Galau.
Ya, lima huruf yang terangkai dalam satu kata ini, menjadi trending word dalam setiap perbincangan para remaja, alay, pemuda,
dan berbagai jenis kaum lainnya. Kata sederhana ini mengandung makna yang
jamak, yang ajaibnya bisa dipadankan dengan berbagai kata. Hingga tak heran,
apabila kata ini kerap dipakai untuk melukiskan perasaan dan kondisi hati
seseorang yang tengah dilema, resah, gelisah, gundah, pokoknya perasaan yang
masih kena family dengan resah
gelisah itulah.
Tak
terkecuali di kalangan mahasiswa. Ini dia, mahasiswa memang rada aneh. Saya
menyadari itu (eike aktor galau juga coy). Kegalauan dalam lingkup mahasiswa
disebabkan oleh berbagai hal, baik yang nyata (skala) maupun yang abstrak
(niskala). Tapi, disini saya akan membahas kegalauan yang asal muasalnya
bersumber dari tugas-tugas akademik. Yups,
mahasiswa atau yang pernah jadi mahasiswa pasti ngerti dengan galau laten satu ini.
Baiklah,
saya akan memulai menguraikan tipologi kegalauan akan tugas-tugas itu. Sebagai
seorang mahasiswa yang baik, kita harus masuk perkuliahan sesuai dengan waktu
yang tertera dalam KRS. Dengan semangat empat lima ke kampus, kadang ngebut di
jalanan juga sudah menjadi kebutuhan tatkala waktu kuliah sudah mepet, apalagi
dosennya tipe chiller. Wow, jalanan
sudah seperti cross area, tampaknya
itu sudah dihalalakan otomatis oleh mahasiswa. Nah, setibanya di kampus, tepat
waktu pula, setelah sebelumnya ngebut bak Valentino Rossi di jalan, tapi
dosennya gak masuk, cuma nitip
oleh-oleh tugas yang disampaikan oleh asistennya. Jleb!! Rasanya ingin nyakar tembok dan nelan batako. Biasanya dalam
kondisi galau model ini, si dosen yang bersangkutan telah mendapat label khusus
dari rembukan dan curahan hati miris para mahasiswa yang telah
ditelantarkannya. Alangkah hancurnya perasaan ini, datang cepat-cepat, ngebut,
toh akhirnya dosen tidak masuk tapi memberi tugas. Absurd, bukan?
Yo wes lah,
apa boleh buat, positive thinking aja. Kerjakan aja tugas-tugas yang
diberikan, agar raut wajahnya yang sudah rada keriput itu tidak tambah kusut,
yang kepalanya sudah botak tengah,
agar tak totalitas mengalami kebotakan. Doa
agar dosen tipe begini cepat pensiun, kerap terdengar dari tiap alunan bait doa
mahasiswa yang teraniaya dalam kapasitas perasaan. Kalau galau model begini,
menurut hemat saya, itu masih dalam taraf kewajaran. Ya, iya! wajar aja mahasiswa menderita kegalauan jika
tidak ada korelasi antara dosen dan mahasiswanya.
Nih,
ada lagi tipe galau mahasiswa karena tugas. Kalau ini beda lagi variabelnya.
Dia galau karena tugasnya terlalu banyak. Mata kuliah ini lah, mata kuliah itu lah,
keduanya bahkan ketiga-tiganya, atau lebih miris lagi keempat-empat mata
kuliahnya secara bersamaan terdapat tugas. Waduh, seandainya tak berpotensi
dosa, ingin rasanya mengelus botak dosen-dosen itu dengan keyboard atau bahkan ingin rasanya jiwa ini mengosok keriputnya
dengan mouse. Galauers ini biasanya mengerjakan tugas sambil terhubung di akun
jejaring sosial, lalu mencurahkan totalitas isi hatinya ke berbagai akun
jejaring sosial yang dimilikinya. Tugas demi tugas akhirnya bisa terselesaikan
sesuai dengan tengat waktu yang ada, walau diwarnai dengan omelan dan ocehan
oleh karena galau akan banyaknya tugas yang berbentuk makalah dan analisa.
Itulah ajaibnya tengat waktu atau deadline, disini akan memunculkan berbagai
keanehan yang tak terprediksi sebelumnya. Ini yang disebut “the power of kepepet”. Masih menyangkut
tentang kegalauan tugas ini, ada seorang dosen saya yang dikenal memiliki
selera humor tinggi berujar “kalau mau sedikit tugas, program saja satu mata
kuliah, saya yakin dalam seminggu tugasmu pasti cuma satu. Atau tidak, kalau
mau tidak ada tugas, cuti saja dulu selama beberapa semester, kan masih ada
semester-semester selanjutnya”. Gubrak!!! Sungguh sangat sederhana, tapi dalam
makna.
Dengan
ini saya mendeklarasikan diri (semoga diikuti mahasiswa-mahasiswa lain), bahwa
apapun tugasnya, bagaimanapun bentuknya, kerjakan saja dengan ikhlas, positive thinking aja, pasti itu
berdampak bagi kualitas diri kita kok. Buat dosen-dosen yang sudah bosan dan
sudah tak layak jadi dosen, ya udah, cepat-cepatlah
pensiun, atau jika perlu, pensiun sebelum waktunya itu bahkan lebih baik. Buat
apa punya dosen tapi gak pernah masuk
mengajar, cuma bisa beri tugas doang.
Indonesia butuh pengajar dan butuh
pendidik yang memang punya kapasitas, kapabilitas dan kualitas dalam mengajar
dan mendidik. Jadi, jika ada diantara Bapak/Ibu Dosen yang terhormat yang
sedang membaca tulisan ini, atau kerabat dari dosen yang kurang (tidak)
memiliki jiwa pengajar dan pendidik itu, tolong sampaikan padanya agar
cepat-cepatlah mengundurkan diri jadi dosen, sebelum membludaknya mahasiswa
yang tergalaukan akibat itu dan sebelum kualitas peserta didik Indonesia
anjlok. Sampaikan pula salam hangat dan hormat saya kepadanya. Jaya Guru
Pengajian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar