Mahasiswa
kerap disebut sebagai “The Agent of
Change” atau agen pembawa perubahan, begitulah bahasa sederhananya. Mungkin
inilah yang dijadikan oleh kebanyakan mahasiswa gak gaul itu sebagai alat pembenaran untuk melakukan serangkaian
hal yang berbau “perubahan” tapi salah kaprah. Mereka kurang (bahkan tak
mengerti) apa yang dimaksud dengan konotasi “perubahan” yang sebenarnya. The agent of change memang gak salah diidentikan dengan mahasiswa,
bahkan memang begitu seharusnya kepribadian seorang mahasiswa, dengan catatan,
perubahan yang berdampak pada kebaikan. Lantas, kalau dampaknya malah
kebanyakan ketidak-baikannya, gimana?
Nah, itu bukan the agent of change
namanya, tapi belog ajum. Apa sih belog ajum itu? Belog ajum adalah ujaran dalam Bahasa Bali yang artinya kurang
lebih bodoh plus sok. Udah bodoh, sok pula. Walah-walah, benar-benar kultur yang sangat tidak patut untuk
dicontoh apalagi diwariskan.
Ini
dia, perbelog-ajuman kerap terjadi dikalangan
mahasiswa jika ada kebijakan pemerintah yang sedikit kontras dengan kebijakan
yang berlaku sebelumnya. Disinilah biasanya kumpulan-kumpulan mahasiswa gak gaul itu melakukan aksi yang luar
biasa anehnya dengan berbagai motif yang perlu dipertanyakan kejelasannya.
Mereka kerap berorasi yang kadang (bahkan sering) gak jelas apa yang
dimaksudkan. Kalau saya sarankan, mereka itu perlu mempelajari ilmu komunikasi,
agar bisa menyampaikan pesan secara efektif yang kemudian bisa diterima khalayak
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh sang komunikator atau orator tadi.
Bukan dengan acara teriak-teriak (bahkan bercucuran keringat) demi menyuarakan
sesuatu yang gak jelas ujung
pangkalnya.
Mereka
yang sulit dibahasakan sebutannya itu, biasanya terhimpun dalam kelompok-kelompok
tertentu yang hobinya mengkritik (tanpa solusi) kebijakan pemerintah. Secara
tak langsung, mereka-mereka ini menjadi salah satu kelompok penekan (pressure group) dalam kampus, juga tak
salah rasanya jika menyebutnya pula sebagai kelompok radikal. Kelompok-kelompok
aneh yang hanya mengeruhkan dan memusingkan negara. Apalagi dalam waktu dekat
ini, ada isu kenaikan BBM. Nah ini
dia momentum yang paling ditunggu-tunggu para penggiat demo itu.
Mereka rela (dengan sepenuh jiwa raga) mensettting agenda demo yang hendak dilakukan pada hari H. Mereka mengaku sosok sosialis (mungkin sok sosialis), yang ingin membela hak-hak rakyat jelata dan kaum tertindas. Jika itu adanya, oke, itu sebuah tindakan mulia dan pantas diacungi seribu jempol. Tapi, ini sangat jauh berbeda dari kenyataan. Mereka-mereka yang belog ajum itu kerap melakukan demo tanpa menguasai isu-isu yang ada. Gak percaya? Coba tanya kebeberapa massa dalam suatu aksi, atau nggak, tanya langsung aja ke orator yang sok pemimpin itu, pasti mereka akan menjawab ngalor-ngidul dengan beraneka kerancuan. Tak jarang, mereka kerap melakukan tindak anarkis seperti perusakan terhadap beberapa infrastruktur negara hingga berimbas pada perseteruan dengan aparat keamanan. So, masihkah itu dalam kapasitas the agent of change?
Mereka rela (dengan sepenuh jiwa raga) mensettting agenda demo yang hendak dilakukan pada hari H. Mereka mengaku sosok sosialis (mungkin sok sosialis), yang ingin membela hak-hak rakyat jelata dan kaum tertindas. Jika itu adanya, oke, itu sebuah tindakan mulia dan pantas diacungi seribu jempol. Tapi, ini sangat jauh berbeda dari kenyataan. Mereka-mereka yang belog ajum itu kerap melakukan demo tanpa menguasai isu-isu yang ada. Gak percaya? Coba tanya kebeberapa massa dalam suatu aksi, atau nggak, tanya langsung aja ke orator yang sok pemimpin itu, pasti mereka akan menjawab ngalor-ngidul dengan beraneka kerancuan. Tak jarang, mereka kerap melakukan tindak anarkis seperti perusakan terhadap beberapa infrastruktur negara hingga berimbas pada perseteruan dengan aparat keamanan. So, masihkah itu dalam kapasitas the agent of change?
Demo
sah-sah saja, tapi komunikasikan dengan cara yang santun dan bijak. Pemerintah gak butuh mahasiswa yang jago koar-koar
atau yang jago rusuh. Negara kita, Republik Indonesia ini butuh pemuda-pemudi
berkarakter, butuh mahasiswa yang cerdas yang mampu menjadi problem solver, bukan malah jadi trouble maker. Alangkah baiknya jika
demo dilakukan dengan harmoni, dengan jelas, cerdas, lengkap dengan segenap
solusi sebagai problem solving-nya.
Itu baru dinamakan the agent of change.
Itulah mahasiswa sesungguhnya sebagaimana yang diinginkan oleh leluhur bangsa
ini. Jika ada diantara Anda yang sedang membaca tulisan ini punya kegemaran
berdemo rusuh, tolong segera hentikan hobi anehmu. Itu tidak akan membawa
kebaikan. Coba pahami Tat Twam Asi.
Sebuah ajaran tentang refleksi diri. Review
diri Anda! Bagaimana jika Anda berada di posisi pemerintah? Sosok mahasiswa
bagaimana yang Anda butuhkan? Sukakah Anda didemo tanpa solusi, tanpa ada
kontribusi untuk kebaikan? Sekali lagi, jangan karena ingin dilihat jago,
dilihat pemimpin, lalu rela menjual harga diri dengan sebuah tindakan belog ajum. Ayo, mari bergotong-royong, tolong
pemerintah kita yang tengah galau ini. Bantu mereka dengan solusi-solusi cerdas.
Jangan menambah porsi kegalauannya. Salam mahasiswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar