Kamu
terlalu berbeda. Itulah tiga kata yang terlalu lekat di pikiranku untuk
mendeskripsikan dirimu. Perbedaan yang tak tertolerir dan sudah menjadi harga
mati. Seperangkat perbedaan yang terlampau jauh bahkan terlalu sulit untuk
diduduk-sejajarkan nantinya. Tapi, dalam setumpuk perbedaan itu, ada sebongkah
kekuatan yang begitu sulit dideskripsikan dengan bahasa yang rumit sekalipun.
Apapun jenis kekuatan itu, entahlah, aku pun tak tahu pasti apa sebutan yang
tepat untuk menamainya. Yang jelas, kekuatan itu cukup memampukan saya untuk move on.
Awalnya
hanya sebuah lelucon, hanya sebuah produk drama terencana. Semuanya di set
sebagai seperangkat hiburan semata. Akan tetapi, sang kala berkata lain. Produk
drama itu perlahan berubah menjadi realitas. Jika tadinya saya hanya
menyaksikan reality show di
televisi, kini rasanya justru saya yang berperan di dalamnya. Sosial media memang memiliki segudang
manfaat. Saya menyebutnya bermanfaat karena hal ini berdampak positif kepada
saya yang telah hampir tuntas melenyap-matikan segenap perasaan-perasaan aneh
yang terkadang kedatangannya tanpa melalui permisi kepada pemilik jiwa dan raga
yang hendak didiami (hantu kali ya). Melalui socmed ini, tepatnya Facebook,
kini saya kedatangan tamu lagi. Tamu ini sudah cukup lama saya ketahui
sebelumnya, sehingga kedatangannya tidak terlalu mengagetkan. Dia juga
melakukan permisi sebelum memasuki pekarangan hati saya. Beginilah, kalau berbicara
hati, berarti berbicara pula pada suatu ketidak pastian. Tidak ada result yang exact kalau difilternya dengan hati, susah digeneralize. Terkadang
logika menjadi kalah kuat kalau sudah dihadapkan dengan yang namanya hati,
apalagi cinta, oh my God. Tersebutlah
pria asing yang tinggal berbatasan dengan negara India yang kini telah empat
tahun menjadi teman saya di dunia maya itulah yang keberadaannya seperti pisau
bersisi ganda. Pada satu sisi, dia potensial sebagai alat penguat, tapi disisi
lain, dalam kekuatan itu pula ada beberapa hal yang sangat mungkin untuk
melunturkan kesaktian kekuatan itu.
Tampak
terlihat kesaktian yang dihasilkan olehnya. Dalam beberapa bulan saja dia bisa
membuat saya move on bahkan move away dari seorang makhluk mulia
yang juga ciptaan Tuhan yang berasal dari wilayah Indonesia bagian barat itu.
Beberapa manfaat yang saya dapatkan dan hingga kini saya rasakan adalah kosa
kata Bahasa Inggris saya bertambah karena kita kerap bercakap-cakap menggunakan
bahasa persatuan itu. Kita juga berbagi tentang potensi negara kita
masing-masing, bercerita tentang budaya. Kami juga kerap berbagi tentang agama,
memandang suatu hal dari kacamata agama masing-masing, hingga hal-hal mendetail
lainnya yang lebih bersifat pribadi. Sekilas terlihat betapa pluralnya hubungan
kami, betapa perbedaan itu menjadi penguat dalam suatu hubungan. Tapi
anggapan
itu tidak benar adanya. Pada akhirnya jika sudah menemui waktunya, pasti akan
dihadapkan dengan kalimat sederhana ini “siapa ikut siapa”. Kalau “siapa ikut
siapa” dalam konteks tanah air saja, ya tidak terlalu bermasalah. Setidaknya
masih bisa memakai kewarganegaraan sendiri, tapi kalau sudah menyangkut
hubungan transendental, siapa yang sanggup? Dan saya adalah salah satu orang
yang menentang hal ini. Bukannya fanatik, tidak. Hanya saja saya sudah
menemukan kebenaran yang saya cari dan itu saya dapatkan di Agama saya. Saya
tidak ingin mengonversinya dengan cara apapun, terlebih karena alasan pria dan
cinta. No way. Inilah yang saya sebut
sebagai perbedaan yang tak tertolerir.
Menghadapi
keadaan demikian, maka logika harus diupayakan semaksimal mungkin agar tak
kalah dengan yang namanya perasaan yang sarat dengan unsur emosionalnya itu.
Logika harus tetap berjalan lurus, setidaknya beriringan dengan perasaan.
Benar, kamu telah dan bahkan masih mendapat tempat di hati ini, but in one condition. Sebisa mungkin
saya tidak akan mengizinkan cinta membutakan kehidupan saya. Cinta itu
membangun, bukan menjatuhkan. Cinta itu harusnya menerangkan, bukan membutakan.
Kalau toh ada yang mengatakan terbutakan oleh cinta, maka periksa kembali
logika Anda, khususnya otak kiri. Is it
still working? Kamu memang teman yang baik. Biarpun dalam long distance, tapi bisa memampukan
saya. Setidaknya dari kejauhan sana kamu telah menyumbang suatu hal yang
bernilai bagi saya yang tak semua orang dapat lakukan. Tapi mengingat kembali
perbedaan-perbedaan mendasar itu, cepat atau lambat kita pasti akan bubar. Dan
akhirnya suatu ketika kita akan memiliki sejarah LDR tersendiri yang mungkin
layak diceritakan kepada pasangan hidup, anak-anak bahkan cucu kita
masing-masing kelak. Anyway, jika
kamu (orang yang saya maksud) menemukan tulisan ini lalu mengartikannya di translator, yakin saja kamu tidak akan
mendapatkan makna pasti dari artikel ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar