“Hey, apa kabarmu? Aku berharap semua kebaikan
meliputimu. Asal kamu tahu, namamu tetap kulantunkan dalam bait-bait doaku”
Aku merasa
pertemuanku denganmu bukan karena suatu kebetulan. Semuanya terjadi atas seizin
Tuhan. Sejak aku mengenalmu, aku merasa ada yang berubah dengan diriku. Tutur
katamu yang lembut serta raut wajahmu yang senantiasa ceria, membawa kesejukan
tersendiri bagiku. Aku merasa nyaman walau hanya sekedar berbalas pesan singkat
denganmu dan aku juga merasa aman tatkala mendengar suara lirihmu dari seberang
sana. Aku selalu ingin tahu banyak hal tentangmu, hingga terkadang aku
melemparkan sebuah tanya pada diriku, siapakah kamu?
Sekedar kamu
ketahui, itu adalah pertanyaan yang cukup sulit untuk kujawab. Aku memerlukan
waktu panjang untuk mendeskripsikannya. Terlalu rumit untuk dijabarkan. Jika
ditarik kesimpulan sederhana, kesimpulan atas pertanyaan itu adalah kamu orang
asing (bukan saudara, bukan teman, dll) yang begitu akrab di benakku. Kamu tak
memiliki hubungan apapun denganku, tapi namamu selalu melekat dalam ingatanku.
Tahukah kamu hingga saat ini aku tak pernah kehabisan cerita tentangmu?
Aku tahu, tidak
akan pernah ada kata “kita” diantara kamu dan aku. Aku tetaplah aku, begitu
pula denganmu. Tapi, aku punya banyak cerita tentangmu, sedangkan kamu? Aku tak
yakin kamu memilikinya. Bahkan, mau tahu pun (mungkin) tidak. Ah sudahlah, aku
tak ingin membahas ketidak-tahuanmu akanku. Saat ini, aku tengah berusaha
melenyapkan namamu yang terlampau melekat erat dalam ingatanku. Tahukah kamu,
aku selalu melantunkan sepucuk doa ketika pagi dan malam menjelang?
Dengan menyebut
nama Tuhan, selain kusebutkan keluarga dan sahabatku, aku tak pernah luput
menyebutkan namamu. Aku memohon kepadaNya, kiranya kamu selalu diliputi
kebaikan dan aku pula memohon kepadaNya agar aku diberikan anugerah kekuatan
yang ampuh untuk bisa melupakanmu. Kamu mungkin tak pernah tahu bagaimana
rasanya merindukan seseorang yang tak pernah menjadi milikmu. Maukah kamu tahu
bagaimana rasanya? Perih, sakit, sesak! Kamu tak pernah tahu bagaimana rasanya
dada yang sesak seolah membeku dan hanya mata yang aktif meneteskan bulir-bulir
bening. Itulah yang aku rasakan ketika aku sangat merindukanmu. Aku lalu mengirimkan
sepucuk pesan ketus ke akunmu, sekedar menanyakan kabarmu. Kamu tak pernah
tahu, berapa lama aku mengumpulkan keberanian untuk bisa mengirimkan teks
singkat itu kepadamu. Sudahlah, aku rasa kamu tak perlu tahu semuanya, lagi
pula itu sama sekali bukan salahmu dan bukan pula urusanmu.
Jika aku
berkesempatan meminta satu hal, maka aku akan memintamu untuk membantu
mendoakanku agar aku bisa segera melupakanmu. Aku yakin, ketika aku dan kamu
(bukan kita) sama-sama berdoa untuk sebuah hal yang sama, maka Tuhan akan lebih
mendengar doa itu. Kelak suatu saat nanti jika kamu dan aku diberikan umur
panjang, entah kamu atau aku yang mendahului, ada saatnya kamu akan menjabat
kembali tanganku, begitu pula sebaliknya. Saat itu adalah saat ketika aku berdiri
di pelaminan bersama suamiku sedangkan kamu bersama dengan istrimu.