Tak lama lagi Indonesia memperingati Hari Pers
Nasional. Hari dimana kemerdekaan pers menjadi hak asasi setiap warga negara. Seperti
yang tercantum dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, mengatakan
bahwa kemerdekaan berpendapat, berekspresi merupakan salah satu wujud
kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Untuk
menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi
yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi
sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan
integritas serta profesionalisme. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan
peranannya, di tengah-tengah kemerdekaan pers yang terbilang “bebas”, ada
beberapa hal yang menyangkut kode etik yang kerap dilupakan, sehingga turut
mempengaruhi arah berita yang dihasilkan.
Beragam
perusahaan pers di Indonesia dalam berbagai media, berlomba-lomba menyajikan
berita ke hadapan publik dengan ideologi mereka masing-masing. Masih segar
diingatan kita bagaimana pers nasional mengonstruksi realitas seputar pemilu
pemilihan presiden kemarin. Disini, status kepemilikan media sangat
mempengaruhi output pemberitaan, sehingga
asas keberimbangan (cover both side)
sering terabaikan. Padahal, dalam Pasal
1 Peraturan Dewan Pers No.6 Tahun 2008 Tentang Kode Etik Jurnalistik disebutkan
bahwa, wartawan Indonesia (harus) bersikap independen, menghasilkan berita yang
akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Inilah justru yang sering
dilupakan, apalagi jika sudah bersentuhan dengan kepentingan politik dan status
kepemilikan media. Independensi menjadi luntur, konstruksi realitas cenderung
subjektif dan sering terjadi ketidak-berimbangan pemberitaan. Bahkan, itikad
buruk pun bisa disulap dengan cara yang halus untuk menggiring opini publik
dalam memaknai suatu peristiwa.
Jika
pers sudah tak mampu bersikap netral, lalu kepada siapa lagi masyarakat
memperoleh informasi? Bukankah pers berperan untuk memenuhi hak masyarakat
untuk mengetahui? Bukankah pers juga berperan untuk mengembangkan pendapat umum
berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar seperti yang tertulis pada
pasal 6 UU No.40 Tahun 1999? Memang semestinya begitu, tetapi adanya beberapa
faktor yang terkait dengan kepentingan dan kepemilikan media, membuat pers tak
mampu lagi secara sempurna menjalankan perannya. Terlepas dari semua itu,
masyarakat seolah-olah dituntut untuk aktif dan cerdas menganalisa sendiri
peristiwa yang telah disajikan oleh media untuk memperoleh informasi yang objektif
atau menjadi khalayak pasif yang tak berdaya pada terpaan informasi hasil agenda setting media. Caranya?
Untuk
memperoleh informasi yang berimbang terhadap suatu peristiwa, khalayak dapat
menggunakan beberapa cara, diantaranya adalah dengan membandingkan peristiwa
yang sama dari beberapa media, lalu menyimpulkannya. Disitu bisa dilihat
bagaimana kecenderungan masing-masing media dalam mengonstruksi realitas. Untuk
hasil yang lebih akurat, khalayak bisa menggunakan analisis pembingkaian berita
(framing analysis) model Pan dan
Kosicki yang mengamati berita dari empat struktur, yakni sintaksis, skrip,
tematik dan retoris. Struktur sintaksis mengamati unit headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan dan
penutup; pada struktur skrip, unit yang diamati adalah kelengkapan berita yang
terdiri atas unsur 5W+1H; struktur tematik mengamati unit yang meliputi
paragraf, proposisi, kalimat dan hubungan antar kalimat; serta struktur retoris
yang mengamati unit kata, idiom, gambar/foto atau grafik.
Melakukan
filtering terhadap berita-berita yang
dimuat, disiarkan maupun ditayangkan di media massa, selain dapat menghindarkan
diri dari informasi-informasi yang bersifat subjektif, juga dapat mendorong
pers untuk melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan
kode etik jurnalistik. Perusahaan pers juga hendaknya memperhatikan ruang
publik. Jangan sampai persentase komersial melebihi persentase konten produk
jurnalistik yang terdapat pada media tersebut. Selain itu, penyakit wartawan
yang menyalahgunakan profesi seperti menerima suap, dapat diproses dan
ditindak-lanjuti sesuai peraturan yang berlaku agar pers Indonesia menjadi pers
yang bersih, independen, dan terpercaya. Begitu pula dengan para wartawan dalam
mengonstruksi realitas, hendaknya selalu menguji setiap informasi yang hendak
diberitakan, serta tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi. Hingga
suatu ketika, dengan masyarakat yang kritis dan cerdas, pers Indonesia perlahan
bisa tumbuh menjadi pers yang “dewasa” dan pers beretika yang selama ini
dirindukan dapat menjadi kenyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar