http://winest-wirmayani.blogspot.com/2013/04/budaya-galau-mahasiswa-vs-tipologi-dosen.html

Kamis, 21 November 2013

"Gereja Tua" Effect


Dear orang yang selalu membuat bingung,
Tahu tidak, berkat teka-teki yang Anda buat, saya selalu terpikir untuk mencari tahu jawabannya. Segala sesuatu yang menyangkut Anda telah saya himpun dan saya analisa untuk mencari tahu makna yang tersirat. Tak mudah untuk mengetahui semua itu, sebab Anda adalah seorang yang "pintar", seorang yang begitu cerdas bahkan sangat cerdas untuk ukuran ini, hingga membuat saya bertanya-tanya. Begitu hebat settingan Anda hingga membuat semuanya menjadi kelabu. 
Secara tak langsung, teka-teki itu kini menstimulasi saya untuk berpikir. Ya, memikirkan sesuatu untuk mencari benang merahnya. Memikirkan sesuatu yang belum pasti kebenarannya. Tapi saya tidak akan berhenti untuk "mencari tahu" sebelum saya mendapat sebuah jawaban yang real.
Kejadian beberapa waktu lalu yang sempat membuat Anda berang, sungguh diluar dugaanku. Salah? Mungkin itu justifikasi Anda terhadap saya, tapi sesungguhnya itu keliru. Itu hanya sebuah kekeliruan yang berdampak pada kesalahpahaman. Kesalahpahaman yang berujung pada sikap dingin Anda beberapa hari yang lalu.
Hey guys, jika Anda baca dengan seksama pernyataan saya waktu itu, lalu Anda tanyakan pada orang yang sesuku, apakah makna kalimat itu? Sama sekali pernyataan saya tidak mengandung unsur untuk menghina Anda. Maaf jika Anda sempat risih akan kalimat saya yang Anda sendiri pun tak paham artinya itu.
Salam Gereja Tua :)

Rabu, 30 Oktober 2013

Dua Bulan Penuh Misteri: Sisi Lain KKN


Dua Juli dua ribu tiga belas, menjadi salah satu hari bersejarah dalam kehidupan akademikku. Hari dimana aku merasa bahwa aku telah matang menjadi mahasiswa. Hari dimana aku untuk pertama kalinya berhadapan dan terjun langsung dalam masyarakat sebagai bentuk pengabdian. Rasa bangga itu tak dapat dielakkan, senang sekali rasanya bisa mengabdi pada masyarakat desa, serasa menjadi Pengajar Muda di Indonesia Mengajar.
Dua bulan. Ya, tepat sekali! Siapa bilang dua bulan itu waktu yang singkat. Tidak. Bagiku, dua bulan adalah waktu yang begitu panjang, apalagi tinggal bersama rekan-rekan sesama mahasiswa KKN yang belum saling mengenal satu sama lain. Disinilah kekompakan kami diuji, bagaimana menjalin hubungan kerjasama tim yang baik agar seluruh program kerja dapat berjalan sesuai harapan. Yang namanya belum kenal, pastilah ada hal yang mengganjal, tak seperti kerabat atau sahabat yang telah kita kenal sebelumnya. Mengutip kata pepatah, “tak kenal maka tak sayang”. Itulah yang terjadi. Aku kerap pesimis dengan mereka yang belum kupahami karakternya. Kerap kali aku mengeluh, “Oh God, kenapa aku ditempatkan seposko dengan makhluk-makhluk seperti ini”. Begitulah. Tapi, itu dalam dimensi pesimistik yang didominasi oleh egoku. Tak dapat dipungkiri, dengan berkumpul bersama mereka, ada suatu optimisme, ada semacam motivasi yang saya dapatkan, walau itu bukan langsung datangnya dari mereka. Ada suatu hal yang selama ini kutentang, sampai akhirnya aku sadar sendiri, bahwa disanalah letak dan sumber motivasi itu.

Selama dua bulan berjalan, pergolakan diantara kami berempat kerap terjadi. Perbedaan term of reference juga field of experience membuat kami sering terlibat konflik. Tapi, berkat manajemen yang baik, serta dibumbui oleh rasa-rasa yang entah apa sebutannya itu, akhirnya rekonsiliasi konflik terjadi dan itu menyebabkan hubungan kami menjadi dekat. Ada semacam hubungan timbal balik diantara kami berempat. Mulai dari observasi, lokakarya desa untuk penentuan program kerja, hingga pelaksanaannya selalu dibumbui aneka rasa. Kadang menyenangkan, ada pula menjengkelkan hingga menyedihkan. Aku pun pernah mengalami semuanya, hingga suatu ketika aku bersyukur kepada Tuhan YME telah menempatkanku seposko dengan mereka. Dibalik kesedihan, selalu saja ada tawa yang menggema. Ada suatu kesedihan mendalam pasca KKN, tapi mungkin hanya aku yang merasakannya.
Ketika itu, aku duduk sendirian di Kantor Desa ditemani laptop, sebuah diary biru, MP3, buku Bhagawadgita dan pastinya camilan tak pernah ketinggalan. Aku mengelaborasi semuanya, mengeksplor semua kejenuhan yang kutuangkan dalam goresan pena pada diary biruku. Bhagawadgita hijau itu bagai basis kekuatanku, mereduksi jiwaku yang perlahan rapuh, menguatkan pikiranku dari terlampau jenuhnya aku saat itu. Pada saat yang bersamaan, aku serasa memperoleh suatu jawaban riil tentang penyebab kegalauanku tiga hari berturut-turut kemarin. Walau aku sudah menemukan jawabannya dan nuraniku berkata benar, tapi egoku tetap merajai pikiranku hingga aku tak sanggup menerima kenyataannya. Arghhh. Aku menggerutu. Kenapa ya perasaan itu muncul? Bagaimana bisa? Mengapa harus dia? Apa yang menyebabkan? Sederet Tanya itulah yang kutanyakan dengan hatiku. Kalau sudah begini, maka terlalu sulit bagiku untuk menghapusnya. Melenyap-bersihkan perasaan seperti ini memang membutuhkan waktu yang lama. Makanya, sebisa mungkin aku selalu menghindari hal-hal semacam ini, karena aku tahu benar betapa sulitnya aku untuk menghapusnya. Inilah yang kunamai CINTA, walau aku sendiri pun sulit mendefinisikannya.
Sering kali aku menyendiri, mencari tempat asing dan aman bagiku untuk sekedar rehat dari perasaan-perasaan itu. Aku khawatir, jika terlalu lama bersamanya, aku takut perasaan itu makin menjadi, hingga akhirnya aku memutuskan untuk menjauh, menghindar dari jangkauannya. Di lain sisi, aku selalu ingin melihat raut wajahnya, tapi sekali lagi, aku tetap bersikukuh menahan diri. Menanyakan kabar lewat cara sesederhana SMS pun aku enggan. Bukannya berniat sombong, bukan sama sekali. Aku hanya ingin, agar aku tak terlalu terbawa dalam perasaan aneh itu.
Kini, semuanya telah berlalu, walau ada segelintir hal yang tak dapat dilewatkan begitu saja. Dua bulan adalah waktu yang panjang. Dua bulan yang mengandung keajaiban. Dari totalitas kebencian, bisa menumbuh-suburkan rasa cinta. Sayang, cinta itu datangnya tiba-tiba dan tanpa permisi. Seandainya saja dia pamit dulu sebelum menguasai hatiku, pasti hal ini gak bakal terjadi. Aku berharap suatu ketika aku bertemunya kembali, dalam waktu yang kurang dari dua puluh menit. I hope it.

Senin, 21 Oktober 2013

Ibu Cerdas, Angin Segar dalam Konstruksi Indonesia Paripurna 2045


 
Tahun 2045, pada seabad kemerdekaan Indonesia merupakan tahun yang disebut Mendikbud, Muh. Nuh sebagai tahun generasi emas Indonesia. Dimana dalam tahun tersebut, anak Indonesia banyak yang berusia produktif. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bermaksud untuk menghadiahi Indonesia dengan “generasi emas” dalam grand design Indonesia Paripurna 2015. Dalam mewujudkan generasi emas itu, anak dari usia dini menjadi targetnya. Mulai dari faktor biologis hingga sosialnya, mulai dari asupan gizinya hingga mempengaruhi kecerdasannya yang kemudian bisa beradaptasi dan berprestasi dalam kehidupan sosialnya. Dalam hal ini, orang tua memiliki peran penting dalam mewujudkan target Mendikbud tersebut, terutama Sang Ibu.
Dalam upaya mewujudkan generasi emas, Sang Ibu perlu mempunyai persiapan dan strategi emas pula untuk mendidik, mengasuh, membimbing, terlebih memperhatikan gizi anak untuk menutrisi perkembangannya. Sejak di dalam kandungan, pasca kelahiran, hingga tumbuh kembangnya, semuanya tergantung pada Ibu, bagaimana Sang Ibu merawatnya. Apakah emas itu beberapa tahun yang akan datang tetap berkilau, atau emas itu akan pudar akibat tak terawat? Semuanya terletak pada Ibu. Sejak berupa janin, seorang Ibu atau calon ibu mengonsumsi makanan dan minuman yang alami. Asupan karbohidrat dapat diperoleh dari nasi, begitu pula untuk kebutuhan protein sebagai zat pembangun dapat diperoleh melalui tempe, tahu dan kacang-kacangan sebagai protein nabati yang mudah dicerna oleh tubuh. Berbeda halnya dengan protein hewani yang berasal dari daging maupun ikan. Jenis makanan ini mengandung lemak jenuh yang sulit terurai oleh tubuh. Jika sering dikonsumsi dan dalam jangka waktu yang panjang, beberapa gangguan kesehatan mulai muncul, seperti hypertensi, kolesterol dan lainnya yang bisa mempengaruhi cara kerja jantung akibat banyaknya lemak yang bertumpuk di area tersebut.

Untuk itu, pada masa kehamilan sangat disarankan bagi Ibu yang tengah mengandung untuk mengonsumsi buah dan sayuran segar agar vitamin yang dikonsumsi oleh Sang Ibu bisa diserap oleh Si Jabang Bayi untuk pertumbuhannya. Selain itu, mengonsumsi susu sari kedelai juga sangat bermanfaat bagi kesehatan Ibu, sebab kedelai adalah kelompok kacang-kacangan yang kaya nutrisi yang tentunya berdampak baik bagi tubuh. Untuk susu kedelai ini disarankan bagi Ibu untuk membuatnya sendiri agar kebersihannya terjamin. Sebab jika dibeli di pasaran, bukan tak jarang jika produk tersebut kurang higienis juga mungkin mengandung bahan pengawet. Mengapa bukan susu ibu hamil? Untuk kalangan menengah atas, pengonsumsian terhadap susu ibu hamil yang tersedia dalam bentuk kemasan ini mudah dijangkau, lalu bagaimana dengan ibu-ibu hamil dari kalangan ekonomi menengah kebawah? Mereka juga berhak dan harus sehat lho. Nah, itu tadi solusinya, susu kedelai. Jangan meremehkan nutrisi kedelai ya Bu. Walaupun harganya relatif murah, bukan berarti murahan pula dari segi nutrisinya. Tidak. Kedelai mengandung banyak vitamin yang mudah dicerna oleh tubuh. Ia tak kalah dengan susu-susu full creme atau susu lainnya yang berasal dari susu hewani. Bahkan, susu kedelai memiliki kelebihan, yakni tidak mengandung lemak jenuh, sehingga tidak menyebabkan obesitas serta gangguan kesehatan lainnya. Sebab di dalam susu kedelai tidak terdapat lemak jenuh. Pola hidup vegetarian seperti ini perlahan mestinya mulai diterapkan oleh masyarakat Indonesia. Selain memiliki gizi yang baik, bahan-bahannya mudah didapatkan, pola hidup vegetarian ini juga bisa membantu banyak Ibu-Ibu di Indonesia yang kekurangan asupan gizi saat masa nifas, sehingga berdampak pada kesehatan Ibu dan kecerdasan anak. Olehnya, merupakan suatu harapan besar penulis bagi pemerintah serta perusahaan susu di Indonesia, untuk melakukan sebuah inovasi pangan berbasis vegetarian yang dapat menyuplai kebutuhan gizi warga negara Indonesia dengan menyubstitusi protein hewani ke nabati. Hingga tak ada alasan bagi ibu dan anak Indonesia untuk kekurangan gizi sehingga dapat menurunkan angka kematian bayi dan kematian ibu saat melahirkan, yang merupakan indikator kesehatan pada suatu negara.
Lalu bagaimana membentuk tumbuh kembang anak yang optimal? Ada beberapa point yang mesti diperhatikan oleh Sang Ibu, yakni dari segi nutrisi yang menyangkut asupan gizi; dari segi kesehatan yang meliputi kebersihan dan olah raga; stimulasi fisik dan psikis yang berkaitan dengan bakat; serta inisiasi kehidupan bermasyarakat yang akan membangun mental serta kepedulian anak terhadap lingkungan dan menjadi wadah bagi anak untuk memainkan peran sosialnya. Untuk itu, para ibu perlu perhatian ekstra terhadap si buah hati dalam memantau tumbuh kembangnya sehingga nantinya bisa menjadi kebanggaan atas prestasi yang diukir si buah hati.
Ditinjau dari segi nutrisi, selain merupakan keharusan bagi bayi berusia 0-6 bulan untuk mengonsumsi ASI eksklusif, yang perlu diperhatikan untuk usia diatasnya adalah asupan gizinya yang meliputi karbohidrat, protein, vitamin serta mineral yang keseluruhannya bisa terpenuhi secara vegetarian. Mudah didapat dan kaya nutrisi serta bebas dari obesitas. Pada usia 7-12 bulan, makanan-makanan itu direbus dan dihaluskan (dijadikan bubur saring) agar mudah diproses dalam pencernaan bayi. Kemudian pada usia selanjutnya, makanan-makanan itu bisa dijadikan bubur biasa, lalu secara bertahap anak dapat mengonsumsi nasi. Konsumsi buah juga sangat disarankan. Pisang, jeruk, pepaya, apel, adalah buah-buahan yang relatif kaya vitamin dan relatif mudah didapatkan. Jangan lupa untuk memberikan wortel dan tomat yang kaya akan vitamin A untuk kesehatan matanya.
Jika tadi tentang nutrisinya, maka dari segi kesehatannya perlu dilakukan pengawasan terhadap kebersihan si buah hati. Saat berusia dini, tubuh bayi mudah terserang penyakit sebab daya tubuhnya masih lemah. Untuk mencegah timbulnya penyakit, perlu diperhatikan di area tubuh bayi yang lembab, seperti lipatan-lipatan kulit, pantat dan selangkangan. Untuk usia 1 tahun keatas, selalu diperhatikan kebersihan tangannya. Biasakan mencuci tangan sebelum dan sehabis makan, serta mencuci tangan seusai bermain. Tangan merupakan media utama penyebaran bibit-bibit penyakit penyebab gangguan kesehatan seperti diare, muntaber dan lainnya. Selain itu, biasakan sang anak untuk berolahraga untuk kesehatan tubuhnya, seperti melakukan gerakan tangan, kaki, melompat, berlari dan sebagainya.
Setelah anak tumbuh dengan nutrisi seimbang serta kesehatannya, point penting yang mesti Ibu lakukan adalah menstimuli secara fisik dan psikisnya. Apakah itu? Maksudnya, secara fisik Ibu perlu memberinya rangsangan berupa gerakan, misalnya mengajari gerak jalan, menari bagi anak perempuan, yang mana dalam aktivitas itu mengandung gerakan kaki dan tangan yang bertujuan untuk melatih organ anggota geraknya. Untuk kondisi psikis, anak dapat distimuli dengan beraktivitas di alam bebas. Dengan itu, ia akan melihat, mendengar secara langsung apa yang terdapat pada alam. Melalui cara ini ia akan banyak menemui hal-hak baru, seperti tumbuhan, hewan, maupun benda yang ada disekitarnya. Inilah yang dapat memicu keingintahuan anak yang selanjutnya dia akan menanyakan perihal benda-benda yang ia temukan kepada sang Ibu. Menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan sang anak, seorang ibu haruslah menjawab dengan bahasa yang mudah dipahami sang anak. Disini pula ia akan belajar banyak tentang ilmu pengetahuan yang tentunya akan membuka kemampuan nalarnya. Bisa jadi belajar menghitung, belajar berbahasa, belajar tentang alam serta banyak lagi yang lainnya yang bisa didapatkan sang anak lewat alam yang semuanya dilakukan dengan cara belajar sambil bermain (learning by doing).

Semuanya dapat Ibu lakukan untuk mengoptimalisasi tumbuh kembangnya agar Si Buah Hati selalu bisa tampil membanggakan. Hingga pada nantinya, Si Ibu yang merupakan inisiator dan desainer tumbuh kembang sang anak, bisa dengan bangganya mempersembahkan anak bangsa yang cerdas dan berkarakter yang merupakan hasil “olahan” dari sang Ibu dari sebelum kelahiran hingga tumbuh menjadi anak yang cerdas. Dunia Pendidikan pasti bangga memiliki Ibu yang cerdas yang telah mendukung grand design-nya dalam menghadiahi Indonesia pada seabad kemerdekaan tahun 2045 mendatang dengan hadirnya generasi emas Indonesia. Jadilah ibu yang selalu tanggap terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Salam hangat untuk Ibu-Ibu Indonesia.

Jumat, 31 Mei 2013

Indonesia Jaya Jika Pancasila Berstana



Indonesia, sebuah negara kepulauan yang secara astronomis terletak pada Garis Lintang 60LU-110LS serta pada Garis Bujur 950BT-1410BT. Wilayah Nusantara ini terbentang dari Sabang hingga Merauke dengan ribuan pulau besar dan kecil yang berjejer sepanjang bentangan itu. Secara geografis, negara ini diapit oleh dua samudera, yaitu Pasifik dan Hindia. Indonesia juga dikenal dengan kemaritimannya, sebab dua per tiganya dari total wilayah NKRI terdiri atas lautan.  Begitu pula dengan kondisi demografis di negara ini. Negara Indonesia dikenal sebagai negara agraris, sebab sebagian besar warga negaranya bermata pencaharian sebagai petani. Belum lagi dari segi budaya. Indonesia kaya akan kebudayaan. Banyak produk budaya asli Indonesia yang menjadi kebanggaan dunia. Indonesia punya suku bangsa yang beragam, punya bahasa daerah yang variatif, punya produk-produkseni yang memiliki tingkat estetika tinggi bahkan menjadi salah satu keajaiban dunia, punya wilayah desa adat yang sarat akan kearifan lokalnya, serta masih banyak lagi keunikan asli Indonesia yang tak dimiliki oleh bangsa manapun. Olehnya, sudah semestinya bangsa Indonesia bangga dan cinta terhadap tanah air ini.

Kalau ditanya, apakah saya bangga menjadi warga negara Indonesia? Maka saya dengan penuh kebanggaan pula akan menjawab “bangga”. Bangga yang saya bubuhkan tanda petik itu bukan sebatas menunjukkan kebanggaan saja, melainkan bermakna bangga yang bersyarat. Ini mengandung pengertian bahwa tak rasa bangga itu tak menyeluruh, tetapi ada beberapa sisi yang patut disyaratkan untuk mencapai kebanggan penuh

Jumat, 10 Mei 2013

God’s Premium Product; Special Gift for Bali



Saat ini, saat saya menulis artikel ini, saya benar-benar sedang membanggakan sosok pemuda (walau secara hukum bukan pemuda lagi) Bali berusia 32 tahun ini. Sosok revolusioner, risk taker hingga tak jarang menjadi sosok kontroversi bagi sebagian orang yang kontra terhadapnya. Banyak rekam jejak yang dilakukannya dan itu semakin menambah kekagumanku terhadap seorang yang memiliki nama 70 digit ini. Peran sosial, memajukan pendidikan, terlebih adalah perannya bagi negara dan agama, membuat saya tak punya alasan untuk tidak mengidolakannya. Dialah Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III, SE., M.Si. rektor Universitas Mahendradatta yang juga founder The Sukarno Center.
Saya berpikir, dia adalah produk premium Tuhan yang spesial dihadiahkan untuk Bali sebagai wilayah pengayom dan pengamal Pancasila di Indonesia. Bali (red:Hindu) beruntung memiliki pemuda yang bisa membela dan membuat tracking record yang membuktikan bahwa Hindu Bali mampu berkompetisi bersama kelompok kelas satu di negeri ini. Ia kerap menstimuli generasi muda Hindu untuk melakukan perubahan positif, serta meninggalkan segera kultur-kultur yang tidak menyehatkan (kultur belog ajum, do ngaden awak bise, etc) yang dinilainya tidak berpotensi meningkatkan kualitas Hindu. Banyak tulisannya yang analitik, ringan dan menggelitik serta penuh kritik yang ia tulis dalam situs pribadinya dan itu sangat inspiratif.

Selasa, 30 April 2013

Budaya Galau Mahasiswa vs Tipologi Dosen



Galau. Ya, lima huruf yang terangkai dalam satu kata ini, menjadi trending word dalam setiap perbincangan para remaja, alay, pemuda, dan berbagai jenis kaum lainnya. Kata sederhana ini mengandung makna yang jamak, yang ajaibnya bisa dipadankan dengan berbagai kata. Hingga tak heran, apabila kata ini kerap dipakai untuk melukiskan perasaan dan kondisi hati seseorang yang tengah dilema, resah, gelisah, gundah, pokoknya perasaan yang masih kena family dengan resah gelisah itulah.
Tak terkecuali di kalangan mahasiswa. Ini dia, mahasiswa memang rada aneh. Saya menyadari itu (eike aktor galau juga coy). Kegalauan dalam lingkup mahasiswa disebabkan oleh berbagai hal, baik yang nyata (skala) maupun yang abstrak (niskala). Tapi, disini saya akan membahas kegalauan yang asal muasalnya bersumber dari tugas-tugas akademik. Yups, mahasiswa atau yang pernah jadi mahasiswa pasti ngerti dengan galau laten satu ini.
Baiklah, saya akan memulai menguraikan tipologi kegalauan akan tugas-tugas itu. Sebagai seorang mahasiswa yang baik, kita harus masuk perkuliahan sesuai dengan waktu yang tertera dalam KRS. Dengan semangat empat lima ke kampus, kadang ngebut di jalanan juga sudah menjadi kebutuhan tatkala waktu kuliah sudah mepet, apalagi dosennya tipe chiller. Wow, jalanan sudah seperti cross area, tampaknya itu sudah dihalalakan otomatis oleh mahasiswa. Nah, setibanya di kampus, tepat waktu pula, setelah sebelumnya ngebut bak Valentino Rossi di jalan, tapi dosennya gak masuk, cuma nitip oleh-oleh tugas yang disampaikan oleh asistennya. Jleb!! Rasanya ingin nyakar tembok dan nelan batako. Biasanya dalam kondisi galau model ini, si dosen yang bersangkutan telah mendapat label khusus dari rembukan dan curahan hati miris para mahasiswa yang telah ditelantarkannya. Alangkah hancurnya perasaan ini, datang cepat-cepat, ngebut, toh akhirnya dosen tidak masuk tapi memberi tugas. Absurd, bukan?
Yo wes lah, apa boleh buat, positive thinking aja. Kerjakan aja tugas-tugas yang diberikan, agar raut wajahnya yang sudah rada keriput itu tidak tambah kusut, yang kepalanya sudah botak tengah,

Jangan Tambah Kegalauan Pemerintah dengan Aksi Belog Ajum Mahasiswa



Mahasiswa kerap disebut sebagai “The Agent of Change” atau agen pembawa perubahan, begitulah bahasa sederhananya. Mungkin inilah yang dijadikan oleh kebanyakan mahasiswa gak gaul itu sebagai alat pembenaran untuk melakukan serangkaian hal yang berbau “perubahan” tapi salah kaprah. Mereka kurang (bahkan tak mengerti) apa yang dimaksud dengan konotasi “perubahan” yang sebenarnya. The agent of change memang gak salah diidentikan dengan mahasiswa, bahkan memang begitu seharusnya kepribadian seorang mahasiswa, dengan catatan, perubahan yang berdampak pada kebaikan. Lantas, kalau dampaknya malah kebanyakan ketidak-baikannya, gimana? Nah, itu bukan the agent of change namanya, tapi belog ajum. Apa sih belog ajum itu? Belog ajum adalah ujaran dalam Bahasa Bali yang artinya kurang lebih bodoh plus sok. Udah  bodoh, sok pula. Walah-walah, benar-benar kultur yang sangat tidak patut untuk dicontoh apalagi diwariskan.
Ini dia, perbelog-ajuman kerap terjadi dikalangan mahasiswa jika ada kebijakan pemerintah yang sedikit kontras dengan kebijakan yang berlaku sebelumnya. Disinilah biasanya kumpulan-kumpulan mahasiswa gak gaul itu melakukan aksi yang luar biasa anehnya dengan berbagai motif yang perlu dipertanyakan kejelasannya. Mereka kerap berorasi yang kadang (bahkan sering) gak jelas apa yang dimaksudkan. Kalau saya sarankan, mereka itu perlu mempelajari ilmu komunikasi, agar bisa menyampaikan pesan secara efektif yang kemudian bisa diterima khalayak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh sang komunikator atau orator tadi. Bukan dengan acara teriak-teriak (bahkan bercucuran keringat) demi menyuarakan sesuatu yang gak jelas ujung pangkalnya.
Mereka yang sulit dibahasakan sebutannya itu, biasanya terhimpun dalam kelompok-kelompok tertentu yang hobinya mengkritik (tanpa solusi) kebijakan pemerintah. Secara tak langsung, mereka-mereka ini menjadi salah satu kelompok penekan (pressure group) dalam kampus, juga tak salah rasanya jika menyebutnya pula sebagai kelompok radikal. Kelompok-kelompok aneh yang hanya mengeruhkan dan memusingkan negara. Apalagi dalam waktu dekat ini, ada isu kenaikan BBM. Nah ini dia momentum yang paling ditunggu-tunggu para penggiat demo itu.

Rabu, 06 Maret 2013

Menghadang Regenerasi Korupsi Melalui Pendidikan Anti Korupsi

 Bangsa  Indonesia seolah tak pernah sepi dari pemberitaan kasus korupsi. Itu tercermin dari berbagai media massa yang santer memberikan hal itu. Tak jarang pula, pemberitaan korupsi kerap menjadi headline. Belum tuntas kasus A, tak lama muncul lagi kasus serupa, begitu seterusnya seolah tak menemui titik jenuhnya. Dari beberapa pemberitaan tentang kasus korupsi, sebagian besar aktor korupsi berasal dari partai politik yang memiliki jabatan strategis dalam instansi yang dinaunginya.
Bercermin pada fenomena itu, sejumlah pertanyaan pun muncul. Ada apa dengan iklim politik Indonesia? Mengapa parpol menjadi lahan subur bagi koruptor untuk mengepakkan sayapnya? Apa ada yang salah dengan pendidikan Indonesia? Tak bisakah dunia pendidikan menghadang regenerasi korupsi?
Berangkat dari hal itu, Presiden Republik Indonesia secara khusus menginstruksikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melaksanakan aksi pengembangan pendidikan anti korupsi pada perguruan tinggi sebagaimana dinyatakan dalam Instruksi Presiden RI Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012.
Memang, masuknya Mata Kuliah Pendidikan Anti Korupsi di perguruan tinggi merupakan suatu hal yang perlu diapresiasi. Tapi, perlu diperhatikan juga beberapa komponen yang terkait  dalam hal itu, sehingga kemudian mata kuliah ini bisa memberikan luaran yang baik, sesuai dengan

Senin, 28 Januari 2013

Kerinduan Besar Sang Anak untuk Berdamai


Seekor ayam baru saja menetaskan telurnya. Menjadilah beberapa ekor anak ayam yang lucu dan juga pintar. Mereka dituntun oleh sang induk untuk mengenal kehidupan, mencari makan, hingga membela diri bahkan berlindung tatkala ada bahaya mendekat. Begitu akrabnya keluarga ayam ini, selalu ada canda gurau disetiap langkah mereka. Sang induk pun tak henti-hentinya menuntun anaknya, kelak bisa ia andalkan dan bisa meneruskan cita-citanya.
Seiring waktu berlalu, anak-anak ayam itu mulai tumbuh. Ia tak lagi seperti dulu sewaktu masih kecil. Mereka ingin menemukan jati dirinya, mengeksplorasi segala potensinya, tanpa berpatokan dengan segala peraturan yang seolah telah disusun secara sistematis oleh sang induk. Disitulah hubungan famili itu mulai renggang.
Dari kesenjangannya dengan Sang Induk, anak-anak ayam ini sebenarnya menyimpan suatu hal layaknya hubungan keluarga, ada aspek yang tak mungkin dipisahkan. Suatu kekeliruan memang jika anak-anak ini terkesan menentang induknya. Tapi, dilain sisi anak-anak ini juga mempunyai hak asasi, punya hak berpendapat, bertindak dan juga hak untuk berkembang. Mulailah mereka satu per satu berkelana, hingga masih beberapa ekor saja yang masih bersama Sang Induk.
Kepergian anak-anaknya serta perilakunya yang terkesan menentang,

Jumat, 25 Januari 2013

Jurnal atau PR?


Tak terasa sudah memasuki semester enam. Ternyata sudah 3 tahun lamanya saya berada di Universitas Tadulako. Beberapa hari ini, otak saya sedang mencerna pertanyaan-pertanyaan serupa tapi dari sumber yang berbeda. Sebenarnya hal itu sudah kupikirkan matang dari awal. Tapi entah kenapa, pertanyaan-pertanyaan itu seakan turut mempengaruhi keputusanku.
Ilustrasi PR
Ilustrasi Jurnal
Ya, pemilihan konsentrasi. Pada semester enam, mahasiswa Ilmu Komunikasi sudah menentukan konsentrasinya, Jurnalistik atau Public Relations. Inilah yang menjadi ladang kebingungan mahasiswa seangkatanku. Aku berpikir simpel, kenapa sih perlu dipermasalahkan sampai dengan pertimbangan berat, seberat-beratnya? Toh kedua konsentrasi  itu hanya berbeda tiga mata kuliah saja. Jadi kenapa mesti bingung? Kan itu sesuai dengan minat masing-masing, bukan suatu paksaan. 
Entahlah. Sepertinya ada hal besar yang mendasari kebingungan itu. Ditengah kebingungan mereka, aku telah memutuskan akan ke jalur mana aku pada semester ini dan kedepannya. Menurutku itu bukan pilihan berat. Jadi, tak sulit bagiku untuk menjatuhkan pilihan yang masih kurahasiakan dan mungkin akan membuat kaget beberapa pihak.
Baik Jurnal maupun PR, pada hakikatnya sama saja, tinggal bagaimana kita bersikap dan berusaha agar keduanya bisa “menyamankan” diri kita nantinya. Percuma saja bila menetapkan pilihan pada PR atau Jurnal, toh kita tidak berlatih. Sebab, segala sesuatunya tidak ada yang bersifat instan. Semuanya perlu latihan. Ya, penggabungan antara teori dan action, itulah yang akan menyempurnakan dan memberikan hasil pada perkuliahan ini nantinya. Jadi, baik Jurnal maupun PR, tak perlu sangat dirisaukan. Keduanya akan berdampak baik apabila kita mampu memperbaiki kualitas diri.  
x_3badcda6