Sore itu Palu diguyur
hujan. Tumben. Sejauh ini Palu cerah
terus. Hujan yang sebagian anak muda
mengidentikkannya dengan keromantisan, agaknya berbeda denganku. Dulu, aku
memang bersahabat dengan hujan, tapi semunya berubah ketika negara api
menyerang. Oops.. Pria bersajaha yang
sangat peduli denganku belakangan ini melarang agar aku tak terlalu dekat
dengan hujan. Ia berpotensi membuatku demam yang tentu saja menggelisahkan pria
kesayanganku itu. Siapakah dia? Ya, siapa lagi kalau bukan Si Bapak.
Oh iya, waktu itu aku
lagi apes-apesnya. Sudah terserang demam, tidak ada orang di rumah, persediaan snack habis, kotak obat tidak tahu
disimpan dimana, pulsa amblas dan modem rusak. “Hmm.. kelar hidup gue” gumamku
dalam hati. Mau tidak mau, dengan menggunakan mantel ekstra tebal, masker, kaos
kaki, celana panjang yang disusun dua lapis, aku meraih payung pelangi yang
berdiameter cukup lebar dan pergi ke kios depan rumah untuk membeli sejumlah
kebutuhan. Seandainya ada pulsa, aku mungkin bisa meminta pertolongan kepada
sahabat ataupun tetanggaku. Tapi apalah dayaku, mereka semua seolah kompak tak
berfungsi pada saat-saat kritis seperti saat itu.
Sesampainya di kios,
aku membeli minuman cokelat serbuk yang akan kuseduh dan mungkin bisa membuat
tubuhku berkeringat. Tak lupa juga aku membeli obat demam, pulsa, beserta snack seadanya. Beginilah kalau jauh
dari orang tua dan tak ada siapa-siapa di rumah. Ngenes. Mungkin ini semua yang dikhwatirkan oleh Ibuku sehingga ia
tak pernah merestuiku untuk pergi bekerja atau kuliah di luar kota.
Aku meraih kembali
payungku yang semula kuletakkan di beranda kios. Aku berjalan tertatih-tatih
melawan pergolakan dalam tubuhku. Kemudian perhatianku tertuju pada empat orang
anak berpakaian serba panjang. Tiga perempuan dan satu laki-laki. Mereka
kehujanan sepulang dari mengaji. Mungkin karena efek demam dan juga rintik
hujan yang deras, suaraku jadi tak terlalu keras sehingga mereka tak mendengar
panggilanku. Sambil mempercepat langkahku, aku mengulang memanggilnya hingga
akhirnya mereka mendengar suaraku. Aku menginstruksikan mereka berempat agar
berlindung di payungku. Mereka mengiyakan, walau kami belum saling mengenal.
Aku menuntunnya ke tempat tinggalku dan berteduh disana, sebab kondisiku tak
memungkinkan untuk mengantar mereka satu per satu ke rumahnya. Setidaknya,
mereka bisa berteduh dan tidak kehujanan di jalan. Aku tahu benar, bagaimana
paniknya orang tuaku jika anaknya sakit. Begitu juga aku jika dalam keadaaan sakit,
betapa tidak mengenakkannya, seperti demamku saat itu.
Beruntung tadi aku
membeli sejumlah minuman coklat serbuk, jadi cukup juga untuk mereka. Aku
menghampirinya di teras yang sebelumnya telah aku instruksikan untuk
beristirahat disana. Sambil menyerahkan empat cangkir Milo hangat dan sejumlah
makanan ringan untuk mereka, aku menanyakan apakah mereka punya nomor telepon
orang tua yang bisa aku hubungi. Dua dari mereka hafal nomor telepon orang
tuanya, sedangkan yang dua lainnya menyatakan tidak tahu, akan tetapi orang tua
mereka saling mengenal. Lalu aku hubungi kedua orang tua mereka jika anak
mereka ada bersamaku. Tak lupa aku beritahukan alamatku yang letaknya juga tak
begitu jauh dari kediaman mereka. Orang tuanya menanyakan identitasku. Aku bisa
menangkap kewaspadaannya. Belakangan ini memang sering tersiar kabar banyak
terjadi kekerasan terhadap anak. Wajar jika mereka berhati-hati kepada orang
yang belum dikenalnya. Setelah aku beritahu identitasku, mereka berterima kasih
kepadaku dan mengatakan akan segera menjemput anak mereka.
Aku berbincang-bincang
kepada mereka. Kami mengenalkan diri satu per satu. Mereka duduk di bangku
kelas empat dan lima Sekolah Dasar. Tak jarang juga terdengar canda tawa diantara
kami. Aku berusaha tampak sesehat dan seceria mungkin agar mereka merasa berkawan
dan merasa diperhatikan. Aku melihat diriku sewaktu kecil dari mata mereka. Ya
Tuhan, beginilah aku sewaktu kecil. Suka main hujan-hujanan, bermain hingga
lupa waktu, menarik ingus tanpa rasa jaim. Betapa ringan dan polosnya jadi
anak-anak. Aku tersenyum lebar kepada mereka. Aku juga ingat ketika terjebak
hujan sepulang dari les saat SD. Saat itu aku lapar, sedangkan rumah masih jauh
dan malu singgah berteduh di rumah orang yang tak dikenal. Lalu, apa bedanya
aku dengan mereka? Mungkin mereka merasakan hal yang sama. Sepulang mengaji,
pastilah mereka lapar.
Aku berpamitan ke dapur
dan meninggalkan mereka berempat di teras. Tak butuh waktu lama buatku untuk
membuat nasi goreng sederhana yang hanya berlaukkan telur dadar, potongan sosis
serta taburan bawang goreng dan pilus di atasnya. Sebenarnya aku suka selera
pedas. Selain itu, sensasi pedas juga bisa membuatku cukup berkeringat bila dalam
kondisi demam begini. Akan tetapi mengingat anak-anak itu, aku urungkan niatku
dan hanya membuat nasi goreng biasa, tanpa cabai. Aku pun kembali menemui
mereka dengan sajian nasi goreng buatanku. Aku mempersilahkan mereka mengambil
sendiri makanannya dan tak lupa mengingatkan mereka untuk berdoa sebelum makan.
Ternyata dugaanku benar. Mereka lapar, sama sepertiku saat pulang les waktu SD.
Mereka dengan lahapnya menyantap nasi goreng sederhana itu dan menambahkannya
kembali setelah nasi di piringnya habis. Dalam hati aku merasa sangat bahagia
melihat mereka makan begitu lahap. Berebut telur, salah mengambil gelas
temannya, saling icip-icip nasi di piring temannya padahal rasanya sama, lomba
cepat-cepatan makan and just like that.
Ya Tuhan, aku seperti bercermin.
Hingga kami selesai
makan, orang tua mereka belum juga menjemputnya. Memang saat itu hari masih
hujan. Apa sebegitu yakinnya mereka dengan orang yang belum dikenalnya ini
hingga mereka mengulur waktu sedemikian lama untuk menjemput buah hatinya?
Sambil menunggu jemputan, kami berbincang-bincang kembali. Tentang sekolah, tempat
mengaji, superhero, hingga seputar princess. Tak semuanya kumengerti akan
hal yang mereka ceritakan. Terkadang aku hanya ikut-ikutan tertawa walau tak
mengerti dimana letak lucunya. Dalam keheningan, salah seorang dari mereka
melontarkan tanya kepadaku “kenapa kakak baik sama kita?”. Lalu disambung oleh
seorang lainnya: “iyo, kan kak Irma
beda agama dengan kita. Kita Islam dan kak Irma Hindu”.
Ya Tuhan, anak-anak
adalah fase makhlukMu yang paling polos. Aku tersenyum kepada mereka dan menjelaskan
jika kita harus berbuat baik kepada siapa saja. Aku katakan, berbuat baik
adalah suatu kewajiban, walaupun tidak saling mengenal. “Kak Irma baik sama
kalian karena kita semua bersaudara. Walau beda agama tapi kita sama-sama
tinggal di Indonesia. Kita gak boleh pelit. Kita wajib saling tolong menolong.
Kak Irma yakin kalian juga anak-anak yang baik. Nah, Kak Irma gak mau anak-anak
baik seperti kalian sakit karena hujan-hujanan. Kalian juga sering-sering
berbuat baik ya. Berbuat baik itu seru kok” aku mencoba memberi penjelasan
kepada mereka.
Sekitar belasan menit
setelah itu, satu dari orang tua mereka datang dan disusul oleh orang tua yang
satunya. Aku menyambut mereka dengan baik. Mereka berterima kasih kepadaku
telah menjaga anak-anaknya. Mereka juga tambah berterima kasih setelah
anak-anak itu sambung-menyambung bercerita kepada orang tua mereka jika aku
telah menjamu mereka dengan secangkir Milo hangat dan sepiring nasi goreng. Aku
hanya tersenyum simpul kepada mereka dan seraya menyambut uluran tangannya
ketika mereka hendak bergegas pulang. Sakitku terasa sedikit berkurang setelah
bertemu dengan anak-anak itu.
Berselang beberapa hari
setelah kejadian, ketika aku pulang ke rumah usai beraktivitas, salah seorang di
rumah lalu menyerahkan sebatang coklat pasta kepadaku. “Ini e ada Choki-Choki untuk kau”. Aku
langsung menyambar cokelat mini itu lalu tersenyum mengejek dan berkata: “Hah,
cuma satu? Pelit amat lu” celetukku. “Eh bukan dari saya itu. Tadi ada
anak-anak bajilbab yang datang antar,
dibilang untuk Kak Irma. Apamu diakah?”
Aku menepuk jidat. Ya ampun, pasti itu salah satu dari anak-anak yang berteduh
saat hujan lalu. Aku ingin berterima kasih kepada anak itu. Ternyata sekecil
apapun kebaikan kita, akan diingat oleh orang, terutama anak-anak yang sarat
akan kepolosannya. Terima kasih telah mempertemukanku dengan anak-anak itu,
Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar