http://winest-wirmayani.blogspot.com/2013/04/budaya-galau-mahasiswa-vs-tipologi-dosen.html

Selasa, 22 Desember 2015

Smartphone, Smartgirl and Sex



Beberapa hari lalu saya kedatangan sepupu perempuan saya yang masih duduk di bangku SD kelas 1. Ia baru saja berulang tahun yang keenam.  Kedatangannya disini untuk berlibur seusai ujian semester. Anaknya ramai, mudah bergaul, cerdas dan melek teknologi. Kami berdua cukup akrab. Mungkin karena saya sering membuatkan ia makanan-manakan yang saya sajikan dengan bentuk yang menarik atau mungkin karena saya sering bertindak jenaka, hingga ia betah dan nyambung berkomunikasi dengan saya. Misalnya saja jika saya punya waktu luang dan saya hanya berdiam diri di rumah. Reduktor alternatif kebosanan saya adalah 3M. Masak, musik dan make-up. Dapur adalah tempat saya bereksperimen membuat camilan dan dessert. Saya juga menyukai musik, walau saya sadar dan teramat sadar jika suara saya jauh dari predikat merdu. Selain itu, saya juga kerap mendandani diri membuat cosplay ala tokoh-tokoh tertentu dan berekspresi di depan cermin. Inilah yang menyebabkan beberapa item make-up saya cepat habis. Jika orang dewasa yang tidak mengenal saya melihat tindakan itu, mungkin mereka akan berpendapat jika saya orang aneh, stres atau kurang kerjaan. Tapi dari perspektif anak-anak, hal itu merupakan sesuatu yang mengasyikan dan lucu. Well, back to the topic.

Seperti biasanya, ia selalu mengawali pembicaraan kami. Saya yang sedang duduk manis di kursi di ruang belajar harus membagi konsentrasi antara mengerjakan feature yang tenggat waktunya tinggal dua hari lagi dan mendengarkan cerita dari anak ini. Sebenarnya, jika saya sudah berada di ruang belajar, saya tidak ingin diganggu oleh siapapun kecuali ada hal yang sangat penting. Berhubung ia masih anak-anak, saya pun memakluminya. Ia terus melanjutkan ceritanya mulai dari aktivitasnya di sekolah, teman bermainnya di rumah, ataupun mengulas hal-hal yang ia sukai. Sesekali saya menatap matanya dalam-dalam dan berhenti sejenak dari aktivitas saya agar ia merasa dirinya dihargai dan diperhatikan karena saya dengan setia mendengarkan ceritanya. Terkadang saya tertawa lepas mendengar ia bercerita yang disampaikan dengan bahasanya yang amat polos dan jenaka. Ah, ada-ada saja cara anak ini untuk membelah konsentrasi saya. Dia pun terus, lagi dan lagi bercerita, hingga saya sudah mulai kesal karena konsentrasi saya menyelesaikan feature nyaris buyar.

Berselang beberapa menit, suasana menjadi hening seketika. Inilah kesempatan saya untuk mengerjakan feature sambil waspada menunggu ia akan ngoceh kembali, layaknya menguji kesabaran saya. Sudah hampir dua menit menunggu dan ternyata belum ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Sudut mata kiri saya bisa menangkap raut wajahnya yang tampaknya sedang memikirkan sesuatu. Saya tetap diam, seolah hanya fokus pada komputer.

Ternyata dugaan saya benar. Ia menanyakan suatu hal. Saya merasakan nafas saya tertahan beberapa detik persis seperti saat melakukan kumbaka. Tahukan Anda apa yang ia sampaikan? Ia

Sabtu, 21 November 2015

Bersabarlah, Anak Gadismu Sedang Memantaskan Diri




Sederet pertanyaan “siapa pacarmu”, “mana pacarmu”, atau yang paling sadis “kapan nikah” adalah beberapa pertanyaan sarkastik yang akhir-akhir ini banyak tertuju kepada saya. Teman, kerabat, bahkan sosok cool yang saya kenal tabu membahas perihal cinta kini mulai angkat bicara. Ada pula sosok yang paling gencar menyuarakan larangan pacaran, kini malah menuntut hal itu. Saya jadi bingung dengan semuanya, revolusi macam apakah ini?

Ya, Ibu dan Bapakku. Mereka adalah dualisme yang saling melengkapi. Ibu yang eksrovert dan Bapak si introvert. Mereka berdua adalah tim yang solid. Kerjasama dan kekompakan mereka layak diapresiasi. Hal itu terbukti bahwa mereka sukses membuat dan menjalankan peraturan larangan pacaran yang ditujukan kepada saya selama masa studi berlangsung. Saya bulanlah sepenuhnya pribadi penurut. Saya lebih banyak menggunakan otak kiri. Sebelum menyetujui peraturan yang mereka luncurkan, saya menanyakan alasannya terlebih dahulu. Mereka beralasan, pacaran bisa mengganggu prestasi akademik di sekolah, karena persentasi konsentrasi belajar terbagi dengan aktivitas pacaran. Selain itu, degradasi moral juga menjadi salah satu alasannya. Karena usia remaja adalah transisi menuju dewasa, rentang usia yang rawan dan umumnya labil. Banyak pelajar yang tidak lanjut studinya karena pacaran yang tidak sehat. Logis! Logika saya dapat mencerna semua alasan itu, apalagi mereka menyertakan testimoni dalam propagandanya. Saya pun menikmati masa-masa studi tanpa pacaran. Berdasarkan pengamatan saya, sebenarnya ada beberapa pribadi yang cukup menarik, akan tetapi saya hanya bisa mengaguminya dari kejauhan dan dengan beberapa pertimbangan, saya tetap menarik diri dari pacaran. Ibu dan Bapak selalu mengingatkan larangan pacaran ini repetitif, hampir pada setiap kesempatan.

Entah mengapa semua itu kini mengalami perubahan yang signifikan. Ibu yang dulunya gencar menyuarakan larangan pacaran kini terang-terangan menanyakan jika saya sudah memiliki pacar atau belum. Yang paling sulit saya cerna dengan logika, bagaimana mungkin si Bapak yang saya kenal supel dan pendiam serta tabu membicarakan hal yang berbau cinta, kini malah menyerang dengan pertanyaan itu. Apakah batang usia saya sudah terlampau tinggi hingga saya layak dan teramat pantas disuguhkan pertanyaan bernada desakan seperti itu?

Bapak, Ibu, perlu kalian ketahui, anak gadismu sedang dalam upaya memantaskan diri. Kalaupun saya belum pacaran, bukan berarti saya tidak berupaya untuk mengarah kesana. Bapak, Ibu, masih banyak hal yang perlu saya pelajari agar benar-benar menjadi seorang wanita yang matang dalam menjalani masa grhasta nantinya. Tidak inginkah kalian memiliki cucu yang diasuh oleh seorang ibu cerdas?  Tidak inginkah kalian memiliki menantu yang bersahabat yang berkepribadian mulia? Tidak inginkah kalian mendengar jika besan kalian nantinya menceritakan kekagumannya atas kepiawaian putrimu? Semua itu sedang saya upayakan. Saya berusaha sebisa mungkin meningkatkan kualitas diri saya. Sekali lagi, saya tidak menunda pacaran. Saya mulai membuka diri. So, slow down and keep it simple!
 
Saya belum sepenuhnya yakin kalian bisa melepas anak gadismu secepat itu. Buktinya saya tak pernah dewasa di mata kalian. Ibu biasanya masih menyuapi nasi jika saya belum makan pada jamnya. Ibu juga masih suka mencubit manja pipi saya. Terkadang cubitannya membuat  saya menjerit kesakitan. Bagaimana tidak, Ibu mencubit pipi yang ada jerawatnya. Begitu juga dengan Bapak yang masih sering mengusap-usap jidatku ketika saya hendak tidur. Secara tak langsung, kalian masih menganggap saya sebagai gadis kecil yang selalu ingin kalian lindungi.

Bersabarlah dulu! Semuanya punya waktu dan semuanya punya porsi masing-masing. Ada saatnya saya akan menggandeng seseorang pria baik dan mengenalkannya kepada kalian. Ada saatnya kalian akan kusibukkan menggelar rangkaian upacara manusa yajna. Ada saatnya kalian akan merasa khawatir sekaligus gembira saat aku mengalami kelemahan tubuh pada trimester awal. Ada saatnya pula kalian akan menimang bayi mungil dan ia akan memanggilmu dengan sebutan “Dadong” dan “Kiyang”. Bersabarlah...

Tak ada yang perlu kalian cemaskan. Bila sudah waktunya, itu semua akan terjadi secara alami. Karena pernikahan bukan hanya perihal ovum dan sperma, tapi lebih kepada keseimbangan antara dharma, artha dan kama. Itulah esensi pernikahan menurut kaca mata saya, anak gadismu yang saat ini tengah memantaskan diri.

Kamis, 15 Oktober 2015

Bantu Aku Berdoa Melupakanmu

“Hey, apa kabarmu? Aku berharap semua kebaikan meliputimu. Asal kamu tahu, namamu tetap kulantunkan dalam bait-bait doaku”

Aku merasa pertemuanku denganmu bukan karena suatu kebetulan. Semuanya terjadi atas seizin Tuhan. Sejak aku mengenalmu, aku merasa ada yang berubah dengan diriku. Tutur katamu yang lembut serta raut wajahmu yang senantiasa ceria, membawa kesejukan tersendiri bagiku. Aku merasa nyaman walau hanya sekedar berbalas pesan singkat denganmu dan aku juga merasa aman tatkala mendengar suara lirihmu dari seberang sana. Aku selalu ingin tahu banyak hal tentangmu, hingga terkadang aku melemparkan sebuah tanya pada diriku, siapakah kamu?

Sekedar kamu ketahui, itu adalah pertanyaan yang cukup sulit untuk kujawab. Aku memerlukan waktu panjang untuk mendeskripsikannya. Terlalu rumit untuk dijabarkan. Jika ditarik kesimpulan sederhana, kesimpulan atas pertanyaan itu adalah kamu orang asing (bukan saudara, bukan teman, dll) yang begitu akrab di benakku. Kamu tak memiliki hubungan apapun denganku, tapi namamu selalu melekat dalam ingatanku. Tahukah kamu hingga saat ini aku tak pernah kehabisan cerita tentangmu?

Aku tahu, tidak akan pernah ada kata “kita” diantara kamu dan aku. Aku tetaplah aku, begitu pula denganmu. Tapi, aku punya banyak cerita tentangmu, sedangkan kamu? Aku tak yakin kamu memilikinya. Bahkan, mau tahu pun (mungkin) tidak. Ah sudahlah, aku tak ingin membahas ketidak-tahuanmu akanku. Saat ini, aku tengah berusaha melenyapkan namamu yang terlampau melekat erat dalam ingatanku. Tahukah kamu, aku selalu melantunkan sepucuk doa ketika pagi dan malam menjelang?

Dengan menyebut nama Tuhan, selain kusebutkan keluarga dan sahabatku, aku tak pernah luput menyebutkan namamu. Aku memohon kepadaNya, kiranya kamu selalu diliputi kebaikan dan aku pula memohon kepadaNya agar aku diberikan anugerah kekuatan yang ampuh untuk bisa melupakanmu. Kamu mungkin tak pernah tahu bagaimana rasanya merindukan seseorang yang tak pernah menjadi milikmu. Maukah kamu tahu bagaimana rasanya? Perih, sakit, sesak! Kamu tak pernah tahu bagaimana rasanya dada yang sesak seolah membeku dan hanya mata yang aktif meneteskan bulir-bulir bening. Itulah yang aku rasakan ketika aku sangat merindukanmu. Aku lalu mengirimkan sepucuk pesan ketus ke akunmu, sekedar menanyakan kabarmu. Kamu tak pernah tahu, berapa lama aku mengumpulkan keberanian untuk bisa mengirimkan teks singkat itu kepadamu. Sudahlah, aku rasa kamu tak perlu tahu semuanya, lagi pula itu sama sekali bukan salahmu dan bukan pula urusanmu.


Jika aku berkesempatan meminta satu hal, maka aku akan memintamu untuk membantu mendoakanku agar aku bisa segera melupakanmu. Aku yakin, ketika aku dan kamu (bukan kita) sama-sama berdoa untuk sebuah hal yang sama, maka Tuhan akan lebih mendengar doa itu. Kelak suatu saat nanti jika kamu dan aku diberikan umur panjang, entah kamu atau aku yang mendahului, ada saatnya kamu akan menjabat kembali tanganku, begitu pula sebaliknya. Saat itu adalah saat ketika aku berdiri di pelaminan bersama suamiku sedangkan kamu bersama dengan istrimu.

Senin, 16 Maret 2015

Kini Ku Akui, Akulah Pencurinya


“Ternyata berpura-pura tidak mencintai jauh lebih
sulit daripada berpura-pura mencintai”

Mentari pagi mengintipku dari celah jendela, seolah membangunkanku dari buaian tidur semalam. Aku berbegas bangkit dari tempat tidur lalu mencakupkan tangan untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepadaMu, Sang Pencipta. Sambil melantunkan beberapa pujian, berharap agar Engkau tahu betapa aku mengagumi kuasaMu dan betapa aku mensyukuri hikmatMu. Tak lupa pula kupanjatkan doa untuk mahadewa dan mahadewi duniaku yang telah membesarkanku dengan penuh kasih, kepada para leluhur, guru pengajian dan guru wisesa juga tak luput kuselipkan sebait doa teruntuk Sang Dewa yang berada di bhur loka.
Secangkir kopi turut menghangatkan pagiku. Tak butuh waktu lama buatku untuk menyeruputnya. Aku sudah sangat akrab dengan minuman berwarna gelap itu, bahkan ia seolah bisa memaksimalkan fungsi otakku. Mulailah aku menggerakkan jemariku di atas lembaran putih untuk sekedar menuangkan isi hatiku tatkala tak ada tempat lain yang aman untuk menampungnya. Ya Tuhan, lagi-lagi dia yang ada di benakku. Kenapa semuanya berujung padanya? Dia tak memberiku apa-apa, tetapi mengapa dia tak pernah luput dari ingatanku? Tuhan, aku mulai subjektif. Aku menyadari itu, tapi sulit bagiku bersikap objektif jika dihadapkan dengan hal yang satu ini. Mana mungkin sepucuk SMS lawas yang sangat biasa tapi bisa membuat hariku luar biasa? Ketika membacanya, aku seakan punya kekuatan baru, ada semacam kandungan semangat dari bahasanya yang singkat dan sangat biasa itu. Magis apakah gerangan yang diformulasikan sehingga bisa menghipnotisku sampai sedalam itu? Aku sangat jarang berkomunikasi dengannya. Jangankan secara langsung, lewat media pun, bisa dihitung dengan jari. Tapi mengapa dia yang merajai pikiranku? Aku tak sanggup lagi memendamnya sendiri.
Aku jenuh dengan keberpura-puraanku selama ini seolah tak mencintainya. Masihkah aku bisa berkilah dan mengatakan itu bukan cinta setelah SMS yang sangat singkat dan biasa darinya mampu membuatku senang bukan kepalang? Masihkah itu bisa disebut bukan cinta jika aku ingin selalu tahu aktivitasnya, walau ku tahu tak ada sedikitpun hubungannya denganku? Katanya cinta itu cenderung dekat, tapi mengapa aku merasakan hal itu dengan seseorang yang jaraknya berpuluh bahkan beratus mil denganku? Mengapa aku begitu merindukannya, sedangkan dia mungkin tak pernah sekalipun menginputku dalam benaknya, apalagi merindukanku. Ah, sudahlah.
Tuhan, mungkin Engkau lelah dengan keegoisanku. Aku ingin dia tahu perasaanku tanpa aku memberikan isyarat apapun tentang itu. Aku ingin dia tahu isi hatiku tanpa mengatakan dan menunjukkan apapun kepadanya. Aku ingin dia merindukanku juga, tanpa memberi sinyal-sinyal rindu itu kepadanya. Hingga suatu ketika akupun sadar, dia hanya manusia biasa walaupun ada embel-embel “kedewataan” yang melekat dalam namanya. Dia juga bukan manusia setengah dewa yang memiliki kemampuan melebihi manusia pada umumnya. Dia hanyalah manusia biasa yang luar biasa di mataku. Olehnya, perlu buatku untuk memberitahukan kepadanya walau hanya 15 persen dari totalitas perasaan anehku itu terhadapnya berharap penat di kepalaku sedikit berkurang. Mungkin aku berdosa diam-diam telah mencuri hatinya. Mungkin itu pula sebabnya sehingga aku selalu merasa tak tenang sebelum aku mengakui kepadanya, bahwa akulah pencurinya.
Kuyakinkan tekad dan ku memantapkan pikiran. Aku menginstalasi semua piranti yang terkait dengan perasaanku. Butuh waktu lama buatku mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan pernyataan yang terlalu pribadi itu kepadanya. Hanya dengan cara ini dia bisa tahu dan dengan cara ini pula aku bisa melegakan hatiku yang terlampau sesak. Aku mengukir banyak fantasi terhadapnya. Diantara semua fantasi-fantasi itu, kepastianlah yang paling kuharapkan. Aku tak ingin jawaban yang muluk-muluk atau yang berbunga-bunga yang bisa menimbulkan misinterpretasi. Aku hanya butuh jawaban “ya” atau “tidak”.
bersambung...

Sabtu, 21 Februari 2015

Pria Itu Bernama...


Entah mengapa, aku tak henti-hentinya memuji pria yang satu ini. Pria yang begitu dekat denganku. Pria yang selalu mendatangkan kebahagiaan. Pria yang selalu mampu membuatku tertawa walaupun dalam keadaan tersulit sekalipun. Mungkin ini karmaku lahir ke dunia untuk bertemu dan menjadi bagian hidup dari pria bersahaja itu.
Dialah
x_3badcda6