Seekor ayam baru saja menetaskan
telurnya. Menjadilah beberapa ekor anak ayam yang lucu dan juga pintar. Mereka
dituntun oleh sang induk untuk mengenal kehidupan, mencari makan, hingga
membela diri bahkan berlindung tatkala ada bahaya mendekat. Begitu akrabnya
keluarga ayam ini, selalu ada canda gurau disetiap langkah mereka. Sang induk pun
tak henti-hentinya menuntun anaknya, kelak bisa ia andalkan dan bisa meneruskan
cita-citanya.
Seiring waktu berlalu, anak-anak
ayam itu mulai tumbuh. Ia tak lagi seperti dulu sewaktu masih kecil. Mereka
ingin menemukan jati dirinya, mengeksplorasi segala potensinya, tanpa
berpatokan dengan segala peraturan yang seolah telah disusun secara sistematis
oleh sang induk. Disitulah hubungan famili itu mulai renggang.
Dari kesenjangannya dengan Sang
Induk, anak-anak ayam ini sebenarnya menyimpan suatu hal layaknya hubungan
keluarga, ada aspek yang tak mungkin dipisahkan. Suatu kekeliruan memang jika
anak-anak ini terkesan menentang induknya. Tapi, dilain sisi anak-anak ini juga
mempunyai hak asasi, punya hak berpendapat, bertindak dan juga hak untuk
berkembang. Mulailah mereka satu per satu berkelana, hingga masih beberapa ekor
saja yang masih bersama Sang Induk.
Kepergian anak-anaknya serta
perilakunya yang terkesan menentang,
tak dapat dipungkiri jika kekecewaan itu begitu nyata terlihat dalam diri sang induk. Beberapa anaknya yang sangat dibanggakan kini perlahan menjauh darinya. Anak yang ia asuh sedari kecil, kini berbalik arah. Tak lagi berkiblat pada induknya. Dengan kondisi yang demikian, Sang Induk terpaksa meng-emas-kan beberapa anak yang masih bersamanya, walau sebenarnya anak-anak itu jauh terbelakang dibandingkan dengan anak-anaknya yang telah melanglang buana.
tak dapat dipungkiri jika kekecewaan itu begitu nyata terlihat dalam diri sang induk. Beberapa anaknya yang sangat dibanggakan kini perlahan menjauh darinya. Anak yang ia asuh sedari kecil, kini berbalik arah. Tak lagi berkiblat pada induknya. Dengan kondisi yang demikian, Sang Induk terpaksa meng-emas-kan beberapa anak yang masih bersamanya, walau sebenarnya anak-anak itu jauh terbelakang dibandingkan dengan anak-anaknya yang telah melanglang buana.
Begitulah hari-harinya saat ini. Terkesan
cuek dan seolah telah mengikhlaskan kepergian anak-anak emasnya. Tapi, hubungan
famili itu tidak bisa terlepas begitu saja. Dengan yakin seyakin-yakinnya,
dilubuk hati terdalam Sang Induk masih menyimpan harapan kelak anak-anaknya
yang kini telah dewasa dan semakin menampakkan kecerdasannya itu, bisa
berkumpul kembali, menjadi sebuah keluarga utuh yang memancarkan kedamaian. Walau
dalam kesehariannya Sang Induk seakan menunjukkan sifat egoisnya dan seolah
menyimpan dendam pada anak-anaknya. Mungkin itulah representasi dari
kekecewaannya selama ini. Bahkan, seolah pintun maaf sudah tertutup darinya.
Lain halnya dengan sang anak,
beberapa kali mereka mencoba untuk meminta maaf, tetapi diacuhkan begitu saja. Bahkan
jika ada sesuatu yang berhubungan dengan Sang Induk, anak-anak ini seakan
dipersulit. Inilah kemudian yang membakar api kebencian antarkeduanya. Dua komponen
itu bertahan atas pendapatnya sendiri. Tak ada yang mau mengalah. Semua menganggap
diri paling benar.
Ketahuilah, kekerasan (sikap dan
perilaku) tidak akan menjadi penyelesaian bagi kebaikan. Jika yang dihadapi
adalah sebuah kekerasan, maka luluhkanlah dengan kegumpal kelembutan. Seperti yang
dilakukan oleh anak-anak ayam ini, mereka akan selalu memancarkan kelembutan
ditengah kekecewaan induknya yang berujung pada keegoisan. Kelak sang anak
yakin, mereka akan kembali menjadi satu keluarga yang utuh dan konflik ini
niscaya menjadi agen pendewasaan dan juga mempererat hubungan kekeluargaan.
Semoga dalam waktu sesingkatnya,
anak ayam ini mampu meluluhkan hati Sang Induk dan hidup bersatu dalam jalinan
kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar