“Luh, sehat-sehat
disana? Selalu perhatikan jidatmu itu, jangan sampai panas. Ibumu titip salam,
katanya rindu dengan jidat dan pipimu.” Begitulah kira-kira kalimat yang selalu
Bapak sematkan entah itu via suara atau pesan singkat. Beberapa hari lalu juga
saya dihubungi oleh sepupu saya katanya ayahnya menitip salam rindu untuk jidat
(dahi) saya. Memang, jidat dan saya adalah dua hal yang terlalu sulit
dipisahkan. Tak heran, jika bertemu saya, mereka selalu meluangkan waktu untuk
mengusap jidat saya yang luas, yang bisa mengingatkan mereka akan peristiwa
tahun 1992 silam. Bahkan pada saat menjelang akhir hayatnya, nenek saya masih
menyempatkan diri mengusap jidat saya. Ada apa dengan jidat saya? Apakah ada
kandungan hal-hal mistis? Jawabannya, tentu saja tidak.
Bulan ketujuh dua puluh
empat tahun silam, keluarga saya diliputi kebahagiaan. Bahagia karena sebentar
lagi cucu/anak pertama mereka akan lahir ke dunia. Bisa dibayangkan bagaimana
senangnya ketika baru pertama kali rumah akan diramaikan oleh tangisan seorang
bayi. Semua keluarga saya (keluarga dari pihak Ibu dan Bapak), sangat
menantikan hal itu. Hal-hal yang berkaitan dengan kelengkapan bayi, sudah
lengkap mereka persiapkan dalam rangka menyambut bayi mungil yang sebentar lagi
menjadi anggota keluarga mereka. Baju bayi, sarung tangan dan kaki, beserta
bedak, tak usah ditanya lagi. Begitu mereka bertutur. Ternyata das
sein dan das sollen selalu saja
tak sejalan. Kebahagiaan mereka seolah semu, berbalik 360 derajat setelah
melihat kondisi si ibu yang memprihatinkan, serta si bayi mungil yang baru
kira-kira 10% merasakan udara di bumi, yaitu hanya sebatas kepalanya saja, lebih
tepatnya hanya bagian jidat (tidak termasuk alis). Siapapun yang berada disana
saat itu, refleks mengeluarkan air mata dan doa pun mengalir begitu saja dari
mulut mereka. Itu adalah hari yang mengharukan. Antara rumah akan ramai dengan
suara tangisan bayi atau akan kehilangan dua nyawa sekaligus.
Peralatan medis yang
terbatas, membuat si ibu hamil tak bisa diberikan pertolongan di desa saat itu,
terlebih karena kondisinya sudah sangat parah. Bidan desa pun angkat tangan
akan kasus ini. Lalu si ibu hamil dan bayi yang baru 10% menjadi anggota
penduduk planet bumi itu dilarikan ke puskesmas kecamatan. Mungkin nasib baik
belum berpihak kepada kami, hingga si ibu hamil itu tidak juga berhasil mengeluarkan
90% lagi dari bagian tubuh si bayi dari rahimnya. Lagi-lagi keterbatasan peralatan
medis menjadi kendalanya. Semuanya kini pasrah, kecuali almarhum kakek dan
paman saya. Si ibu hamil beserta bayi yang malang itu lalu di bawa ke RSU. Undata
Palu, setelah 2hari dan tiga malam si ibu hamil merasakan sakit yang luar biasa
dan jidat si bayi malang itu sudah membiru. Yang lebih memprihatinkan lagi, air
ketubannya sudah habis.
Tak sampai hitungan
jam, dengan peralatan medis yang cukup canggih dimasa itu, kecemasan mereka
dibayar dengan tangisan lirih seorang bayi perempuan dengan berat 356gr. Kesedihan
mereka seketika berubah menjadi kebahagiaan tiada tara ketika melihat bayi
perempuan serta ibunya yang juga terlihat sehat, seolah tak terjadi apa-apa
sebelumnya. Hanya saja jidat si bayi masih terlihat kebiruan. Dua hari tiga
malam terjepit di pintu keluar bukanlah
hal yang mudah. Begitu juga dengan si ibu yang kuat menahan sakit selama itu hingga
bisa melahirkan normal. Mereka merupakan tim yang solid. Sama-sama bertahan dan
berjuang untuk tetap hidup.
Itulah kisah singkat
seputar jidat. Itu pula sebabnya mengapa mereka selalu merindukan untuk
mengusap jidat saya kapanpun. Sentuhan terhadap jidat itu bisa mengingatkan
mereka pada tahun 1992, betapa cemas dan gembiranya mereka memiliki cucu, anak,
keponakan untuk pertama kalinya. Itu pula yang menjadi penyebab mengapa saya
terlalu sulit mendapat izin untuk bekerja atau sekolah di luar Sulawesi Tengah.
Rindu tak bisa diobati dengan suara di telpon, katanya. Terkhusus orang tua
saya, selain saya hanya anak perempuan satu-satunya dari mereka, saya juga
menjadi kesan tersendiri bagi mereka ketika berhasil melewati masa-masa sulit
bersama. Semoga Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Tahu, Pengasih dan Penyayang
itu selalu menyertai kita sekalian.