http://winest-wirmayani.blogspot.com/2013/04/budaya-galau-mahasiswa-vs-tipologi-dosen.html

Rabu, 01 Juni 2016

Ketika Satu Usapan Jidat Bisa Memanggil Memory 1992




“Luh, sehat-sehat disana? Selalu perhatikan jidatmu itu, jangan sampai panas. Ibumu titip salam, katanya rindu dengan jidat dan pipimu.” Begitulah kira-kira kalimat yang selalu Bapak sematkan entah itu via suara atau pesan singkat. Beberapa hari lalu juga saya dihubungi oleh sepupu saya katanya ayahnya menitip salam rindu untuk jidat (dahi) saya. Memang, jidat dan saya adalah dua hal yang terlalu sulit dipisahkan. Tak heran, jika bertemu saya, mereka selalu meluangkan waktu untuk mengusap jidat saya yang luas, yang bisa mengingatkan mereka akan peristiwa tahun 1992 silam. Bahkan pada saat menjelang akhir hayatnya, nenek saya masih menyempatkan diri mengusap jidat saya. Ada apa dengan jidat saya? Apakah ada kandungan hal-hal mistis? Jawabannya, tentu saja tidak.

Bulan ketujuh dua puluh empat tahun silam, keluarga saya diliputi kebahagiaan. Bahagia karena sebentar lagi cucu/anak pertama mereka akan lahir ke dunia. Bisa dibayangkan bagaimana senangnya ketika baru pertama kali rumah akan diramaikan oleh tangisan seorang bayi. Semua keluarga saya (keluarga dari pihak Ibu dan Bapak), sangat menantikan hal itu. Hal-hal yang berkaitan dengan kelengkapan bayi, sudah lengkap mereka persiapkan dalam rangka menyambut bayi mungil yang sebentar lagi menjadi anggota keluarga mereka. Baju bayi, sarung tangan dan kaki, beserta bedak, tak usah ditanya lagi. Begitu mereka bertutur.  Ternyata das sein dan das sollen selalu saja tak sejalan. Kebahagiaan mereka seolah semu, berbalik 360 derajat setelah melihat kondisi si ibu yang memprihatinkan, serta si bayi mungil yang baru kira-kira 10% merasakan udara di bumi, yaitu hanya sebatas kepalanya saja, lebih tepatnya hanya bagian jidat (tidak termasuk alis). Siapapun yang berada disana saat itu, refleks mengeluarkan air mata dan doa pun mengalir begitu saja dari mulut mereka. Itu adalah hari yang mengharukan. Antara rumah akan ramai dengan suara tangisan bayi atau akan kehilangan dua nyawa sekaligus.

Peralatan medis yang terbatas, membuat si ibu hamil tak bisa diberikan pertolongan di desa saat itu, terlebih karena kondisinya sudah sangat parah. Bidan desa pun angkat tangan akan kasus ini. Lalu si ibu hamil dan bayi yang baru 10% menjadi anggota penduduk planet bumi itu dilarikan ke puskesmas kecamatan. Mungkin nasib baik belum berpihak kepada kami, hingga si ibu hamil itu tidak juga berhasil mengeluarkan 90% lagi dari bagian tubuh si bayi dari rahimnya. Lagi-lagi keterbatasan peralatan medis menjadi kendalanya. Semuanya kini pasrah, kecuali almarhum kakek dan paman saya. Si ibu hamil beserta bayi yang malang itu lalu di bawa ke RSU. Undata Palu, setelah 2hari dan tiga malam si ibu hamil merasakan sakit yang luar biasa dan jidat si bayi malang itu sudah membiru. Yang lebih memprihatinkan lagi, air ketubannya sudah habis.

Tak sampai hitungan jam, dengan peralatan medis yang cukup canggih dimasa itu, kecemasan mereka dibayar dengan tangisan lirih seorang bayi perempuan dengan berat 356gr. Kesedihan mereka seketika berubah menjadi kebahagiaan tiada tara ketika melihat bayi perempuan serta ibunya yang juga terlihat sehat, seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya. Hanya saja jidat si bayi masih terlihat kebiruan. Dua hari tiga malam terjepit di pintu keluar bukanlah hal yang mudah. Begitu juga dengan si ibu yang kuat menahan sakit selama itu hingga bisa melahirkan normal. Mereka merupakan tim yang solid. Sama-sama bertahan dan berjuang untuk tetap hidup.

Itulah kisah singkat seputar jidat. Itu pula sebabnya mengapa mereka selalu merindukan untuk mengusap jidat saya kapanpun. Sentuhan terhadap jidat itu bisa mengingatkan mereka pada tahun 1992, betapa cemas dan gembiranya mereka memiliki cucu, anak, keponakan untuk pertama kalinya. Itu pula yang menjadi penyebab mengapa saya terlalu sulit mendapat izin untuk bekerja atau sekolah di luar Sulawesi Tengah. Rindu tak bisa diobati dengan suara di telpon, katanya. Terkhusus orang tua saya, selain saya hanya anak perempuan satu-satunya dari mereka, saya juga menjadi kesan tersendiri bagi mereka ketika berhasil melewati masa-masa sulit bersama. Semoga Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Tahu, Pengasih dan Penyayang itu selalu menyertai kita sekalian.
x_3badcda6