http://winest-wirmayani.blogspot.com/2013/04/budaya-galau-mahasiswa-vs-tipologi-dosen.html

Sabtu, 30 Januari 2016

Sepenggal Bahasa Rindu Untuk Sahabat

Tak sengaja tadi aku mendengar lagu Bring Me To Life dari Evanescence, lagu yang kamu favoritkan jika kita menghabiskan waktu senggang di tempat karaoke. Sepertinya hampir semua tempat karaoke di Bumi Tadulako ini tak luput dari kunjungan kita (kecuali, karaoke remang-remang tentunya). Sepulang kuliah, berkendara beriringan dengan teman-teman bak penguasa jalan. Jarang sekali langsung pulang ke rumah. Kalau bukan berwisata kuliner (Binte hunter), ke toko buku, internetan, ya karaokean. Oh iya, masih ingatkah kamu, kita pulang dari kampus berpetualang mencari binte sampai di desa, di kaki gunung dekat Gawalise sana hingga pulang malam? Ingatkah kamu waktu kamu menjemputku di rumah untuk ngeprint tugas ke warnet jam dua tengah malam? Aku pikir tugasmu sudah kelar dan siap dicetak seperti tugasku, tapi ternyata kamu baru memulai mengerjakannya. Alhasil aku pulang memanjat terali pagar dan tidur di garasi hingga fajar menyingsing. Masih ingat waktu kita berpetualang mencari desa binaan? Masuk ke desa pelosok dari Mamboro kesasar di perkampungan kumuh melewati jembatan gantung usang hingga tembus di Kec. Sindue? Dan tentunya kamu masih ingat dengan pertanyaan ini yang kerap ditanyakan oleh teman-teman seangkatan kita “kamu dua ini pigi kuliah atau kemping, banyak sekali makanan yang kamu bawa”. Just like that.

Begitu banyak hal yang pernah kita lakukan bersama-sama sewaktu kuliah. Ada juga saat kita mengusili pengelola prodi di pengajaran dengan permen yang mungkin komposisi mint-nya mencapai 80% (entah dimana dan darimana lalu kita mendapat permen itu, jangan-jangan permen illegal, ah sudahlah). Akibatnya, kita berdua terlalu terkenal di mata mereka sebagai orang usil. Hingga mereka selalu waspada apabila kita menawarkan makanan kepadanya. Ke kampus membawa pisau. Bukan untuk sarana tawuran tentunya, melainkan untuk mengupas Nenas di kampus yang sebelumnya telah kita beli di pinggir jalan. Saat di kelas, entah apa awalnya yang dibahas waktu itu hingga kamu nyeletuk soal model rambut belahan tengah dari salah satu teman kita (sebut saja dia Kumbang), lalu aku tertawa lepas sampai mengeluarkan air mata dan keesokan harinya yang bersangkutan sudah menggunting rambutnya serta berbelahan samping. Wah, hampir saja kita tak mengenalinya. Lebih tepatnya, mirip boyband salah gaul :D

Waktu Ujian Skripsiku, April 2015
Saat pulang dari kampus sekitar jam delapan malam usai mengedit konten Media Tadulako, tahun 2012 silam (lupa bulan apa).  Saya sudah mencegahmu melewati kawasan STQ karena jalanannya terlalu sepi dan rawan tindak kejahatan. Tapi, lagi-lagi kamu mengandalkan kejagoanmu. Akibatnya, kita dikepung oleh orang tak dikenal menggunakan mobil yang kebetulan hanya kita dan mobil tersebut yang berada di jalanan senyap itu. Kamu menginstruksikanku untuk berpegangan erat-erat karena kamu akan menggunakan kecepatan maksimal motor matic-mu. Aku gemetaran sambil terus berdoa. Nasib baik sedang berpihak pada kita. Untungnya, ban motormu bocor ketika kita sudah memasuki Jalan Sisingamangaraja. Entah apa yang terjadi jika banmu bermasalah di kawasan STQ tadi. Sepertinya mata kuliah Bela Diri (Karate) akan berguna pada saat-saat seperti itu, sayangnya mata kuliah tersebut tertanda “E” di KHS kita. Itu artinya, kita tidak punya minat ataupun bakat untuk hal-hal demikian (iyalah, kita bukan pendekar).


Pantai Bambarano
Tak hanya itu, masih banyak hal-hal konyol lainnya yang pernah kita lakukan. Kamu masih ingat waktu kita memancing di Danau Talaga dan Pantai Bambarano? Kita berangkat dari desaku. Dandanan kita layaknya pemancing profesional, padahal aslinya amatiran pakai banget. Bawa joran roll seperti di Mancing Mania itu, umpannya semangkok, singgah di kios membeli camilan dan air mineral hingga banyaknya memenuhi daya tampung maksimal kantongan plastik besar, dan terakhir pakai sun block agar terhindar dari dampak buruk sinar matahari. Ternyata style tidak berbanding lurus dengan skill. Sudah sekian jam memancing, tak satupun ikan yang terkail. Malah kita yang di PHP dan dibuat kesal oleh ikan. Pulang dari gagal mancing, kita singgah di SPBU Desa Sioyong. Aku masih ingat sekali saat itu kamu membeli premium seharga Rp. 15.000,00. Seusai diisi, lalu kamu dengan polosnya meminta uang kepada saya. Iya sih, tadinya aku memang bawa uang. Tapi kan sudah dibelikan aneka makanan ringan, cokelat dan air mineral. Sisanya sudah tak cukup lagi senilai harga bensin yang kamu isi. Aku juga lupa kalau dompetmu ketinggalan di rumahku. Karena tak punya pilihan lain, kita ngebon di SPBU. Sungguh memalukan. Akhirnya sore hari ketika hendak balik ke Palu, kita mutar dulu dari kampung halamanku ke SPBU tempat kita ngebon tadi untuk bayar hutang premium. What a kampret moment!!


Danau Talaga
Hal konyol lain juga waktu kita nerobos derasnya hujan malam-malam dari kompleks Perdos karena ditakut-takuti cerita hantu oleh salah satu dosen yang kita kunjungi saat itu. Kita pulang basah kuyup, menggigil, dan tas kita basah hingga di dalamnya. Kita singgah di sebuah kedai di pinggir jalan. Bukannya memesan minuman hangat atau makanan berkuah yang setidaknya bisa menghangatkan tubuh, kita berdua malah sepakat memesan Sup Buah dan meminta es batunya dibanyakin. Tak usah ditanyakan apa akibatnya. Yang jelas, keesokan harinya kita berdua absent diperkuliahan dan hanya bisa berbalas pesan singkat menanyakan kondisi masing-masing. Ada juga waktu demonstrasi besar-besaran di depan kantor DPRD Sulawesi Tengah terkait isu kenaikan BBM tahun 2012 silam. Massa menggunakan helm dan alat pelindung lainnya berdemo hingga terlibat lempar-lemparan batu dengan aparat, eh kita malah sibuk di tengah kerumunan massa yang sedang ricuh, mencari kunci motormu yang hilang tanpa menggunakan perlindungan apapun. Kalau anak MCI bilang “antimainstream”. Akhirnya kita sadar jika tindakan kita terlalu konyol dan membahayakan diri sendiri.

Ujian Skripsimu, Agustus 2015
Ada pribahasa Indonesia yang mengatakan: sepandai-pandainya Tupai melompat, sesekali akan jatuh jua. Itulah yang terjadi pada kita. Terlalu sering melanggar lalu lintas, pintar ngeles, akhirnya ketahuan juga. Kita dikenakan tilang dan kita tak mau ambil jalur damai. Akhirnya diberikan surat tilang dan dipanggil ke pengadilan. Mestinya kita membayar sekian rupiah (lupa berapa nominalnya, yang jelas berbau ratusan ribu) sebagai denda atas tindakan larangan itu sesuai dengan UU Lalu lintas, tapi karena kamu jago bernegosiasi, jadinya hanya bayar Rp.50.000,00 dan itupun masih bruto. Kita dengan polosnya meminta kembalian Rp.20.000,00 untuk beli snack. Mungkin karena petugasnya sudah lelah dan tak mau berurusan lebih lama lagi dengan kita, iapun mengembalikan uang seperti nominal yang sudah kita sebutkan. Kita lalu tertawa disepanjang jalan mengenang peristiwa tadi. 

Oh iya, ada juga waktu aku asyik browssing di ruang Humas Rektorat, kamu dan Kak Adiatma menelpon dan memaksaku agar keluar ke halaman depan rektorat karena kalian sedang makan bakso. Awalnya aku sempat mengira jika kalian berbohong. Mana mungkin ada penjual bakso di depan rektorat. Namun, kalian tetap memaksaku hingga akhirnya aku meninggalkan aktivitas browssing. Padahal waktu itu aku belum lapar. Setibanya disana, ternyata kalian sudah memesan semangkok bakso untukku. Kita bertiga makan di bawah tiang bendera sambil bergurau di halaman terbuka tanpa rasa bersalah. Saya merasa ada yang ganjil. Benar saja. Beberapa lelaki berseragam putih yang tergabung dalam Satuan Pengamanan (satpam) Untad ternyata sedari tadi sudah memperhatikan ulah kami bertiga. Mereka menyambangi kami ala tim buser dan membubarkan aktivitas kami. Aku kasihan melihat abang tukang baksonya. Dia mengumpulkan mangkok dan gelas-gelas kami yang berserakan akibat grebekan satpam, lalu ia minta maaf ke mereka. Ketika hendak beranjak dari TKP, rantai sepedanya lepas. Kasihan. Aku mengomel seribu bahasa kepadamu juga Kak Adiatma saat itu.

Ada pula saat kamu tidur di kamarku seusai menggarap skripsi. Dini hari kita menonton film Insidious bersama Jein. Ya begitulah, belog ajum kalau orang Bali bilang. Kalian sudah tahu takut akan film horror, eh malah maksa dan sok berani menonton. Akhirnya Jane yang menjadi korban tendangan bebasmu akibat pengaruh horornya segment film itu. Lengannya lebam. Hmmm, tak habis rasanya jika dideskripsikan semuanya. Masih banyak lagi hal-hal konyol mengundang tawa yang bersifat personal yang tak layak dikonsumsi publik.

Depan IT Centre Untad, Juni 2015
Ketahuilah sahabatku, itu semua yang membuatku rindu kepadamu. Aku benar-benar tidak pernah menyangka sebelumnya jika kamu akan menjadi salah satu sahabatku. Dulu sebelum mengenalmu, aku tak banyak tahu tentang arti memberi, tak banyak tahu tentang pentingnya berbagi. Kamu benar-benar berkepribadian mulia. Kamu banyak mengajarkanku tentang keikhlasan. Sebagai seorang introvert, aku sangat selektif, termasuk dalam urusan memilih teman. Aku membutuhkan tempo yang lama untuk bisa akrab dengan seseorang. Tapi kamu? Aku belum lama mengenalmu tapi sudah berani memasukkanmu ke dalam daftar sahabatku yang totalnya tak lebih dari lima orang itu. You know, I’m feeling free with you. Aku bisa dengan leluasa berkeluh-kesah kepadamu. Ternyata kepribadian penjelajah bisa nyambung juga dengan tipe pengarah. Siapa yang mengira kalau kita bisa menangis? Kamu yang selalu ceria, impulsive, energic, nampaknya tak ada celah untuk meneteskan air mata. Begitu juga denganku yang straight, logis, lugas, dingin dan suka bergurau, sepertinya organ penglihatanku susah memproduksi kelenjar air mata. Denganmu, aku bisa bercerita dan mengizinkan air mataku menetes tatkala ada hal yang terlalu sulit kucerna dengan logika.

A friend who understands your tears is much more valuable than a lot of friends who only know your smile
-Sushan R. Sharma-

Kini, kita sama-sama mengejar impian masing-masing. Sewaktu mengantarmu ke bandara, disatu sisi aku merasa gembira karena kamu akan segera berproses mewujudkan impianmu. Tapi dilain sisi, aku juga tak dapat menutupi kesedihanku. Sedih karena akan lama berpisah dengan sahabat sepertimu. Florida dan Palu memang terasa dekat dengan media komunikasi. Tapi, media punya batasan. Media tak mampu menyampaikan taste binte yang gurih, hangat dan pedas itu kepadamu. Merly, Agis, Mama-Papamu dan aku yang saat itu ada di bandara adalah sebagian kecil orang yang merasa kehilangan sementara atas keberangkatanmu.


Asal kamu tahu, kamu dan juga keempat sahabatku lainnya sudah menjadi bagian dari bait doaku. Ada banyak hal yang ingin kuceritakan jika bertemu langsung denganmu. Sekali lagi, aku benar-benar merindukanmu. Rindu makan binte bersamamu, rindu menyanyi amatiran, rindu melakukan hal-hal aneh yang kerap kamu pelopori, rindu mendengar petualanganmu dan tentunya aku rindu dan sangat menantikan telepon darimu untuk terbang melihat Nusantara dari udara dan duduk paling depan, tepat di samping seorang pilot wanita. Ya, di sampingmu. Aku menitip pesan untukmu, fokuslah dalam menjalani masa pendidikanmu. Jangan suka bolos-bolos lagi seperti kebiasaanmu saat kuliah. Ingat, jangan perlakukan pesawat seperti kamu memperlakukan motor matic-mu! Mulailah belajar sedikit demi sedikit menurunkan kadar impulsifitasmu itu! Berbiasalah mencintai rutinitas! Do your best! We are support you here. Kelak suatu ketika kamu akan menjadi salah satu pilot terbaik kebanggaan Indonesia. Kamu adalah kisah nyata yang akan kudongengkan kepada anak-anakku nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

x_3badcda6