Terik mentari siang itu seolah sanggup
membakar kulit cokelatku yang hanya mengenakan kemeja setengah lengan dan
sepatu teplek tanpa kaos kaki. Entah mengapa, sepertinya aspal yang kulalui
terbuat dari bara yang tengah berkobar, yang hawanya mampu membuatku bercucuran
keringat. Keluh kesah tak pelak kulontarkan. Ya, keluh kesah kepada diriku
sendiri, yang tak mengenakan jaket juga kaos kaki. Aku pun sesekali melirik
teman di depanku yang kebetulan dialah yang mengendarai kendaraan roda dua ini,
sedangkan posisiku, selalu dibelakang, tak pernah kedua tanganku bersentuhan
langsung dengan stang. Aku melihat, betapa capainya dia mengendarai motor,
sedangkan aku dibelakang sibuk dengan seribu omelan yang tak ada ujung
pangkalnya.
Sekitar limabelas menit perjalananku,
hingga sampailah di sebuah tempat yang begitu banyak menyimpan kenangan. Ya,
kenangan kejahilan dan kebersamaan dengan teman-teman seangkatan saat masa-masa
aktif perkuliahan dulu. Tak terasa itu sudah empat tahun silam. Ya Tuhan, sudah
empat tahun aku di kampus ini tapi sampai sekarang aku belum bisa mengendarai
sepeda motor. Empat tahun aku di kampus ini tapi belum bisa move on. Empat tahun aku di kampus ini
tapi belum.. ah sudahlah, panjang ceritanya kalau diteruskan.
Ku langkahkan kaki perlahan, sambil
sesekali menengok kiri kanan berharap ada sesuatu yang bisa menyejukkan hati, mereduksi
panasnya terik mentari kala itu. Ah, hanya penjual es blender instan, walaupun
dingin tapi aku tak terpikat, terlalu banyak mengandung pemanis buatan dan tak begitu
baik untuk kesehatan. Tiba-tiba pandangan saya tertuju pada suatu hal. Oh My
God, inilah penyejuk yang tanpa pemanis buatan, dia manis alami serta baik
untuk kesehatan. Hey, mengapa kamu tiba-tiba mengusik hatiku, menembus
pori-pori kulitku dengan keteduhan pesonamu? Mungkin hanya aku yang
merasakannya. Ya Tuhan, betapa mulianya Engkau, memberikan sepercik keteduhan
bagi jiwaku ditengah teriknya mentari siang itu. Senyumnya mampu mendinginkan
panasnya Kota Palu di hatiku. Siapakah gerangan? Sepertinya dia tak asing lagi
di mataku, setidaknya aku mengetahui namanya walau hanya satu kata dari sekian rangkaian
kata penyusun namanya.
“Hey, kamu Bhisma (nama samaran), kan?” Aku menyapanya. Yang disapa pun
berhenti tepat di depanku. Ia mengangguk sambil melontarkan sedikit guyonan dan
mempebaiki kesalahan pengucapanku pada namanya. Kami tertawa sejenak dan bertegur
sapa secukupnya. Beberapa hari sebelumnya aku sering melihatnya dan suatu hari
lalu, aku memang pernah menemuinya untuk tujuan akademik. Selidik punya
selidik, ternyata aku pernah se-tim bersamanya beberapa tahun yang lalu.
Aduh, mengapa penyejuk mata ini baru
muncul, coba kalau dari semester-semester kemarin, pastinya aku bakal semangat
empat lima kalau ngampus. Tapi, Tuhan biasanya selalu punya cara yang luar
biasa buat aku. Lalu, apa rencana Tuhan di balik mengagumkannya sosok pria yang
misterius yang manis, tanpa pemanis buatan itu terhadapku? Entahlah, mungkin
Tuhan menyiapkannya untukku, agar semangatku bangkit kembali untuk menggarap
Skripsiku. Ya Tuhan, betapa Aku sangat megangumimu, juga makhluk ciptaanMu yang
Kau kirimkan sebagai pereduksi jiwa yang letih di tengah kendornya semangatku
menyelesaikan Skripsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar