http://winest-wirmayani.blogspot.com/2013/04/budaya-galau-mahasiswa-vs-tipologi-dosen.html

Senin, 28 Januari 2013

Kerinduan Besar Sang Anak untuk Berdamai


Seekor ayam baru saja menetaskan telurnya. Menjadilah beberapa ekor anak ayam yang lucu dan juga pintar. Mereka dituntun oleh sang induk untuk mengenal kehidupan, mencari makan, hingga membela diri bahkan berlindung tatkala ada bahaya mendekat. Begitu akrabnya keluarga ayam ini, selalu ada canda gurau disetiap langkah mereka. Sang induk pun tak henti-hentinya menuntun anaknya, kelak bisa ia andalkan dan bisa meneruskan cita-citanya.
Seiring waktu berlalu, anak-anak ayam itu mulai tumbuh. Ia tak lagi seperti dulu sewaktu masih kecil. Mereka ingin menemukan jati dirinya, mengeksplorasi segala potensinya, tanpa berpatokan dengan segala peraturan yang seolah telah disusun secara sistematis oleh sang induk. Disitulah hubungan famili itu mulai renggang.
Dari kesenjangannya dengan Sang Induk, anak-anak ayam ini sebenarnya menyimpan suatu hal layaknya hubungan keluarga, ada aspek yang tak mungkin dipisahkan. Suatu kekeliruan memang jika anak-anak ini terkesan menentang induknya. Tapi, dilain sisi anak-anak ini juga mempunyai hak asasi, punya hak berpendapat, bertindak dan juga hak untuk berkembang. Mulailah mereka satu per satu berkelana, hingga masih beberapa ekor saja yang masih bersama Sang Induk.
Kepergian anak-anaknya serta perilakunya yang terkesan menentang,
tak dapat dipungkiri jika kekecewaan itu begitu nyata terlihat dalam diri sang induk. Beberapa anaknya yang sangat dibanggakan kini perlahan menjauh darinya. Anak yang ia asuh sedari kecil, kini berbalik arah. Tak lagi berkiblat pada induknya. Dengan kondisi yang demikian, Sang Induk terpaksa meng-emas-kan beberapa anak yang masih bersamanya, walau sebenarnya  anak-anak itu jauh terbelakang dibandingkan dengan anak-anaknya yang telah melanglang buana.
Begitulah hari-harinya saat ini. Terkesan cuek dan seolah telah mengikhlaskan kepergian anak-anak emasnya. Tapi, hubungan famili itu tidak bisa terlepas begitu saja. Dengan yakin seyakin-yakinnya, dilubuk hati terdalam Sang Induk masih menyimpan harapan kelak anak-anaknya yang kini telah dewasa dan semakin menampakkan kecerdasannya itu, bisa berkumpul kembali, menjadi sebuah keluarga utuh yang memancarkan kedamaian. Walau dalam kesehariannya Sang Induk seakan menunjukkan sifat egoisnya dan seolah menyimpan dendam pada anak-anaknya. Mungkin itulah representasi dari kekecewaannya selama ini. Bahkan, seolah pintun maaf sudah tertutup darinya.
Lain halnya dengan sang anak, beberapa kali mereka mencoba untuk meminta maaf, tetapi diacuhkan begitu saja. Bahkan jika ada sesuatu yang berhubungan dengan Sang Induk, anak-anak ini seakan dipersulit. Inilah kemudian yang membakar api kebencian antarkeduanya. Dua komponen itu bertahan atas pendapatnya sendiri. Tak ada yang mau mengalah. Semua menganggap diri paling benar.
Ketahuilah, kekerasan (sikap dan perilaku) tidak akan menjadi penyelesaian bagi kebaikan. Jika yang dihadapi adalah sebuah kekerasan, maka luluhkanlah dengan kegumpal kelembutan. Seperti yang dilakukan oleh anak-anak ayam ini, mereka akan selalu memancarkan kelembutan ditengah kekecewaan induknya yang berujung pada keegoisan. Kelak sang anak yakin, mereka akan kembali menjadi satu keluarga yang utuh dan konflik ini niscaya menjadi agen pendewasaan dan juga mempererat hubungan kekeluargaan.
Semoga dalam waktu sesingkatnya, anak ayam ini mampu meluluhkan hati Sang Induk dan hidup bersatu dalam jalinan kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

x_3badcda6