http://winest-wirmayani.blogspot.com/2013/04/budaya-galau-mahasiswa-vs-tipologi-dosen.html

Sabtu, 21 November 2015

Bersabarlah, Anak Gadismu Sedang Memantaskan Diri




Sederet pertanyaan “siapa pacarmu”, “mana pacarmu”, atau yang paling sadis “kapan nikah” adalah beberapa pertanyaan sarkastik yang akhir-akhir ini banyak tertuju kepada saya. Teman, kerabat, bahkan sosok cool yang saya kenal tabu membahas perihal cinta kini mulai angkat bicara. Ada pula sosok yang paling gencar menyuarakan larangan pacaran, kini malah menuntut hal itu. Saya jadi bingung dengan semuanya, revolusi macam apakah ini?

Ya, Ibu dan Bapakku. Mereka adalah dualisme yang saling melengkapi. Ibu yang eksrovert dan Bapak si introvert. Mereka berdua adalah tim yang solid. Kerjasama dan kekompakan mereka layak diapresiasi. Hal itu terbukti bahwa mereka sukses membuat dan menjalankan peraturan larangan pacaran yang ditujukan kepada saya selama masa studi berlangsung. Saya bulanlah sepenuhnya pribadi penurut. Saya lebih banyak menggunakan otak kiri. Sebelum menyetujui peraturan yang mereka luncurkan, saya menanyakan alasannya terlebih dahulu. Mereka beralasan, pacaran bisa mengganggu prestasi akademik di sekolah, karena persentasi konsentrasi belajar terbagi dengan aktivitas pacaran. Selain itu, degradasi moral juga menjadi salah satu alasannya. Karena usia remaja adalah transisi menuju dewasa, rentang usia yang rawan dan umumnya labil. Banyak pelajar yang tidak lanjut studinya karena pacaran yang tidak sehat. Logis! Logika saya dapat mencerna semua alasan itu, apalagi mereka menyertakan testimoni dalam propagandanya. Saya pun menikmati masa-masa studi tanpa pacaran. Berdasarkan pengamatan saya, sebenarnya ada beberapa pribadi yang cukup menarik, akan tetapi saya hanya bisa mengaguminya dari kejauhan dan dengan beberapa pertimbangan, saya tetap menarik diri dari pacaran. Ibu dan Bapak selalu mengingatkan larangan pacaran ini repetitif, hampir pada setiap kesempatan.

Entah mengapa semua itu kini mengalami perubahan yang signifikan. Ibu yang dulunya gencar menyuarakan larangan pacaran kini terang-terangan menanyakan jika saya sudah memiliki pacar atau belum. Yang paling sulit saya cerna dengan logika, bagaimana mungkin si Bapak yang saya kenal supel dan pendiam serta tabu membicarakan hal yang berbau cinta, kini malah menyerang dengan pertanyaan itu. Apakah batang usia saya sudah terlampau tinggi hingga saya layak dan teramat pantas disuguhkan pertanyaan bernada desakan seperti itu?

Bapak, Ibu, perlu kalian ketahui, anak gadismu sedang dalam upaya memantaskan diri. Kalaupun saya belum pacaran, bukan berarti saya tidak berupaya untuk mengarah kesana. Bapak, Ibu, masih banyak hal yang perlu saya pelajari agar benar-benar menjadi seorang wanita yang matang dalam menjalani masa grhasta nantinya. Tidak inginkah kalian memiliki cucu yang diasuh oleh seorang ibu cerdas?  Tidak inginkah kalian memiliki menantu yang bersahabat yang berkepribadian mulia? Tidak inginkah kalian mendengar jika besan kalian nantinya menceritakan kekagumannya atas kepiawaian putrimu? Semua itu sedang saya upayakan. Saya berusaha sebisa mungkin meningkatkan kualitas diri saya. Sekali lagi, saya tidak menunda pacaran. Saya mulai membuka diri. So, slow down and keep it simple!
 
Saya belum sepenuhnya yakin kalian bisa melepas anak gadismu secepat itu. Buktinya saya tak pernah dewasa di mata kalian. Ibu biasanya masih menyuapi nasi jika saya belum makan pada jamnya. Ibu juga masih suka mencubit manja pipi saya. Terkadang cubitannya membuat  saya menjerit kesakitan. Bagaimana tidak, Ibu mencubit pipi yang ada jerawatnya. Begitu juga dengan Bapak yang masih sering mengusap-usap jidatku ketika saya hendak tidur. Secara tak langsung, kalian masih menganggap saya sebagai gadis kecil yang selalu ingin kalian lindungi.

Bersabarlah dulu! Semuanya punya waktu dan semuanya punya porsi masing-masing. Ada saatnya saya akan menggandeng seseorang pria baik dan mengenalkannya kepada kalian. Ada saatnya kalian akan kusibukkan menggelar rangkaian upacara manusa yajna. Ada saatnya kalian akan merasa khawatir sekaligus gembira saat aku mengalami kelemahan tubuh pada trimester awal. Ada saatnya pula kalian akan menimang bayi mungil dan ia akan memanggilmu dengan sebutan “Dadong” dan “Kiyang”. Bersabarlah...

Tak ada yang perlu kalian cemaskan. Bila sudah waktunya, itu semua akan terjadi secara alami. Karena pernikahan bukan hanya perihal ovum dan sperma, tapi lebih kepada keseimbangan antara dharma, artha dan kama. Itulah esensi pernikahan menurut kaca mata saya, anak gadismu yang saat ini tengah memantaskan diri.
x_3badcda6