http://winest-wirmayani.blogspot.com/2013/04/budaya-galau-mahasiswa-vs-tipologi-dosen.html

Selasa, 27 Maret 2012

Jangan Jadi Mahasiswa Parokial



Demonstrasi seolah menjadi trend masa kini. Mungkin salah satu penyebabnya akibat inkonsistensi konsep demokrasi. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, kini hanya tinggal sebuah dongeng. Banyak terjadi penyimpangan. Diranah pemerintahan, seakan tak pernah lepas dari berbagai skandal yang kemudian menjadi pergunjingan hangat dilingkup media. Korupsi misalnya. Pemberitaannya tak pernah luput dijagat media. Tak jarang pula menjadi headline bahkan top of the top. Institusi pemerintahan menjadi lahan subur bagi tikus-tikus berdasi memijakkan kakinya. Hingga tak heran, sebagian besar kasus korupsi dilakukan oleh pejabat pemerintah dari level tinggi hingga Pegawai Negeri Sipil (PNS) sekalipun. Akibatnya, rakyat kecil semakin tertindas, sedangkan si koruptor sibuk dengan rekening “gendutnya”.
Skandal inilah yang kemudian memicu pergerakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam menuntaskan kasus itu. Demonstrasi menjadi pilihan. Dimana-mana terjadi unjuk rasa. Mahasiswa pun terlibat didalamnya. Aksi protes terhadap kebijakan pemerintah gencar dilakukan. Tak jarang pula diwarnai aksi anarkis.
Sekarang ini, penolakan rencana kenaikan harga BBM menjadi isu hangat. Demonstrasi tak dapat dibendung. Hampir seluruh wilayah di Indonesia turut dalam aksi. Etika demo sudah mulai diabaikan. Banyak kasus baru yang timbul akibat ketidakpahaman etika dalam demonstrasi. Perusakan terhadap sarana umum, bentrok dengan aparat pemerintah, seakan menjadi hal biasa. Padahal, demo semestinya dilakukan dengan santun, agar aspirasi yang hendak disuarakan didengar oleh pemerintah. Bukannya malah merusak sarana umum, melempar gedung atau memblokade jalan diiringi dengan aksi membakar ban. Ini mencerminkan bahwa kecerdasan emosional mahasiswa masih rendah.
Sebagai kaum intelektual, sebaiknya tahu dan sadar apa maksud dan tujuan dari kegiatan yang diikutinya sebelum melakukan demo. Banyak demonstran, khususnya mahasiswa tidak memahami apa yang ia tengah lakukan. Mereka cuma ikut-ikutan. Tak sedikit pula yang menjadi korban mobilisasi para aktivis ataupun kelompok kepentingan untuk turut dalam aksi. Ketidakpahaman inilah yang kemudian menimbulkan tindak kekerasan. Memang, demo merupakan wujud demokrasi. Tetapi apabila disalahtempatkan, konsep demokrasi bisa berubah menjadi demo-crazy.
Cukuplah petinggi negeri ini yang “cacat”. Tugas kita sebagai mahasiswa, bagaimana membangun kondisi yang kondusif dan mereduksi kekeliruan petinggi negeri dengan cara yang cerdas. Tindak kekerasan bukanlah solusi tepat.  Jangan menjadi mahasiswa kampungan yang hanya bisa berkoar-koar tanpa maksud yang jelas. Tinggalkan parokialisme. Bangunlah budaya partisipan.
Coba analogikan. Negara ini kita ibaratkan sebagai sebuah keluarga besar. Para koruptor anggaplah sebagai orang tua, sedangkan kita (mahasiswa) sebagai anak yang banyak jumlahnya. Jika orang tua kita tengah stres dan perilakunya menyimpang dari Undang-Undang, kita jangan ikut merengek-rengek atau mengacau terhadap mereka. Bukan solusi yang kita dapat, melainkan bentakan beruntun dari mereka. Walau mereka salah, jangan lawan dengan kekerasan. Berusahan bersikap bijak dalam menghadapi persoalan. Teguran boleh kita layangkan, tetapi jangan dibarengi dengan aksi kekerasan. Ada pepatah mengatakan, api akan semakin berkobar jika dilawan dengan api, sebaliknya api hanya dapat dipadamkan oleh air. Seperti itu pula negara ini. Sebagai mahasiswa, jadilah warga negara yang santun. Partisipasi sangat perlu. Tapi partisipasi yang diperlukan adalah partisipasi yang berdasarkan kesadaran, bukan karena dorongan pihak tertentu dan bukan pula karena ikut-ikutan.
Unjuk rasa atau demonstrasi sah-sah saja dilakukan, asal berdasarkan kode etik. Perlihatkan bahwa mahasiswa adalah generasi cerdas dan santun dalam menyuarakan pendapat, sehingga ada perbedaan antara mahasiswa dan masyarakat awam pada umumnya. Dapat dibedakan mana yang intelek dan mana yang parokial. Jadilah panutan dalam masyarakat.  Sebisa mungkin, hindari segala bentuk kekerasan dan ketidak-etisan. Jangan jadi mahasiswa “cerewet” yang kerjanya hanya memprotes kebijakan pemerintah. Tunjukkan keintelektualan kita. Ada baiknya kita menerapkan slogan salah satu iklan “talk less do more”. Jangan cuma banyak bicara. Buatlah keputusan sebijak mungkin sebagai solusinya. Ingat! Kita mahasiswa, bukan tukang bakar ban atau bukan penjual obat yang hanya berkoar-koar disepanjang jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

x_3badcda6