Dik, mungkin kamu tak
begitu mengenalku. Bahkan mungkin kamu tak mau mengenalku, sehingga dengan mudahnya kamu mendustai dirimu
sendiri. Jujur, aku sangat kecewa atas semua hal yang terjadi padamu. Secara
hereditas, kita memang tak memiliki hubungan genetik. Tapi bukankah kita bersaudara di dalam Tuhan?
Malah kamu seharusnya yang lebih tahu, karena di ajaran agamamu sering dijumpai
kalimat demikian. Atas dasar itulah aku menganggapmu sebagai adik. Orang tuamu
juga yang memintaku untuk turut menjagamu. Itu berarti ada sebuah kepercayaan
yang mereka lihat dalam diriku.
Lalu ketika aku
menjalankan tugasku sebagai seorang kakak yang selalu menginginkan kebaikan
bagi adiknya, salahkah jika aku menegurmu saat kamu melakukan kesalahan?
Salahkah jika aku melarangmu setelah beberapa arahan dan penjelasan tak pernah
kamu indahkan? Kamu mengadukanku kepada Ibumu dan menambahkan bumbu pedas yang
kamu buat-buat dalam wacanamu. Lalu Ibumu sempat berpendapat jika aku telah
berlaku kasar terhadapmu. Dik, kalau aku tak peduli padamu, buat apa aku
bertindak demikian? Menelponmu jika pulang lambat, mengirimimu pesan jika ada hal
ganjil yang kurasa, bahkan mengecek keberadaanmu di sekolah, melalui teman atau
gurumu. Itukah alasan hingga kamu melabeliku over protective? Seandainya kamu menunjukkan sikap yang baik padaku,
aku tak akan pernah bahkan tak perlu melakukan tindakan spionase itu. Tak pantaskah
aku curiga jika anak perempuan keluar malam dengan kekasihnya, lalu pulang
dengan “keadaan tidak utuh”, atau pulang
telat dari sekolah dengan berbagai macam alasan kegiatan dan setelah diselidiki
ternyata ada di kos-kosan? Aku mohon maaf jika tindakanku salah dan melampaui
batas. Dik, semuanya aku lakukan karena aku peduli kepadamu. Itu yang mungkin
tidak pernah kamu tahu dan sadari.
Berita siang itu cukup
membuat telingaku panas dan tensiku sontak meningkat. Aku merasa berdosa kepada
Ibumu yang pernah menitip pesan untuk turut menjaga (mengawasi) mu. Mengapa
kamu dengan mudahnya memberi akses terhadap ovummu? Atau kamu sudah lupa
pelajaran Biologi tentang Sistem Reproduksi Manusia, bagaimana jika ovum
bertemu sperma? Darimana kamu mendapat pembenaran atas itu semua? Kamu terlalu
jauh melangkah Dik.
Di usia remajamu yang
belia, usia yang semestinya kamu gunakan sebaik-baiknya untuk menimba ilmu
pengetahuan, malah kamu salah gunakan. Pokok bahasan Sistem Reproduksi Manusia
yang tercantum di buku Biologi yang tak ada standar kompetensi untuk
dipraktekan, malah kamu lakukan. Tak pernahkah gurumu menjelaskan jika pokok
bahasan yang satu itu tidak perlu praktek? Atau kamu malas membaca literatur?
Disana sudah ada tercantum standar kompetensi untuk setiap pokok bahasan, dan
Sistem Reproduksi Manusia hanya sebatas teoritis, TIDAK masuk dalam aspek
praktis.
Perlu kamu tahu, orang tuamu
jauh-jauh menyekolahkanmu kesini penuh dengan perjuangan, penuh harapan. Tak
peduli seberapa lelahnya mereka membanting tulang tiap hari, melawan teriknya
matahari, berjudi nasib bahkan bertaruh nyawa demi mendapatkan pundi-pundi
rupiah untuk memfasilitasi pendidikanmu. Berharap agar kehidupanmu kelak
setidaknya bisa setingkat lebih baik dari mereka. Sementara kamu disini,
tanganmu tak pernah lepas dari gadget,
kalau ada waktu kosong bukan kamu gunakan untuk belajar, tapi untuk sosmed-an, selfie-selfie-an, makan, tidur, atau
huru-hara dengan teman-temanmu. Dimana letak penghargaanmu atas kerja keras
orang tuamu? Apakah janin berumur lima bulan yang sedang berkembang dalam
rahimmu itu yang akan kamu jadikan blueprint
atas kerja keras orang tuamu dalam menyekolahkanmu?
Ketahuilah Dik, menjadi
siswi itu memang gampang-gampang susah. Aku sudah mengalaminya lebih dulu. Aku
juga pernah melewati masa pubertas. Masa dimana aku selalu diingatkan akan
peringatan larangan pacaran oleh Ibuku. Sebenarnya masa-masa menjadi siswi itu
bisa menjadi sangat manis jika berada di jalur yang benar dan akan menjadi
rumit jika jalur yang benar itu dibelokkan. Masa-masa menjadi pelajar (brahmacari) adalah masa untuk mencari
dan menimba sebanyak mungkin ilmu pengetahuan (dharma) dan harus bisa pula menekan dan mengendalikan keinginan
atau hawa nafsu (kama). Jika bisa
melewati itu semua, pantaslah kamu digelari sisya
sista (siswa teladan).
Jadi sekarang, tidak
usahlah repot-repot meminta maaf kepadaku. Aku sudah memafkanmu sebelum kamu
memintanya. Orang tuamu adalah orang yang paling terpukul atas peristiwa ini
dan kepada merekalah kamu pantas memohon maaf. Tuhanpun mungkin baru akan
memafkanmu jika orang tuamu sudah bisa memberimu maaf. Bertanggung jawablah
atas perbuatan besar yang telah sukses kamu lakukan. Pesanku, jaga kesehatanmu
juga janin yang kamu kandung. Rawat baik-baik bayimu nanti. Kamu perlu banyak
belajar dari bidan desa atau ibu-ibu yang menurutmu punya kompetensi dalam mengasuh
anak. Tak perlu berkecil hati atas insiden ini. Tunjukkan pada orang tuamu dan
tunjukkan kepada masyarakat bahwa kamu bisa menjadi ibu yang baik. Cukuplah itu
menjadi pelajaran bagimu dan berusahalah untuk memperbaiki semuanya. Tolong
jangan abaikan lagi nasehatku yang terakhir ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar