http://winest-wirmayani.blogspot.com/2013/04/budaya-galau-mahasiswa-vs-tipologi-dosen.html

Jumat, 25 Januari 2013

Ada Apa dengan Pendidikan Kita?


       Akhir-akhir ini, di media massa seolah tak henti-hentinya tersiar betapa bobroknya karakter peserta didik di Indonesia saat ini. Bukan hanya menjadi berita biasa, bahkan menjadi headline dan top of the top diberbagai media. Ada apa gerangan dengan dunia pendidikan kita yang notabene sebagai pencetak generasi yang intelektual dan berkarakter yang kini menjadi sorotan publik? Inikah luaran dari pendidikan yang telah memasukkan unsur media pembelajaran berbasis internet yang bisa diakses peserta didik secara bebas? Dimana letak kekeliruan sehingga kasus-kasus kekerasan yang kerap kali melibatkan siswa ini terjadi? Adakah kurikulum yang seharusnya direvisi agar dapat mencegah atau meminimalisir terjadinya kasus kekerasan hingga menelan korban jiwa?
Ya, pendidikan adalah sesuatu yang bersifat vital. Pendidikan sebagai aset dan investasi bangsa yang kemudian menjadi indikator kemajuan suatu bangsa. Jika pendidikannya berkualitas dan kompetitif saja, itupun belum cukup. Etikalah kemudian yang menjadi salah satu faktor penentu, berhasil atau tidaknya seseorang ditengah masyarakat, bangsa dan negara. Ini artinya, pendidikan bukan hanya sebagai produsen generasi yang cerdas secara akademik, terlebih harus cerdas pula secara emosional. Faktor kekurangcerdasan emosional inilah yang menodai dunia pendidikan saat ini dengan banyaknya rentetan kasus kekerasan yang dilakukan oleh siswa bahkan mahasiswa.
Jika ditanya inikah luaran dari pendidikan? Jawabannya tentu bukan. Pendidikan di Indonesia yang berbasis Pancasila, tidak pernah mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan konstitusi negara. Pendidikan Indonesia bertugas mendidik dan membina peserta didik agar menjadi generasi yang intelektual dan bermartabat yang mampu berkompetisi dalam skala global untuk memajukan kesejahteraan bangsa. Seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945,
tujuan Negara Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sebagai konstitusi, semua sendi hukum dalam lingkup NKRI merujuk pada UUD 1945 yang merupakan sumber hukum tertinggi, termasuk pendidikan. Olehnya, produk pendidikan semestinya berazaskan pada tujuan negara yang tertuang dalam batang tubuh RI.
Lalu, mengapa kekerasan masih saja terjadi di lingkup pendidikan? Belakangan ini, pelajar diberbagai wilayah tengah bergejolak. Mereka seolah kehilangan kendali. Seperti yang tersiar di media massa, dua pelajar hingga meninggal dunia oleh peristiwa tawuran yang terjadi antarsekolah beberapa waktu lalu. Sungguh memperihatinkan. Jika yang mengenyam pendidikan saja bertingkah seperti itu, bagaimana dengan tidak menyentuh bangku pendidikan sama sekali.
Mengenai motif, peristiwa tawuran dikalangan pelajar umumnya dipicu oleh permasalahan antarpribadi yang kemudian meluas pada ranah kelompok hingga melibatkan unsur sekolah yang berimplikasi balas dendam.  Disini, peran strategis pihak sekolah perlu dipertegas, bagaimana menjadi fasilitator dan mediator dalam penyelesaian konflik. Pihak sekolah juga mestinya lebih tanggap dan peka terhadap setiap isu-isu yang terjadi dalam lingkup sekolah yang dapat memicu konflik lebih luas apabila tidak ditangani sejak dini.
Berlanjut pada media pembelajaran. Era digitalisasi saat ini mulai meluas dalam lingkup pendidikan. Media pembelajaran yang dulu hanya menggunakan buku manual, kini hampir secara keseluruhan menerapkan sistem digital. Buku yang berupa lembaran kertas tebal, kini disulap menjadi buku elektronik yang bersifat mobile, fleksibel dan mudah diakses dimana saja. Terlebih lagi dengan hadirnya internet yang sangat mendongkrak kemajuan pendidikan melalui teknologinya dalam bidang informasi dan komunikasi. Jika ini kemudian dikatakan sebagai penyebab merosotnya moral pelajar, sesungguhnya bukanlah sesuatu hal yang objektif. Media pembelajaran berfungsi untuk memperluas khasanah cakrawala berpikir peserta didik, bukan untuk hal-hal yang dapat menodai bahkan kemudian menyebabkan lunturnya kearifan pelajar. Disinilah peran orang tua sangat diperlukan mengingat rentang usia yang duduk dalam pendidikan menengah berada dalam tahap transisi untuk menemukan jati diri mereka yang umumnya masih labil. Jika guru mendidik dan membimbing dalam konteks sekolah, maka orang tua harus mendidik, membimbing, membina dan memberikan pengarahan dalam lingkup keluarga dan sosial masyarakat dengan pendekatan yang sesuai.
Lantas, bagaimana dengan kurikulum pendidikannya?  Kurikulum pendidikan dibawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), baik itu dalam tataran pendidikan dasar, pendidikan menengah atau pendidikan tinggi, bidang studi berbasis moral selalu dimasukkan kedalam kurikulum yang tercakup diantaranya Pendidikan Agama dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Dua bidang studi ini beresensi menekankan aspek moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tapi dalam aplikasinya, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaan justru lebih banyak mempelajari tentang sejarah dan beberapa unsur yuridis juga termuat didalamnya. Seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang mempelajari Masyarakat Madani, HAM, Otonomi Daerah dan sebagainya. Mengapa bukan dititikberatkan pada aspek moral saja, yang dapat membentuk kepribadian bangsa. Memang, pengetahuan tentang bela negara dan kedaulatan NKRI sudah semestinya diketahui dan dipahami oleh tiap peserta didik. Tapi perlu diketahui, pengetahuan itu akan tertanam baik apabila moralnya juga baik.
Menjadi suatu hal yang penting yang perlu dipertimbangkan, dengan melihat potret pendidikan saat ini yang sangat mencekam, memperihatinkan dan rentan terhadap kekerasan, revitalisasi kurikulum perlu dilakukan. Ada baiknya pendidikan karakter yang merupakan wujud dari pendidikan kecerdasan emosional,dimasukkan kedalam kurikulum pendidikan secara serentak di Indonesia. Melalui pendidikan karakter, kepribadian masing-masing peserta didik akan terbentuk hingga kearifan lokal akan tetap terjaga dan lestari. Tenggang rasa antar sesama umat beragama, ras, golongan maupun suku akan terjalin melalui pendidikan harmoni dalam lingkup multikultural. Inilah yang mulai hilang dalam dunia pendidikan saat ini, yang menjadikan siswa sangat sensitif dan represif tanpa memiliki basis moral dan kecerdasan emosional yang kuat sehingga dengan mudah amarah meledak dan tak terkontrol, hingga menelan korban jiwa.
Tak hanya itu, untuk membentuk generasi emas seperti yang diharapkan oleh Mendikbud pada perayaan seabad HUT RI mendatang, sinergitas antara guru, orang tua dan masyarakat harus ditingkatkan dalam melakukan bimbingan, didikan dan kontrol kepada peserta didik. Dengan ini, kasus kekerasan serupa tawuran oleh pelajar dapat diminimalisasi, sehingga tercipta luaran yang cerdas, terampil dan berkarakter sesuai dengan harapan Bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

x_3badcda6