Demonstrasi
seolah menjadi trend masa kini.
Mungkin salah satu penyebabnya akibat inkonsistensi konsep demokrasi.
Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, kini hanya tinggal sebuah
dongeng. Banyak terjadi penyimpangan. Diranah pemerintahan, seakan tak pernah
lepas dari berbagai skandal yang kemudian menjadi pergunjingan hangat dilingkup
media. Korupsi misalnya. Pemberitaannya tak pernah luput dijagat media. Tak
jarang pula menjadi headline bahkan top of the top. Institusi pemerintahan
menjadi lahan subur bagi tikus-tikus berdasi memijakkan kakinya. Hingga tak
heran, sebagian besar kasus korupsi dilakukan oleh pejabat pemerintah dari
level tinggi hingga Pegawai Negeri Sipil (PNS) sekalipun. Akibatnya, rakyat
kecil semakin tertindas, sedangkan si koruptor sibuk dengan rekening
“gendutnya”.
Skandal
inilah yang kemudian memicu pergerakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
menuntaskan kasus itu. Demonstrasi menjadi pilihan. Dimana-mana terjadi unjuk
rasa. Mahasiswa pun terlibat didalamnya. Aksi protes terhadap kebijakan
pemerintah gencar dilakukan. Tak jarang pula diwarnai aksi anarkis.
Sekarang
ini, penolakan rencana kenaikan harga BBM menjadi isu hangat. Demonstrasi tak
dapat dibendung. Hampir seluruh wilayah di Indonesia turut dalam aksi. Etika
demo sudah mulai diabaikan. Banyak kasus baru yang timbul akibat ketidakpahaman
etika dalam demonstrasi. Perusakan terhadap sarana umum, bentrok dengan aparat
pemerintah, seakan menjadi hal biasa. Padahal, demo semestinya dilakukan dengan
santun, agar aspirasi yang hendak disuarakan didengar oleh pemerintah. Bukannya
malah merusak sarana umum, melempar gedung atau memblokade jalan diiringi
dengan aksi membakar ban. Ini mencerminkan bahwa kecerdasan emosional mahasiswa
masih rendah.
Sebagai
kaum intelektual, sebaiknya tahu dan sadar apa maksud dan tujuan dari kegiatan
yang diikutinya sebelum melakukan demo. Banyak demonstran, khususnya mahasiswa
tidak memahami apa yang ia tengah lakukan. Mereka cuma ikut-ikutan. Tak sedikit
pula yang menjadi korban mobilisasi para aktivis ataupun kelompok kepentingan
untuk turut dalam aksi. Ketidakpahaman inilah yang kemudian menimbulkan tindak
kekerasan. Memang, demo merupakan wujud demokrasi. Tetapi apabila
disalahtempatkan, konsep demokrasi bisa berubah menjadi demo-crazy.
Cukuplah
petinggi negeri ini yang “cacat”. Tugas kita sebagai mahasiswa, bagaimana
membangun kondisi yang kondusif dan mereduksi kekeliruan petinggi negeri dengan
cara yang cerdas. Tindak kekerasan bukanlah solusi tepat. Jangan menjadi mahasiswa kampungan yang hanya
bisa berkoar-koar tanpa maksud yang jelas. Tinggalkan parokialisme. Bangunlah
budaya partisipan.
Coba
analogikan. Negara ini kita ibaratkan sebagai sebuah keluarga besar. Para
koruptor anggaplah sebagai orang tua, sedangkan kita (mahasiswa) sebagai anak
yang banyak jumlahnya. Jika orang tua kita tengah stres dan perilakunya
menyimpang dari Undang-Undang, kita jangan ikut merengek-rengek atau mengacau
terhadap mereka. Bukan solusi yang kita dapat, melainkan bentakan beruntun dari
mereka. Walau mereka salah, jangan lawan dengan kekerasan. Berusahan bersikap
bijak dalam menghadapi persoalan. Teguran boleh kita layangkan, tetapi jangan
dibarengi dengan aksi kekerasan. Ada pepatah mengatakan, api akan semakin
berkobar jika dilawan dengan api, sebaliknya api hanya dapat dipadamkan oleh
air. Seperti itu pula negara ini. Sebagai mahasiswa, jadilah warga negara yang
santun. Partisipasi sangat perlu. Tapi partisipasi yang diperlukan adalah
partisipasi yang berdasarkan kesadaran, bukan karena dorongan pihak tertentu
dan bukan pula karena ikut-ikutan.
Unjuk
rasa atau demonstrasi sah-sah saja dilakukan, asal berdasarkan kode etik.
Perlihatkan bahwa mahasiswa adalah generasi cerdas dan santun dalam menyuarakan
pendapat, sehingga ada perbedaan antara mahasiswa dan masyarakat awam pada
umumnya. Dapat dibedakan mana yang intelek dan mana yang parokial. Jadilah
panutan dalam masyarakat. Sebisa
mungkin, hindari segala bentuk kekerasan dan ketidak-etisan. Jangan jadi
mahasiswa “cerewet” yang kerjanya hanya memprotes kebijakan pemerintah.
Tunjukkan keintelektualan kita. Ada baiknya kita menerapkan slogan salah satu
iklan “talk less do more”. Jangan
cuma banyak bicara. Buatlah keputusan sebijak mungkin sebagai solusinya. Ingat!
Kita mahasiswa, bukan tukang bakar ban atau bukan penjual obat yang hanya berkoar-koar
disepanjang jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar