banyak tertuju
kepada saya. Teman, kerabat, bahkan sosok cool
yang saya kenal tabu membahas perihal cinta kini mulai angkat bicara. Ada pula
sosok yang paling gencar menyuarakan larangan pacaran, kini malah menuntut hal
itu. Saya jadi bingung dengan semuanya, revolusi macam apakah ini?
Ya, Ibu dan
Bapakku. Mereka adalah dualisme yang saling melengkapi. Ibu yang eksrovert dan
Bapak si introvert. Mereka berdua adalah tim yang solid. Kerjasama dan
kekompakan mereka layak diapresiasi. Hal itu terbukti bahwa mereka sukses
membuat dan menjalankan peraturan larangan pacaran yang ditujukan kepada saya
selama masa studi berlangsung. Saya bulanlah sepenuhnya pribadi penurut. Saya
lebih banyak menggunakan otak kiri. Sebelum menyetujui peraturan yang mereka
luncurkan, saya menanyakan alasannya terlebih dahulu. Mereka beralasan, pacaran
bisa mengganggu prestasi akademik di sekolah, karena persentasi konsentrasi
belajar terbagi dengan aktivitas pacaran. Selain itu, degradasi moral juga
menjadi salah satu alasannya. Karena usia remaja adalah transisi menuju dewasa,
rentang usia yang rawan dan umumnya labil. Banyak pelajar yang tidak lanjut
studinya karena pacaran yang tidak sehat. Logis! Logika saya dapat mencerna
semua alasan itu, apalagi mereka menyertakan testimoni dalam propagandanya.
Saya pun menikmati masa-masa studi tanpa pacaran. Berdasarkan pengamatan saya,
sebenarnya ada beberapa pribadi yang cukup menarik, akan tetapi saya hanya bisa
mengaguminya dari kejauhan dan dengan beberapa pertimbangan, saya tetap menarik
diri dari pacaran. Ibu dan Bapak selalu mengingatkan larangan pacaran ini
repetitif, hampir pada setiap kesempatan.
Entah mengapa
semua itu kini mengalami perubahan yang signifikan. Ibu yang dulunya gencar
menyuarakan larangan pacaran kini terang-terangan menanyakan jika saya sudah
memiliki pacar atau belum. Yang paling sulit saya cerna dengan logika,
bagaimana mungkin si Bapak yang saya kenal supel dan pendiam serta tabu
membicarakan hal yang berbau cinta, kini malah menyerang dengan pertanyaan itu.
Apakah batang usia saya sudah terlampau tinggi hingga saya layak dan teramat
pantas disuguhkan pertanyaan bernada desakan seperti itu?
Bapak, Ibu,
perlu kalian ketahui, anak gadismu sedang dalam upaya memantaskan diri.
Kalaupun saya belum pacaran, bukan berarti saya tidak berupaya untuk mengarah
kesana. Bapak, Ibu, masih banyak hal yang perlu saya pelajari agar benar-benar
menjadi seorang wanita yang matang dalam menjalani masa grhasta nantinya. Tidak inginkah kalian memiliki cucu yang diasuh
oleh seorang ibu cerdas? Tidak inginkah
kalian memiliki menantu yang bersahabat yang berkepribadian mulia? Tidak
inginkah kalian mendengar jika besan kalian nantinya menceritakan kekagumannya
atas kepiawaian putrimu? Semua itu sedang saya upayakan. Saya berusaha sebisa
mungkin meningkatkan kualitas diri saya. Sekali lagi, saya tidak menunda
pacaran. Saya mulai membuka diri. So,
slow down and keep it simple!
Saya belum
sepenuhnya yakin kalian bisa melepas anak gadismu secepat itu. Buktinya saya
tak pernah dewasa di mata kalian. Ibu biasanya masih menyuapi nasi jika saya
belum makan pada jamnya. Ibu juga masih suka mencubit manja pipi saya.
Terkadang cubitannya membuat saya
menjerit kesakitan. Bagaimana tidak, Ibu mencubit pipi yang ada jerawatnya. Begitu
juga dengan Bapak yang masih sering mengusap-usap jidatku ketika saya hendak
tidur. Secara tak langsung, kalian masih menganggap saya sebagai gadis kecil
yang selalu ingin kalian lindungi.
Bersabarlah
dulu! Semuanya punya waktu dan semuanya punya porsi masing-masing. Ada saatnya
saya akan menggandeng seseorang pria baik dan mengenalkannya kepada kalian. Ada
saatnya kalian akan kusibukkan menggelar rangkaian upacara manusa yajna. Ada saatnya kalian akan merasa khawatir sekaligus
gembira saat aku mengalami kelemahan tubuh pada trimester awal. Ada saatnya
pula kalian akan menimang bayi mungil dan ia akan memanggilmu dengan sebutan “Dadong”
dan “Kiyang”. Bersabarlah...
Tak ada yang
perlu kalian cemaskan. Bila sudah waktunya, itu semua akan terjadi secara
alami. Karena pernikahan bukan hanya perihal ovum dan sperma, tapi lebih kepada
keseimbangan antara dharma, artha dan
kama. Itulah esensi pernikahan
menurut kaca mata saya, anak gadismu yang saat ini tengah memantaskan diri.