http://winest-wirmayani.blogspot.com/2013/04/budaya-galau-mahasiswa-vs-tipologi-dosen.html

Selasa, 12 Januari 2016

Merindukan Pers Beretika



Tak lama lagi Indonesia memperingati Hari Pers Nasional. Hari dimana kemerdekaan pers menjadi hak asasi setiap warga negara. Seperti yang tercantum dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, mengatakan bahwa kemerdekaan berpendapat, berekspresi merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, di tengah-tengah kemerdekaan pers yang terbilang “bebas”, ada beberapa hal yang menyangkut kode etik yang kerap dilupakan, sehingga turut mempengaruhi arah berita yang dihasilkan.

Beragam perusahaan pers di Indonesia dalam berbagai media, berlomba-lomba menyajikan berita ke hadapan publik dengan ideologi mereka masing-masing. Masih segar diingatan kita bagaimana pers nasional mengonstruksi realitas seputar pemilu pemilihan presiden kemarin. Disini, status kepemilikan media sangat mempengaruhi output pemberitaan, sehingga asas keberimbangan (cover both side) sering terabaikan.  Padahal, dalam Pasal 1 Peraturan Dewan Pers No.6 Tahun 2008 Tentang Kode Etik Jurnalistik disebutkan bahwa, wartawan Indonesia (harus) bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Inilah justru yang sering dilupakan, apalagi jika sudah bersentuhan dengan kepentingan politik dan status kepemilikan media. Independensi menjadi luntur, konstruksi realitas cenderung subjektif dan sering terjadi ketidak-berimbangan pemberitaan. Bahkan, itikad buruk pun bisa disulap dengan cara yang halus untuk menggiring opini publik dalam memaknai suatu peristiwa.

Jika pers sudah tak mampu bersikap netral, lalu kepada siapa lagi masyarakat memperoleh informasi? Bukankah pers berperan untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui? Bukankah pers juga berperan untuk mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar seperti yang tertulis pada pasal 6 UU No.40 Tahun 1999? Memang semestinya begitu, tetapi adanya beberapa faktor yang terkait dengan kepentingan dan kepemilikan media, membuat pers tak mampu lagi secara sempurna menjalankan perannya. Terlepas dari semua itu, masyarakat seolah-olah dituntut untuk aktif dan cerdas menganalisa sendiri peristiwa yang telah disajikan oleh media untuk memperoleh informasi yang objektif atau menjadi khalayak pasif yang tak berdaya pada terpaan informasi hasil agenda setting media. Caranya?

Untuk memperoleh informasi yang berimbang terhadap suatu peristiwa, khalayak dapat menggunakan beberapa cara, diantaranya adalah dengan membandingkan peristiwa yang sama dari beberapa media, lalu menyimpulkannya. Disitu bisa dilihat bagaimana kecenderungan masing-masing media dalam mengonstruksi realitas. Untuk hasil yang lebih akurat, khalayak bisa menggunakan analisis pembingkaian berita (framing analysis) model Pan dan Kosicki yang mengamati berita dari empat struktur, yakni sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Struktur sintaksis mengamati unit headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan dan penutup; pada struktur skrip, unit yang diamati adalah kelengkapan berita yang terdiri atas unsur 5W+1H; struktur tematik mengamati unit yang meliputi paragraf, proposisi, kalimat dan hubungan antar kalimat; serta struktur retoris yang mengamati unit kata, idiom, gambar/foto atau grafik.

Melakukan filtering terhadap berita-berita yang dimuat, disiarkan maupun ditayangkan di media massa, selain dapat menghindarkan diri dari informasi-informasi yang bersifat subjektif, juga dapat mendorong pers untuk melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan kode etik jurnalistik. Perusahaan pers juga hendaknya memperhatikan ruang publik. Jangan sampai persentase komersial melebihi persentase konten produk jurnalistik yang terdapat pada media tersebut. Selain itu, penyakit wartawan yang menyalahgunakan profesi seperti menerima suap, dapat diproses dan ditindak-lanjuti sesuai peraturan yang berlaku agar pers Indonesia menjadi pers yang bersih, independen, dan terpercaya. Begitu pula dengan para wartawan dalam mengonstruksi realitas, hendaknya selalu menguji setiap informasi yang hendak diberitakan, serta tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi. Hingga suatu ketika, dengan masyarakat yang kritis dan cerdas, pers Indonesia perlahan bisa tumbuh menjadi pers yang “dewasa” dan pers beretika yang selama ini dirindukan dapat menjadi kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

x_3badcda6