http://winest-wirmayani.blogspot.com/2013/04/budaya-galau-mahasiswa-vs-tipologi-dosen.html

Selasa, 30 Desember 2014

Aku Pun Berotasi, Kamu?

“Masih terekam sedikit di memori saya tentang pelajaran Tata Surya (Solar Panel) ketika SD dulu. Kala itu yang tersirat di pikiran saya tentang Tata Surya adalah sebatas lingkup galaksi bima sakti saja, bagaimana planet-planet berotasi pada orbitnya masing-masing dan bagaimana pula para planet tersebut melakukan revolusi mengitari matahari. Ya, hanya sebatas itu, tidak ada hal lain.”
Belakangan ini saya menghubung-hubungkan teori Galileo Galilei dengan beberapa skrip drama kehidupan dan ternyata memiliki beberapa persamaan. Fenomena rotasi misalnya. Disadari atau tidak, kita yang merupakan makhluk mulia ciptaan Tuhan ini juga pelaku rotasi itu. Kita mengalami rotasi. Kalau akibat yang ditimbulkan oleh rotasi para planet adalah siang dan malam, kalau dikehidupan biologis ini ya kita semakin bertambah usia alias semakin tua. Nah kalau berbicara tentang rotasi kehidupan, usia saya yang tujuh bulan kedepan nanti akan menginjak angka 23 tahun ini sudah memasuki fase sore, yang tinggal melewati beberapa step lagi akan masuk ke fase final yaitu malam. Oh no!!! (sambil menampar pelan pipi kanan kiri secara berulang).
Memasuki fase sore itu menurut saya merupakan transisi dari masa Brahmacari ke Grhasta (sengaja saya pakai diksi ini agar rekan saya yang tingkat ke-kepo-annya melebihi ambang batas itu menjadi sedikit bingung dengan kata ini) yang memerlukan persiapan-persiapan ekstra untuk menyukseskan masa itu nantinya. Fase ini tidak ada yang namanya try out. Jika kamu tidak maksimal, ya kemungkinan kamu akan gagal di ujian itu. Makanya sangat diperlukan bekal-bekal dan segenap persiapan untuk menjalaninya.
Masih menjelang ke fase sore, jika kita dulunya di kartu keluarga berstatus sebagai anak, maka seiring berjalannya waktu, seperti halnya planet mengalami rotasi, maka tidak menutup kemungkinan akan mengalami perubahan pula. Jika kamu wanita, maka statusmu di kartu keluarga nantinya akan berubah menjadi “istri” dan bagi yang  pria akan menjadi “kepala keluarga”. Sedangkan status “anak” yang kini kita sandang, nantinya akan digantikan oleh makhluk-makhluk mungil ciptaan Tuhan yang akan menyempurnakan kehidupanmu. Ya, itulah gambaran sederhana rotasi kehidupan yang akan aku, kamu, dia dan mereka alami. Semuanya butuh proses, semuanya memerlukan perencanaan dan persiapan matang untuk pencapaian hasil yang maksimal.
Oh iya, saya menemukan sebuah lagu yang sangat indah dari Shania Twain yang berjudul “From This Moment On”. Lagu yang saya pandang tepat untuk mengiringi fase sore. Liriknya yang santun, nadanya yang lembut, serta maknanya yang agung menimbulkan keteduhan tatkala saya mendengarkannya. Walaupun suara saya jauh dari predikat merdu, tapi suatu saat nanti sebelum memasuki masa Grhasta, saya ingin menyanyikan lagu ini spesial untuk satu (and the only one) pria mulia pilihan Tuhan yang kini belum ditemukan itu (I don’t know who will be the answer of my prayer). Kelak kepada dialah saya akan diserahkan sepenuhnya oleh Ayah saya untuk menjalani kehidupan bersamanya hingga fase malam saya berakhir (till the day end).

Jumat, 05 Desember 2014

Balado Duo Jomblo



Dia dipanggil Jolie, seorang gadis suci dari Pulau Celebes. Nama lengkapnya dan yang masih valid hingga saat ini yaitu Joesandra Lipania Angita. Namanya telah diamandemen sebanyak  17 kali terhitung sejak kelahirannya. Jika dirata-ratakan, itu berarti  setiap 1,2 tahun ia mengganti namanya. Nama terupdatenya ini pun punya arti dan sejarah tersendiri. JOESANDRA, karena sepupu empat kali tetangganya sewaktu masih SD merupakan fans fanatik dari Joe Sandi (sang master). Si sepupu empat kali tetangga itu sangat imajinatif. Menurut dia ekspresi Joe Sandi akan sangat beraura jika tengah disandra. Makanya dia merekomendasikan nama itu untuk sang gadis suci. LIPANIA, karena dia seorang kolektor lipan. Punya ternak lipan pribadi, baju gambar lipan, tas, sepatu, dalaman, semuanya bermotif lipan. Pokoke, lipan everywhere lah. Kalau ANGITA itu pemberian nama dari kakek buyut mantan menteri Pekerjaan Umum pertama Indonesia  yang sebetulnya berasal dari kata “engineer” menandakan kalau dia sangat excite dengan ke-insinyur-an. Hanya satu saja alasan mengapa nama itu kerap mengalami pergantian berkala. Alasan itu adalah jomblo. Dengan mengganti nama, diharapkan bisa secepat mungkin menemui pasangan hidup. Bukan primitif sih, tapi ia sangat memegang teguh nilai adat istiadat. Makanya, mengganti nama dipandang sebagai alternatif dan bahkan solusi yang paling solutif untuk memutus mata rantai kejombloan juga mencabut kejombloan hingga ke akar-akarnya (ini jomblo atau panu).
Sekilas dia tak jauh berbeda dari gadis-gadis pada umumnya, ya setidaknya dia cukup mengetahui  fungsi dari seperangkat perlengkapan tata rias wanita, walau tak yakin bisa mengaplikasikan secara proporsional.  Bisa jadi lipstik dioles di kelopak mata, blush on dipakai sebagai cat kuku dan lainnya. Tapi jangan salah, ada banyak hal yang terkadang sulit diterima akal sehat jika mendeskripsikan siapa gerangan. Pemilik akun facebobok Jolie Angita Melow Helow Capricon Girl (zodiaknya pasti taurus) ini memang gadis suci.

Rabu, 03 Desember 2014

Shake It Off (Kamu Terlalu Berbeda)



Kamu terlalu berbeda. Itulah tiga kata yang terlalu lekat di pikiranku untuk mendeskripsikan dirimu. Perbedaan yang tak tertolerir dan sudah menjadi harga mati. Seperangkat perbedaan yang terlampau jauh bahkan terlalu sulit untuk diduduk-sejajarkan nantinya. Tapi, dalam setumpuk perbedaan itu, ada sebongkah kekuatan yang begitu sulit dideskripsikan dengan bahasa yang rumit sekalipun. Apapun jenis kekuatan itu, entahlah, aku pun tak tahu pasti apa sebutan yang tepat untuk menamainya. Yang jelas, kekuatan itu cukup memampukan saya untuk move on.
Awalnya hanya sebuah lelucon, hanya sebuah produk drama terencana. Semuanya di set sebagai seperangkat hiburan semata. Akan tetapi, sang kala berkata lain. Produk drama itu perlahan berubah menjadi realitas. Jika tadinya saya hanya menyaksikan reality show di televisi, kini rasanya justru saya yang berperan di dalamnya.  Sosial media memang memiliki segudang manfaat. Saya menyebutnya bermanfaat karena hal ini berdampak positif kepada saya yang telah hampir tuntas melenyap-matikan segenap perasaan-perasaan aneh yang terkadang kedatangannya tanpa melalui permisi kepada pemilik jiwa dan raga yang hendak didiami (hantu kali ya). Melalui socmed ini, tepatnya Facebook, kini saya kedatangan tamu lagi. Tamu ini sudah cukup lama saya ketahui sebelumnya, sehingga kedatangannya tidak terlalu mengagetkan. Dia juga melakukan permisi sebelum memasuki pekarangan hati saya. Beginilah, kalau berbicara hati, berarti berbicara pula pada suatu ketidak pastian. Tidak ada result yang exact kalau difilternya dengan hati, susah digeneralize. Terkadang logika menjadi kalah kuat kalau sudah dihadapkan dengan yang namanya hati, apalagi cinta, oh my God. Tersebutlah pria asing yang tinggal berbatasan dengan negara India yang kini telah empat tahun menjadi teman saya di dunia maya itulah yang keberadaannya seperti pisau bersisi ganda. Pada satu sisi, dia potensial sebagai alat penguat, tapi disisi lain, dalam kekuatan itu pula ada beberapa hal yang sangat mungkin untuk melunturkan kesaktian kekuatan itu.
Tampak terlihat kesaktian yang dihasilkan olehnya. Dalam beberapa bulan saja dia bisa membuat saya move on bahkan move away dari seorang makhluk mulia yang juga ciptaan Tuhan yang berasal dari wilayah Indonesia bagian barat itu. Beberapa manfaat yang saya dapatkan dan hingga kini saya rasakan adalah kosa kata Bahasa Inggris saya bertambah karena kita kerap bercakap-cakap menggunakan bahasa persatuan itu. Kita juga berbagi tentang potensi negara kita masing-masing, bercerita tentang budaya. Kami juga kerap berbagi tentang agama, memandang suatu hal dari kacamata agama masing-masing, hingga hal-hal mendetail lainnya yang lebih bersifat pribadi. Sekilas terlihat betapa pluralnya hubungan kami, betapa perbedaan itu menjadi penguat dalam suatu hubungan. Tapi

Selasa, 17 Juni 2014

“Pelancar Skripsi” Tanpa Pemanis Buatan



Terik mentari siang itu seolah sanggup membakar kulit cokelatku yang hanya mengenakan kemeja setengah lengan dan sepatu teplek tanpa kaos kaki. Entah mengapa, sepertinya aspal yang kulalui terbuat dari bara yang tengah berkobar, yang hawanya mampu membuatku bercucuran keringat. Keluh kesah tak pelak kulontarkan. Ya, keluh kesah kepada diriku sendiri, yang tak mengenakan jaket juga kaos kaki. Aku pun sesekali melirik teman di depanku yang kebetulan dialah yang mengendarai kendaraan roda dua ini, sedangkan posisiku, selalu dibelakang, tak pernah kedua tanganku bersentuhan langsung dengan stang. Aku melihat, betapa capainya dia mengendarai motor, sedangkan aku dibelakang sibuk dengan seribu omelan yang tak ada ujung pangkalnya.

Sekitar limabelas menit perjalananku, hingga sampailah di sebuah tempat yang begitu banyak menyimpan kenangan. Ya, kenangan kejahilan dan kebersamaan dengan teman-teman seangkatan saat masa-masa aktif perkuliahan dulu. Tak terasa itu sudah empat tahun silam. Ya Tuhan, sudah empat tahun aku di kampus ini tapi sampai sekarang aku belum bisa mengendarai sepeda motor. Empat tahun aku di kampus ini tapi belum bisa move on. Empat tahun aku di kampus ini tapi belum.. ah sudahlah, panjang ceritanya kalau diteruskan.
Ku langkahkan kaki perlahan, sambil sesekali menengok kiri kanan berharap ada sesuatu yang bisa menyejukkan hati, mereduksi panasnya terik mentari kala itu. Ah, hanya penjual es blender instan, walaupun dingin tapi aku tak terpikat, terlalu banyak mengandung pemanis buatan dan tak begitu baik untuk kesehatan. Tiba-tiba pandangan saya tertuju pada suatu hal. Oh My God, inilah penyejuk yang tanpa pemanis buatan, dia manis alami serta baik untuk kesehatan. Hey, mengapa kamu tiba-tiba mengusik hatiku, menembus pori-pori kulitku dengan keteduhan pesonamu? Mungkin hanya aku yang merasakannya. Ya Tuhan, betapa mulianya Engkau, memberikan sepercik keteduhan bagi jiwaku ditengah teriknya mentari siang itu. Senyumnya mampu mendinginkan panasnya Kota Palu di hatiku. Siapakah gerangan? Sepertinya dia tak asing lagi di mataku, setidaknya aku mengetahui namanya walau hanya satu kata dari sekian rangkaian kata penyusun namanya.

“Hey, kamu Bhisma (nama samaran), kan?” Aku menyapanya. Yang disapa pun berhenti tepat di depanku. Ia mengangguk sambil melontarkan sedikit guyonan dan mempebaiki kesalahan pengucapanku pada namanya. Kami tertawa sejenak dan bertegur sapa secukupnya. Beberapa hari sebelumnya aku sering melihatnya dan suatu hari lalu, aku memang pernah menemuinya untuk tujuan akademik. Selidik punya selidik, ternyata aku pernah se-tim bersamanya beberapa tahun yang lalu.
Aduh, mengapa penyejuk mata ini baru muncul, coba kalau dari semester-semester kemarin, pastinya aku bakal semangat empat lima kalau ngampus. Tapi, Tuhan biasanya selalu punya cara yang luar biasa buat aku. Lalu, apa rencana Tuhan di balik mengagumkannya sosok pria yang misterius yang manis, tanpa pemanis buatan itu terhadapku? Entahlah, mungkin Tuhan menyiapkannya untukku, agar semangatku bangkit kembali untuk menggarap Skripsiku. Ya Tuhan, betapa Aku sangat megangumimu, juga makhluk ciptaanMu yang Kau kirimkan sebagai pereduksi jiwa yang letih di tengah kendornya semangatku menyelesaikan Skripsi.

Senin, 05 Mei 2014

Tak Sehitam Sampulnya, Tak Secerah Isinya

Semester delapan ini entah kenapa tiba-tiba menjelma menjadi semester terseram dalam dunia akademikku. Padahal yang diprogram hanya satu subjek saja, enam SKS pula. Tapi kenapa seramnya melampaui malam Jumat Kliwon dan malam Satu Suro ya? Kalau kamu mahasiswa yang pernah atau sedang menginjakkan kali di semester delapan, pasti dengan tepat kamu bisa menjawabnya, dengan jawaban yang sangat sederhana tapi maknanya mematikan. Ya, dialah si SKRIPSI, yang kadang bisa menjadi SKRIPSWEET atau SKRIPSH*T. Inilah yang membuat sebagian mahasiswa dilanda galau berkepanjangan, hingga menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti: gatal-gatal dan jamuran karena jarang mandi akibat ngerjain skripsi; obesitas, karena keseringan ngemil sambil ngerjain pustaka pusaka ala mahasiswa; hypermetropi karena keseringan baca buku, belum lagi wajah kusam, kulit pecah-pecah, keriput sebelum waktunya, susah senyum dan berbagai macam gangguan lainnya. Untuk menghindari atau untuk meminimalisir kemungkinan tersebut, ada baiknya kita yang sedang atau yang akan menghadapi masa kritis itu, sebaiknya menyiapkan penangkalnya dengan cara kita masing-masing. Aku memilih scrapbook.

Scrapbook atau buku tempel pada umumnya diisi dengan kisah, momentum atau berbagai peristiwa yang dianggap penting dan berkesan oleh pembuatnya. Desainnya yang unik dan penuh warna, membuat mata semakin manja dan betah memandangnya. Scrapbook menjadi alternatifku dalam pengobatan galau, karena melalui media ini aku dengan leluasa bisa meluap-luapkan isi hatiku dan mem-frame-nya dengan berbagai ornamen yang bisa menyejukkan hati. Aku membuat scrapbook dengan sampul berwarna hitam dan isinya yang cerah dan penuh warna. Pemilihan warna-warna tersebut bukan tanpa alasan, melainkan sarat makna. Ya, seperti sampulnya yang berwarna hitam menggambarkan kisah yang kelabu, konon isi dalam scrapbook ini menggambarkan perasaan hatiku dalam
x_3badcda6