http://winest-wirmayani.blogspot.com/2013/04/budaya-galau-mahasiswa-vs-tipologi-dosen.html

Rabu, 30 Oktober 2013

Dua Bulan Penuh Misteri: Sisi Lain KKN


Dua Juli dua ribu tiga belas, menjadi salah satu hari bersejarah dalam kehidupan akademikku. Hari dimana aku merasa bahwa aku telah matang menjadi mahasiswa. Hari dimana aku untuk pertama kalinya berhadapan dan terjun langsung dalam masyarakat sebagai bentuk pengabdian. Rasa bangga itu tak dapat dielakkan, senang sekali rasanya bisa mengabdi pada masyarakat desa, serasa menjadi Pengajar Muda di Indonesia Mengajar.
Dua bulan. Ya, tepat sekali! Siapa bilang dua bulan itu waktu yang singkat. Tidak. Bagiku, dua bulan adalah waktu yang begitu panjang, apalagi tinggal bersama rekan-rekan sesama mahasiswa KKN yang belum saling mengenal satu sama lain. Disinilah kekompakan kami diuji, bagaimana menjalin hubungan kerjasama tim yang baik agar seluruh program kerja dapat berjalan sesuai harapan. Yang namanya belum kenal, pastilah ada hal yang mengganjal, tak seperti kerabat atau sahabat yang telah kita kenal sebelumnya. Mengutip kata pepatah, “tak kenal maka tak sayang”. Itulah yang terjadi. Aku kerap pesimis dengan mereka yang belum kupahami karakternya. Kerap kali aku mengeluh, “Oh God, kenapa aku ditempatkan seposko dengan makhluk-makhluk seperti ini”. Begitulah. Tapi, itu dalam dimensi pesimistik yang didominasi oleh egoku. Tak dapat dipungkiri, dengan berkumpul bersama mereka, ada suatu optimisme, ada semacam motivasi yang saya dapatkan, walau itu bukan langsung datangnya dari mereka. Ada suatu hal yang selama ini kutentang, sampai akhirnya aku sadar sendiri, bahwa disanalah letak dan sumber motivasi itu.

Selama dua bulan berjalan, pergolakan diantara kami berempat kerap terjadi. Perbedaan term of reference juga field of experience membuat kami sering terlibat konflik. Tapi, berkat manajemen yang baik, serta dibumbui oleh rasa-rasa yang entah apa sebutannya itu, akhirnya rekonsiliasi konflik terjadi dan itu menyebabkan hubungan kami menjadi dekat. Ada semacam hubungan timbal balik diantara kami berempat. Mulai dari observasi, lokakarya desa untuk penentuan program kerja, hingga pelaksanaannya selalu dibumbui aneka rasa. Kadang menyenangkan, ada pula menjengkelkan hingga menyedihkan. Aku pun pernah mengalami semuanya, hingga suatu ketika aku bersyukur kepada Tuhan YME telah menempatkanku seposko dengan mereka. Dibalik kesedihan, selalu saja ada tawa yang menggema. Ada suatu kesedihan mendalam pasca KKN, tapi mungkin hanya aku yang merasakannya.
Ketika itu, aku duduk sendirian di Kantor Desa ditemani laptop, sebuah diary biru, MP3, buku Bhagawadgita dan pastinya camilan tak pernah ketinggalan. Aku mengelaborasi semuanya, mengeksplor semua kejenuhan yang kutuangkan dalam goresan pena pada diary biruku. Bhagawadgita hijau itu bagai basis kekuatanku, mereduksi jiwaku yang perlahan rapuh, menguatkan pikiranku dari terlampau jenuhnya aku saat itu. Pada saat yang bersamaan, aku serasa memperoleh suatu jawaban riil tentang penyebab kegalauanku tiga hari berturut-turut kemarin. Walau aku sudah menemukan jawabannya dan nuraniku berkata benar, tapi egoku tetap merajai pikiranku hingga aku tak sanggup menerima kenyataannya. Arghhh. Aku menggerutu. Kenapa ya perasaan itu muncul? Bagaimana bisa? Mengapa harus dia? Apa yang menyebabkan? Sederet Tanya itulah yang kutanyakan dengan hatiku. Kalau sudah begini, maka terlalu sulit bagiku untuk menghapusnya. Melenyap-bersihkan perasaan seperti ini memang membutuhkan waktu yang lama. Makanya, sebisa mungkin aku selalu menghindari hal-hal semacam ini, karena aku tahu benar betapa sulitnya aku untuk menghapusnya. Inilah yang kunamai CINTA, walau aku sendiri pun sulit mendefinisikannya.
Sering kali aku menyendiri, mencari tempat asing dan aman bagiku untuk sekedar rehat dari perasaan-perasaan itu. Aku khawatir, jika terlalu lama bersamanya, aku takut perasaan itu makin menjadi, hingga akhirnya aku memutuskan untuk menjauh, menghindar dari jangkauannya. Di lain sisi, aku selalu ingin melihat raut wajahnya, tapi sekali lagi, aku tetap bersikukuh menahan diri. Menanyakan kabar lewat cara sesederhana SMS pun aku enggan. Bukannya berniat sombong, bukan sama sekali. Aku hanya ingin, agar aku tak terlalu terbawa dalam perasaan aneh itu.
Kini, semuanya telah berlalu, walau ada segelintir hal yang tak dapat dilewatkan begitu saja. Dua bulan adalah waktu yang panjang. Dua bulan yang mengandung keajaiban. Dari totalitas kebencian, bisa menumbuh-suburkan rasa cinta. Sayang, cinta itu datangnya tiba-tiba dan tanpa permisi. Seandainya saja dia pamit dulu sebelum menguasai hatiku, pasti hal ini gak bakal terjadi. Aku berharap suatu ketika aku bertemunya kembali, dalam waktu yang kurang dari dua puluh menit. I hope it.

2 komentar:

  1. huahahahaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa sepanjang tulisanmu, puas saya ketawa. akhirnya kau mengakuinya lebih dari yang kau ceritakan. HEBAT! dan Doaku, semoga kau bertemu dengannya lebih lama lagi dari yg kau harapkan. huahahahhahahahahhahahahahahahaha paragraf awal, saya berpikir kalau tulisanmu mengarah ke pendidikan dan yaaaaa sesuai dgn dimana bhs formalmu seharusnya berada. Tapi, paragraf selanjutnya, saya merasa kau adalah titisan vikynisasi zaskiatik. hhahahaahaha dan yang terakhir, 10000000000000000000 jempol untukmu,,,,, kau kayak pujangga :P (Y)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sial. Ada aja makhluk kepolisasi kek loe.
      enough..
      hanya kita bertiga yang tau + Tuhan :)

      Hapus

x_3badcda6