Akhir-akhir ini, di media massa seolah tak henti-hentinya
tersiar betapa bobroknya karakter peserta didik di Indonesia saat ini. Bukan
hanya menjadi berita biasa, bahkan menjadi headline dan top of the top
diberbagai media. Ada apa gerangan dengan dunia pendidikan kita yang notabene
sebagai pencetak generasi yang intelektual dan berkarakter yang kini menjadi
sorotan publik? Inikah luaran dari pendidikan yang telah memasukkan unsur media
pembelajaran berbasis internet yang bisa diakses peserta didik secara bebas? Dimana
letak kekeliruan sehingga kasus-kasus kekerasan yang kerap kali melibatkan
siswa ini terjadi? Adakah kurikulum yang seharusnya direvisi agar dapat
mencegah atau meminimalisir terjadinya kasus kekerasan hingga menelan korban
jiwa?
Ya, pendidikan adalah sesuatu yang bersifat vital.
Pendidikan sebagai aset dan investasi bangsa yang kemudian menjadi indikator
kemajuan suatu bangsa. Jika pendidikannya berkualitas dan kompetitif saja,
itupun belum cukup. Etikalah kemudian yang menjadi salah satu faktor penentu,
berhasil atau tidaknya seseorang ditengah masyarakat, bangsa dan negara. Ini
artinya, pendidikan bukan hanya sebagai produsen generasi yang cerdas secara
akademik, terlebih harus cerdas pula secara emosional. Faktor kekurangcerdasan
emosional inilah yang menodai dunia pendidikan saat ini dengan banyaknya
rentetan kasus kekerasan yang dilakukan oleh siswa bahkan mahasiswa.
Jika ditanya inikah luaran dari pendidikan? Jawabannya
tentu bukan. Pendidikan di Indonesia yang berbasis Pancasila, tidak pernah
mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan konstitusi negara. Pendidikan
Indonesia bertugas mendidik dan membina peserta didik agar menjadi generasi
yang intelektual dan bermartabat yang mampu berkompetisi dalam skala global
untuk memajukan kesejahteraan bangsa. Seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD
1945,
tujuan Negara Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sebagai konstitusi, semua sendi hukum dalam lingkup NKRI merujuk pada UUD 1945 yang merupakan sumber hukum tertinggi, termasuk pendidikan. Olehnya, produk pendidikan semestinya berazaskan pada tujuan negara yang tertuang dalam batang tubuh RI.
tujuan Negara Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sebagai konstitusi, semua sendi hukum dalam lingkup NKRI merujuk pada UUD 1945 yang merupakan sumber hukum tertinggi, termasuk pendidikan. Olehnya, produk pendidikan semestinya berazaskan pada tujuan negara yang tertuang dalam batang tubuh RI.
Lalu, mengapa kekerasan masih saja terjadi di lingkup
pendidikan? Belakangan ini, pelajar diberbagai wilayah tengah bergejolak.
Mereka seolah kehilangan kendali. Seperti yang tersiar di media massa, dua
pelajar hingga meninggal dunia oleh peristiwa tawuran yang terjadi antarsekolah
beberapa waktu lalu. Sungguh memperihatinkan. Jika yang mengenyam pendidikan
saja bertingkah seperti itu, bagaimana dengan tidak menyentuh bangku pendidikan
sama sekali.
Mengenai motif, peristiwa tawuran dikalangan pelajar
umumnya dipicu oleh permasalahan antarpribadi yang kemudian meluas pada ranah
kelompok hingga melibatkan unsur sekolah yang berimplikasi balas dendam. Disini, peran strategis pihak sekolah perlu
dipertegas, bagaimana menjadi fasilitator dan mediator dalam penyelesaian
konflik. Pihak sekolah juga mestinya lebih tanggap dan peka terhadap setiap
isu-isu yang terjadi dalam lingkup sekolah yang dapat memicu konflik lebih luas
apabila tidak ditangani sejak dini.
Berlanjut pada media pembelajaran. Era digitalisasi saat
ini mulai meluas dalam lingkup pendidikan. Media pembelajaran yang dulu hanya
menggunakan buku manual, kini hampir secara keseluruhan menerapkan sistem
digital. Buku yang berupa lembaran kertas tebal, kini disulap menjadi buku elektronik
yang bersifat mobile, fleksibel dan mudah diakses dimana saja. Terlebih lagi
dengan hadirnya internet yang sangat mendongkrak kemajuan pendidikan melalui
teknologinya dalam bidang informasi dan komunikasi. Jika ini kemudian dikatakan
sebagai penyebab merosotnya moral pelajar, sesungguhnya bukanlah sesuatu hal yang
objektif. Media pembelajaran berfungsi untuk memperluas khasanah cakrawala
berpikir peserta didik, bukan untuk hal-hal yang dapat menodai bahkan kemudian
menyebabkan lunturnya kearifan pelajar. Disinilah peran orang tua sangat
diperlukan mengingat rentang usia yang duduk dalam pendidikan menengah berada
dalam tahap transisi untuk menemukan jati diri mereka yang umumnya masih labil.
Jika guru mendidik dan membimbing dalam konteks sekolah, maka orang tua harus
mendidik, membimbing, membina dan memberikan pengarahan dalam lingkup keluarga
dan sosial masyarakat dengan pendekatan yang sesuai.
Lantas, bagaimana dengan kurikulum pendidikannya? Kurikulum pendidikan dibawah naungan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), baik itu dalam tataran
pendidikan dasar, pendidikan menengah atau pendidikan tinggi, bidang studi
berbasis moral selalu dimasukkan kedalam kurikulum yang tercakup diantaranya
Pendidikan Agama dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Dua bidang studi
ini beresensi menekankan aspek moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Tapi dalam aplikasinya, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaan
justru lebih banyak mempelajari tentang sejarah dan beberapa unsur yuridis juga
termuat didalamnya. Seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang
mempelajari Masyarakat Madani, HAM, Otonomi Daerah dan sebagainya. Mengapa
bukan dititikberatkan pada aspek moral saja, yang dapat membentuk kepribadian
bangsa. Memang, pengetahuan tentang bela negara dan kedaulatan NKRI sudah
semestinya diketahui dan dipahami oleh tiap peserta didik. Tapi perlu
diketahui, pengetahuan itu akan tertanam baik apabila moralnya juga baik.
Menjadi suatu hal yang penting yang perlu
dipertimbangkan, dengan melihat potret pendidikan saat ini yang sangat
mencekam, memperihatinkan dan rentan terhadap kekerasan, revitalisasi kurikulum
perlu dilakukan. Ada baiknya pendidikan karakter yang merupakan wujud dari pendidikan
kecerdasan emosional,dimasukkan kedalam kurikulum pendidikan secara serentak di
Indonesia. Melalui pendidikan karakter, kepribadian masing-masing peserta didik
akan terbentuk hingga kearifan lokal akan tetap terjaga dan lestari. Tenggang
rasa antar sesama umat beragama, ras, golongan maupun suku akan terjalin
melalui pendidikan harmoni dalam lingkup multikultural. Inilah yang mulai
hilang dalam dunia pendidikan saat ini, yang menjadikan siswa sangat sensitif
dan represif tanpa memiliki basis moral dan kecerdasan emosional yang kuat
sehingga dengan mudah amarah meledak dan tak terkontrol, hingga menelan korban
jiwa.
Tak hanya itu, untuk membentuk generasi emas seperti yang
diharapkan oleh Mendikbud pada perayaan seabad HUT RI mendatang, sinergitas
antara guru, orang tua dan masyarakat harus ditingkatkan dalam melakukan
bimbingan, didikan dan kontrol kepada peserta didik. Dengan ini, kasus
kekerasan serupa tawuran oleh pelajar dapat diminimalisasi, sehingga tercipta
luaran yang cerdas, terampil dan berkarakter sesuai dengan harapan Bangsa
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar