Gerhana Matahari
Total (Total Solar Eclipse) menjadi
perbincangan hangat di Indonesia belakangan ini. Pasalnya, fenomena alam yang
langka ini akan melewati sejumlah wilayah di Nusantara. Demam gerhana terjadi
dimana-mana, termasuk di tanah kelahiran saya, Palu. Ibu Kota Provinsi Sulawesi
Tengah ini menjadi salah satu lokasi strategis untuk menyaksikan gerhana dengan
durasi 2 menit dan 4 detik. Saya menjadi salah satu dari ribuan orang yang
beruntung berkesempatan menyaksikan proses gerhana dengan sempurna, walau hanya
menggunakan alat bantu yang sangat sederhana dan terbilang sangat konvensional.
Yups, hanya bermodalkan lembaran film bekas
foto Rontgen.
Beberapa hari
sebelumnya, rencana menyaksikan gerhana sudah masuk dalam agenda saya. Kamera,
masker dan camilan sudah saya siapkan dari jauh hari. Tapi kemudian semuanya
berubah ketika saya sadar jika fenomena ini akan jatuh bersamaan dengan Hari
Raya Nyepi. Pupuslah harapan untuk melakukan outbond melihat proses gerhana
terjadi.
Menyaksikan GMT dari atas makam di Tempat Pemakaman Umum Talise |
Ternyata Tuhan
punya kehendak lain. Beliau mengizinkan “tamu bulanan” saya datang tepat sehari
sebelum Nyepi. Itu berarti saya dalam keadaan cuntaka dan tidak diperkenankan melakukan komunikasi transendental.
Thanks God. I know, You love me so much!
Saya tak bisa menyembunyikan kegembiraan. Really
really surprise. I can’t wait for it. Malam harinya (8/9) sekitar pukul
21.20, saya ditelpon oleh Bapak. Ia mengucapkan selamat beribadah Nyepi besok,
semoga berhasil melakukan catur brata
katanya. Ia juga berpesan, jika
hendak menyaksikan gerhana, sebaiknya menggunakan alat bantu khusus.
Sambil menepuk
jidat, saya baru sadar ternyata saya harus punya alat bantu tambahan untuk
membantu dan melindungi indera penglihatan saya dalam menyaksikan gerhana. Saya
juga teringat akan pelajaran IPA (Fisika) sewaktu SD tentang alat optik, yang
mana prinsip kerja mata sama dengan kamera. Itu berarti, mata dan kamera saya butuh
filter tambahan. Masa iya saya harus melewatkan fenomena alam langka ini? Ya
ampun, dimana gerangan saya bisa mendapatkan semuanya jam begini? Lagi pula
kondisi keamanan di kota kelahiran saya kurang bersahabat . Ah sudahlah.
Keesokan harinya
sekitar pukul 05.30 saya dan tiga rekan lainnya berkumpul membicarakan lokasi
yang akan kami tuju. Ada yang mengusulkan Dolo, Matantimali dan Kawasan Teluk
Palu. Saya sendiri mengusulkan Taman Edukasi Nosarara Nosabatutu. Entah mengapa
saya merasa nyaman jika berada disana. Ternyata dari sekian opsi yang kami
usulkan, ada-ada saja sanggahan dari satu sama lain, sehingga tidak terjadi
kemufakatan. Setelah hampir satu jam berdebat soal tempat dan tak membuahkan
kesimpulan, entah mendapat ide dari mana, tiba-tiba salah seorang dari kami
mengusulkan tempat yang terbilang tak lazim. “Kita ke kuburan Talise saja.
Nanti naik ke atap kuburnya adikku. View-nya
juga bagus disana” usul Ray dengan percaya diri. Pardon me.
Are you bold enough? Lalu bagaimana jika
waktu gelap nanti kita berempat yang tidak punya cukup nyali untuk hal-hal
mistis ini dihadapkan dengan salah satu makhluk penghuni tempat itu?
Mereka
meyakinkan saya dengan sejumlah formula bujuk rayu. Diantara kami berempat, saya
bukanlah satu-satunya orang yang takut dengan hal-hal mistis. Tapi entah
mengapa mereka itu tiba-tiba menjadi sok berani. Mungkin ada pengaruhnya dengan
eclipse effect. Entahlah. Sekian lama
kita duduk di atas atap kuburan, melihat Kota Palu dari ketinggian dan menunggu
detik-detik gerhana. Sambil menikmati camilan pengganti sarapan, tiba-tiba ada
sesuatu yang terlintas di benak saya. Teringat saat saya terlibat obrolan
singkat beberapa tahun silam dengan salah seorang teman di dunia maya yang juga
pengagum Albert Einstein. Ia sempat membahas tentang gerhana.
“Ray, bukannya
ayahmu punya film bekas foto Rontgen itu ya? Sepertinya bisa kita
gunakan” ucapku dengan pasti. Setelah saya berikan sedikit penjelasan, Ray yang
juga satu-satunya laki-laki diantara kami berempat akhirnya pulang mengambil
film itu. Berperang dengan rasa takut walau hari sudah sangat terang, kami
bertiga memberanikan diri dan saling menguatkan tinggal di atap kuburan untuk
beberapa saat sambil menunggu Ray kembali.
***
“Iyo e, jelas sekali
kelihatan” celetuk Jane dengan wajah
gembira. Mereka bertiga bergantian melihat tampilan matahari sebelum gerhana
terjadi menggunakan film bekas
foto Rontgen yang
dijadikan sebagai filter cahaya. Neni menggunakan sunglasses-nya ditambah dengan film foto Rontgen nampak tak kalah gembira. Ray sibuk mengabadikan proses
gerhana menggunakan kamera di smartphone-nya
dengan bantuan filter sederhana, film Rontgen.
Saya pun senyam-senyum sendiri, gembira melihat mereka yang sangat antusias.
Yah, walaupun cara kami terbilang konvensional, tapi setidaknya fungsional
untuk menyaksikan gerhana matahari total secara langsung dan tentunya tidak
mengganggu kesehatan mata. Jika scientists
menyaksikan gerhana dengan alat optik canggih, apalah daya kami yang hanya bisa
menggunakan lembaran film bekas foto Rontgen.
Gambar terbaik dari yang terburuk yang berhasil kami abadikan . |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar