Ketika melihat seseorang yang berambut gondrong,
pakai kaos oblong, celana bolong-bolong, pasti dibenak saya otaknya juga
“dong-dong”. Maaf ini subjektivitas penulis. Anggapan itu telah merasup
keseluruh sel-sel darah saya yang menggunakan parameter diatas untuk
mengeneralisir citra negatif orang-orang
dengan ciri tersebut. Style yang demikian menurut saya adalah aktualisasi
“kekampungannya” yang melekat dalam diri orang itu. Selain itu, saya juga
mengidentikannya sebagai aktor anarkism, melihat dandanan khasnya tak ubahnya
preman. Segala bentuk kesan negatif tercurah pada mereka yang memiliki ciri
diatas.
skip to main |
skip to sidebar
LinkedIn
Kamis, 29 Maret 2012
Selasa, 27 Maret 2012
Jangan Jadi Mahasiswa Parokial
Demonstrasi
seolah menjadi trend masa kini.
Mungkin salah satu penyebabnya akibat inkonsistensi konsep demokrasi.
Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, kini hanya tinggal sebuah
dongeng. Banyak terjadi penyimpangan. Diranah pemerintahan, seakan tak pernah
lepas dari berbagai skandal yang kemudian menjadi pergunjingan hangat dilingkup
media. Korupsi misalnya. Pemberitaannya tak pernah luput dijagat media. Tak
jarang pula menjadi headline bahkan top of the top. Institusi pemerintahan
menjadi lahan subur bagi tikus-tikus berdasi memijakkan kakinya. Hingga tak
heran, sebagian besar kasus korupsi dilakukan oleh pejabat pemerintah dari
level tinggi hingga Pegawai Negeri Sipil (PNS) sekalipun. Akibatnya, rakyat
kecil semakin tertindas, sedangkan si koruptor sibuk dengan rekening
“gendutnya”.
Skandal
inilah yang kemudian memicu pergerakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
menuntaskan kasus itu. Demonstrasi menjadi pilihan. Dimana-mana terjadi unjuk
rasa. Mahasiswa pun terlibat didalamnya. Aksi protes terhadap kebijakan
pemerintah gencar dilakukan. Tak jarang pula diwarnai aksi anarkis.
Sekarang
ini, penolakan rencana kenaikan harga BBM menjadi isu hangat. Demonstrasi tak
dapat dibendung. Hampir seluruh wilayah di Indonesia turut dalam aksi. Etika
demo sudah mulai diabaikan. Banyak kasus baru yang timbul akibat ketidakpahaman
etika dalam demonstrasi. Perusakan terhadap sarana umum, bentrok dengan aparat
pemerintah, seakan menjadi hal biasa. Padahal, demo semestinya dilakukan dengan
santun, agar aspirasi yang hendak disuarakan didengar oleh pemerintah. Bukannya
malah merusak sarana umum, melempar gedung atau memblokade jalan diiringi
dengan aksi membakar ban. Ini mencerminkan bahwa kecerdasan emosional mahasiswa
masih rendah.
Sebagai
kaum intelektual, sebaiknya tahu dan sadar apa maksud dan tujuan dari kegiatan
yang diikutinya sebelum melakukan demo. Banyak demonstran, khususnya mahasiswa
tidak memahami apa yang ia tengah lakukan. Mereka cuma ikut-ikutan. Tak sedikit
pula yang menjadi korban mobilisasi para aktivis ataupun kelompok kepentingan
untuk turut dalam aksi. Ketidakpahaman inilah yang kemudian menimbulkan tindak
kekerasan. Memang, demo merupakan wujud demokrasi. Tetapi apabila
disalahtempatkan, konsep demokrasi bisa berubah menjadi demo-crazy.
Cukuplah
petinggi negeri ini yang “cacat”. Tugas kita sebagai mahasiswa, bagaimana
membangun kondisi yang kondusif dan mereduksi kekeliruan petinggi negeri dengan
cara yang cerdas. Tindak kekerasan bukanlah solusi tepat. Jangan menjadi mahasiswa kampungan yang hanya
bisa berkoar-koar tanpa maksud yang jelas. Tinggalkan parokialisme. Bangunlah
budaya partisipan.
Coba
analogikan. Negara ini kita ibaratkan sebagai sebuah keluarga besar. Para
koruptor anggaplah sebagai orang tua, sedangkan kita (mahasiswa) sebagai anak
yang banyak jumlahnya. Jika orang tua kita tengah stres dan perilakunya
menyimpang dari Undang-Undang, kita jangan ikut merengek-rengek atau mengacau
terhadap mereka. Bukan solusi yang kita dapat, melainkan bentakan beruntun dari
mereka. Walau mereka salah, jangan lawan dengan kekerasan. Berusahan bersikap
bijak dalam menghadapi persoalan. Teguran boleh kita layangkan, tetapi jangan
dibarengi dengan aksi kekerasan. Ada pepatah mengatakan, api akan semakin
berkobar jika dilawan dengan api, sebaliknya api hanya dapat dipadamkan oleh
air. Seperti itu pula negara ini. Sebagai mahasiswa, jadilah warga negara yang
santun. Partisipasi sangat perlu. Tapi partisipasi yang diperlukan adalah
partisipasi yang berdasarkan kesadaran, bukan karena dorongan pihak tertentu
dan bukan pula karena ikut-ikutan.
Unjuk
rasa atau demonstrasi sah-sah saja dilakukan, asal berdasarkan kode etik.
Perlihatkan bahwa mahasiswa adalah generasi cerdas dan santun dalam menyuarakan
pendapat, sehingga ada perbedaan antara mahasiswa dan masyarakat awam pada
umumnya. Dapat dibedakan mana yang intelek dan mana yang parokial. Jadilah
panutan dalam masyarakat. Sebisa
mungkin, hindari segala bentuk kekerasan dan ketidak-etisan. Jangan jadi
mahasiswa “cerewet” yang kerjanya hanya memprotes kebijakan pemerintah.
Tunjukkan keintelektualan kita. Ada baiknya kita menerapkan slogan salah satu
iklan “talk less do more”. Jangan
cuma banyak bicara. Buatlah keputusan sebijak mungkin sebagai solusinya. Ingat!
Kita mahasiswa, bukan tukang bakar ban atau bukan penjual obat yang hanya berkoar-koar
disepanjang jalan.
Kamis, 15 Maret 2012
Surat Cinta
Dear Vic,
Hai Vic,
senang sekali bisa berjumpa denganmu walau hanya lewat tulisan. Bagaimana
dengan study tour kemarin? Pasti seru. Aku ingin juga seperti kamu bisa tour ke
lima negara, gratis pula. Tapi apa daya, saya tidak menguasai bahasa asing. Oh
iya, kayaknya saya tidak perlu menanyakan keadaanmu lagi, karena berdasarkan status-statusmu di Facebook,
nampaknya kamu dalam suasana gembiraJ.
Meskipun di dunia maya kita sering bertatap muka, tapi sepertinya lebih seru
kalau berkomunikasi lewat surat. Selain unik, banyak juga manfaat lainnya.
Jangan mentang-mentang terbiasa menggunakan teknologi modern, lantas budaya
tulis manual mulai kita lupakan. Tidak ada salahnya kita mempopulerkan media
ini. Walau terkesan jadul, tapi memikili nilai estetika yang tinggi, apalagi
ditulis tangan. Ngomong-ngomong tentang surat , ada hal menarik yang ingin
kusampaikan dan dapat dipastikan kamu akan terkejut dan tertawa lepas.
Kamu masih
ingat Angie, teman sekelas kita dulu yang suka sekali nguncir rambutnya? Kalau
Rio Elvaldro masih ingat dong? Kalian kan pernah berkelahi dan sempat disidang ke BK gara-gara kamu
menuduh dia mengambil lukisan wajahmu. Nah mereka berdua sekarang sedang
menjalin hubungan, kira-kira dari dua bulan lalu. Bayangkan saja bagaimana
anehnya pasangan ini. Aku jadi ingat hobi mereka sewaktu sekolah. Rio, kalau
sudah diam-diam, pasti kerjanya ngorek upil dan Angie selalu nguncir rambutnya
yang keriting itu. Tentu kamu penasaran, hal menarik apa yang ingin aku
sampaikan?
Seminggu yang
lalu, Angie menata ulang rumahnya. Kamar, rak buku dan dapur ia tata kembali
bersama Rio. Suatu ketika, Angie dipanggil oleh ibunya untuk mengantarkan ke
pasar. Angie meng-iyakan dan segera ke pasar menemani sang bunda. Tinggallah
Rio sendiri di rumah Angie yang sibuk merapikan semuanya. Cukup lama Angie di
pasar, kemudian ia segera pulang bersama ibunya. Setibanya di rumah, kamarnya
sudah tertata rapi, begitu pula dengan rak buku dan dapurnya. Angie dan ibunya
menyunggingkan senyum indah pada Rio tanda terima kasih. Tapi apa balasan Rio?
Tak sedikitpun ia membalas senyuman mereka, malah segera berbalik badan menuju
rak buku-buku Angie. Angie mengikutinya, ia merasa ada sesuatu yang aneh.
Karena tak biasanya Rio bersikap seperti ini. Setiba didepan rak buku, keanehan
itu semakin menjadi ketika Angie melihat sebuah peti kecil berwarna merah jambu
tergeletak disana. Raut wajah Angie sontak berubah seiring dengan ekspresi yang
ditampakan Rio.
Rio menatap
tajam peti kecil yang tergeletak di lantai, kemudian Angie meraihnya. Dengan
penuh rasa bersalah, akhirnya Angie hendak membawa peti kecil itu ke kamarnya,
tapi usahanya dicegat Rio. Ia menyuruh Angie membuka dan menjelaskan detail
tentang peti kecil itu. Kamu pasti penasaran, apa isi peti itu? Aku juga
penasaran ketika pertama kali diceritakan Angie.
Angie
perlahan membuka peti itu. Dengan tangan dan bibir gemetar, ia meraih
lembaran-lembaran yang ada didalam peti. Kamu bisa menebak, apa isinya? Peti
itu berisi segala sesuatu tentang kamu, Vic. Mulai dari foto kamu yang
mengenakan seragam drum band, gelang
kesayangan kamu yang warna hitam, sampai kertas hasil ulangan kamu ia simpan
rapi. Disana juga ada buku diary yang semuanya melukiskan perasaan cinta Angie
ke kamu. Tapi ada satu hal yang membuat saya tertawa terbahak-bahak. Kamu tahu,
apa itu? Lukisan sketsa wajah kamu yang sempat kalian perdebatkan sampai ke
ruangan BK, ternyata disimpan rapi oleh Angie.
Hahaha....
tak kuasa aku menahan tawa. Ada-ada saja perilaku-perilaku aneh seperti itu.
Saya jadi tertawa sendiri jika mengingat kembali bagaimana sengitnya kamu dan
Rio berkelahi mempersoalkan keberadaan sketsa wajahmu itu. Olehnya, jika kamu
ada kesempatan, tidak ada salahnya
jalan-jalan ke rumahnya. Bagaimanapun juga, ia pernah menjadi seseorang
yang sangat mengidolakan kamu. Tapi jangan sampai kisruh lagi antara kamu dan
Rio. Hahaha....
Sampai disini
dulu perjumpaan kita kali ini. Oh iya, Vic... jangan lupa kamu tanyakan harga
buku Human Communicationnya DeVito
ya...... yang terpenting, jangan lupa oleh-oleh buat aku ya...
Love,
Wirmayani
Langganan:
Postingan (Atom)
Calendar
Jumlah Pengunjung
About Me
Followers
Labels
- anak emas (1)
- Ayam (1)
- BBM (1)
- Belajar (1)
- Berita (2)
- Budi Mukti (1)
- CCTV Online (1)
- Danau Talaga (1)
- Demokrasi (1)
- Demonstrasi Mahasiswa (1)
- Dikti (1)
- Generasi Emas (2)
- Grand Design (1)
- Hardiknas (1)
- Iklim Politik (1)
- Ilmu Komunikasi (1)
- Indonesia (1)
- IP Camera (1)
- Jurnal Ilmiah (1)
- Jurnalistik (1)
- Karakteristik Berita (1)
- Kebanggaan (1)
- ketidakadilan (1)
- KKN (1)
- konsistensi (1)
- Lasakka (1)
- Liburan (1)
- Lomba Menulis (1)
- Mass Media (1)
- Mid Semester (1)
- Multimedia (1)
- Online Monitoring (1)
- Opini.co.id (1)
- Pencinta Alam (1)
- Pendidikan Anti Korupsi (1)
- Pendidikan Karakter (1)
- Pendidikan Tinggi (1)
- Perguruan Tinggi (1)
- prestasi (1)
- prioritas (1)
- Public Relations (1)
- SMKN 2 Palu (1)
- SNMPTN (1)
- Speedy Monitoring (1)
- Surat Cinta (1)
- Teknologi Komunikasi (1)
- Touna (1)
- Universitas Tadulako (1)