http://winest-wirmayani.blogspot.com/2013/04/budaya-galau-mahasiswa-vs-tipologi-dosen.html

Sabtu, 26 Maret 2016

Ketika Hidup Memberimu Ratusan Alasan untuk Menangis, Tunjukkan Bahwa Kamu Punya Ribuan Alasan untuk Tersenyum



Sore itu Palu diguyur hujan.  Tumben. Sejauh ini Palu cerah terus.  Hujan yang sebagian anak muda mengidentikkannya dengan keromantisan, agaknya berbeda denganku. Dulu, aku memang bersahabat dengan hujan, tapi semunya berubah ketika negara api menyerang. Oops.. Pria bersajaha yang sangat peduli denganku belakangan ini melarang agar aku tak terlalu dekat dengan hujan. Ia berpotensi membuatku demam yang tentu saja menggelisahkan pria kesayanganku itu. Siapakah dia? Ya, siapa lagi kalau bukan Si Bapak.

Oh iya, waktu itu aku lagi apes-apesnya. Sudah terserang demam, tidak ada orang di rumah, persediaan snack habis, kotak obat tidak tahu disimpan dimana, pulsa amblas dan modem rusak. “Hmm.. kelar hidup gue” gumamku dalam hati. Mau tidak mau, dengan menggunakan mantel ekstra tebal, masker, kaos kaki, celana panjang yang disusun dua lapis, aku meraih payung pelangi yang berdiameter cukup lebar dan pergi ke kios depan rumah untuk membeli sejumlah kebutuhan. Seandainya ada pulsa, aku mungkin bisa meminta pertolongan kepada sahabat ataupun tetanggaku. Tapi apalah dayaku, mereka semua seolah kompak tak berfungsi pada saat-saat kritis seperti saat itu.
Sesampainya di kios, aku membeli minuman cokelat serbuk yang akan kuseduh dan mungkin bisa membuat tubuhku berkeringat. Tak lupa juga aku membeli obat demam, pulsa, beserta snack seadanya. Beginilah kalau jauh dari orang tua dan tak ada siapa-siapa di rumah. Ngenes. Mungkin ini semua yang dikhwatirkan oleh Ibuku sehingga ia tak pernah merestuiku untuk pergi bekerja atau kuliah di luar kota.

Aku meraih kembali payungku yang semula kuletakkan di beranda kios. Aku berjalan tertatih-tatih melawan pergolakan dalam tubuhku. Kemudian perhatianku tertuju pada empat orang anak berpakaian serba panjang. Tiga perempuan dan satu laki-laki. Mereka kehujanan sepulang dari mengaji. Mungkin karena efek demam dan juga rintik hujan yang deras, suaraku jadi tak terlalu keras sehingga mereka tak mendengar panggilanku. Sambil mempercepat langkahku, aku mengulang memanggilnya hingga akhirnya mereka mendengar suaraku. Aku menginstruksikan mereka berempat agar berlindung di payungku. Mereka mengiyakan, walau kami belum saling mengenal. Aku menuntunnya ke tempat tinggalku dan berteduh disana, sebab kondisiku tak memungkinkan untuk mengantar mereka satu per satu ke rumahnya. Setidaknya, mereka bisa berteduh dan tidak kehujanan di jalan. Aku tahu benar, bagaimana paniknya orang tuaku jika anaknya sakit. Begitu juga aku jika dalam keadaaan sakit, betapa tidak mengenakkannya, seperti demamku saat itu.

Beruntung tadi aku membeli sejumlah minuman coklat serbuk, jadi cukup juga untuk mereka. Aku menghampirinya di teras yang sebelumnya telah aku instruksikan untuk beristirahat disana. Sambil menyerahkan empat cangkir Milo hangat dan sejumlah makanan ringan untuk mereka, aku menanyakan apakah mereka punya nomor telepon orang tua yang bisa aku hubungi. Dua dari mereka hafal nomor telepon orang tuanya, sedangkan yang dua lainnya menyatakan tidak tahu, akan tetapi orang tua mereka saling mengenal. Lalu aku hubungi kedua orang tua mereka jika anak mereka ada bersamaku. Tak lupa aku beritahukan alamatku yang letaknya juga tak begitu jauh dari kediaman mereka. Orang tuanya menanyakan identitasku. Aku bisa menangkap kewaspadaannya. Belakangan ini memang sering tersiar kabar banyak terjadi kekerasan terhadap anak. Wajar jika mereka berhati-hati kepada orang yang belum dikenalnya. Setelah aku beritahu identitasku, mereka berterima kasih kepadaku dan mengatakan akan segera menjemput anak mereka.

Aku berbincang-bincang kepada mereka. Kami mengenalkan diri satu per satu. Mereka duduk di bangku kelas empat dan lima Sekolah Dasar. Tak jarang juga terdengar canda tawa diantara kami. Aku berusaha tampak sesehat dan seceria mungkin agar mereka merasa berkawan dan merasa diperhatikan. Aku melihat diriku sewaktu kecil dari mata mereka. Ya Tuhan, beginilah aku sewaktu kecil. Suka main hujan-hujanan, bermain hingga lupa waktu, menarik ingus tanpa rasa jaim. Betapa ringan dan polosnya jadi anak-anak. Aku tersenyum lebar kepada mereka. Aku juga ingat ketika terjebak hujan sepulang dari les saat SD. Saat itu aku lapar, sedangkan rumah masih jauh dan malu singgah berteduh di rumah orang yang tak dikenal. Lalu, apa bedanya aku dengan mereka? Mungkin mereka merasakan hal yang sama. Sepulang mengaji, pastilah mereka lapar.

Aku berpamitan ke dapur dan meninggalkan mereka berempat di teras. Tak butuh waktu lama buatku untuk membuat nasi goreng sederhana yang hanya berlaukkan telur dadar, potongan sosis serta taburan bawang goreng dan pilus di atasnya. Sebenarnya aku suka selera pedas. Selain itu, sensasi pedas juga bisa membuatku cukup berkeringat bila dalam kondisi demam begini. Akan tetapi mengingat anak-anak itu, aku urungkan niatku dan hanya membuat nasi goreng biasa, tanpa cabai. Aku pun kembali menemui mereka dengan sajian nasi goreng buatanku. Aku mempersilahkan mereka mengambil sendiri makanannya dan tak lupa mengingatkan mereka untuk berdoa sebelum makan. Ternyata dugaanku benar. Mereka lapar, sama sepertiku saat pulang les waktu SD. Mereka dengan lahapnya menyantap nasi goreng sederhana itu dan menambahkannya kembali setelah nasi di piringnya habis. Dalam hati aku merasa sangat bahagia melihat mereka makan begitu lahap. Berebut telur, salah mengambil gelas temannya, saling icip-icip nasi di piring temannya padahal rasanya sama, lomba cepat-cepatan makan and just like that. Ya Tuhan, aku seperti bercermin.

Hingga kami selesai makan, orang tua mereka belum juga menjemputnya. Memang saat itu hari masih hujan. Apa sebegitu yakinnya mereka dengan orang yang belum dikenalnya ini hingga mereka mengulur waktu sedemikian lama untuk menjemput buah hatinya? Sambil menunggu jemputan, kami berbincang-bincang kembali. Tentang sekolah, tempat mengaji, superhero, hingga seputar princess. Tak semuanya kumengerti akan hal yang mereka ceritakan. Terkadang aku hanya ikut-ikutan tertawa walau tak mengerti dimana letak lucunya. Dalam keheningan, salah seorang dari mereka melontarkan tanya kepadaku “kenapa kakak baik sama kita?”. Lalu disambung oleh seorang lainnya: “iyo, kan kak Irma beda agama dengan kita. Kita Islam dan kak Irma Hindu”.

Ya Tuhan, anak-anak adalah fase makhlukMu yang paling polos. Aku tersenyum kepada mereka dan menjelaskan jika kita harus berbuat baik kepada siapa saja. Aku katakan, berbuat baik adalah suatu kewajiban, walaupun tidak saling mengenal. “Kak Irma baik sama kalian karena kita semua bersaudara. Walau beda agama tapi kita sama-sama tinggal di Indonesia. Kita gak boleh pelit. Kita wajib saling tolong menolong. Kak Irma yakin kalian juga anak-anak yang baik. Nah, Kak Irma gak mau anak-anak baik seperti kalian sakit karena hujan-hujanan. Kalian juga sering-sering berbuat baik ya. Berbuat baik itu seru kok” aku mencoba memberi penjelasan kepada mereka.

Sekitar belasan menit setelah itu, satu dari orang tua mereka datang dan disusul oleh orang tua yang satunya. Aku menyambut mereka dengan baik. Mereka berterima kasih kepadaku telah menjaga anak-anaknya. Mereka juga tambah berterima kasih setelah anak-anak itu sambung-menyambung bercerita kepada orang tua mereka jika aku telah menjamu mereka dengan secangkir Milo hangat dan sepiring nasi goreng. Aku hanya tersenyum simpul kepada mereka dan seraya menyambut uluran tangannya ketika mereka hendak bergegas pulang. Sakitku terasa sedikit berkurang setelah bertemu dengan anak-anak itu.

Berselang beberapa hari setelah kejadian, ketika aku pulang ke rumah usai beraktivitas, salah seorang di rumah lalu menyerahkan sebatang coklat pasta kepadaku. “Ini e ada Choki-Choki untuk kau”. Aku langsung menyambar cokelat mini itu lalu tersenyum mengejek dan berkata: “Hah, cuma satu? Pelit amat lu” celetukku. “Eh bukan dari saya itu. Tadi ada anak-anak bajilbab yang datang antar, dibilang untuk Kak Irma. Apamu diakah?” Aku menepuk jidat. Ya ampun, pasti itu salah satu dari anak-anak yang berteduh saat hujan lalu. Aku ingin berterima kasih kepada anak itu. Ternyata sekecil apapun kebaikan kita, akan diingat oleh orang, terutama anak-anak yang sarat akan kepolosannya. Terima kasih telah mempertemukanku dengan anak-anak itu, Tuhan. 

Rabu, 23 Maret 2016

Sepucuk Surat Elektronik untuk Seseorang di Alam Lain

Salam keagamaan,

Untukmu yang berada di alam lain, apa kabarmu? Apa kamu sudah makan? Orang hebat sepertimu harus selalu sehat. Oh iya, mulai pagi tadi aku telah menambahkanmu dalam bait doaku. Walau tak menyebutkan namamu, tapi aku punya panggilan khusus untuk mendeskripsikanmu yang hanya aku dan Tuhan yang tahu. Aku memang perlu banyak belajar  agar aku bisa tahu siapa kamu. Aku tak cukup punya referensi tentangmu. Selama ini aku hanya berurusan dengan makhluk yang tidak peka, yang terkadang harus memakai cara-cara konyol untuk membuatnya peka. Tapi ini berbeda denganmu. Kamu peka namun tanpa suara.

Untukmu yang berada di alam lain, mungkin tak sulit bagiku untuk memahami sikapmu. Hanya butuh “polesan” sedikit untuk mengerti semuanya, sebab aku sudah punya dasar atas itu. Apa kamu tak sadar jika kita punya banyak kesamaan?  Kamu juga tipe pengarah, sama denganku.  Itu pula yang mungkin membuat kita sama-sama menjadi “pendiam”. Fyi, aku bukan tipikal perfeksionis. Bukan juga yang mendewakan gelar atau harta. Yang aku sangat hargai adalah sosok yang baik, cerdas, bersahabat dan sudah menjadi barang pasti harus seiman. Itu yang menjadi standar utamaku. Gelar dan harta walaupun bisa melancarkan banyak urusan, akan tak ada artinya jika orangnya kurang baik. Kalau sudah kurang baiknya, otomatis juga kurang bersahabat dan sudah pasti kurang cerdas. Mungkin jika aku tipe orang seperti itu, sudah aku iya-kan saja dari dulu ketika seseorang lulusan M.BA itu datang meminta kesediaanku. Ia memang seiman denganku, tapi kurang baik menurut kacamataku. Apalah artinya cerdas secara intelektual tanpa dibarengi dengan kecerdasan emosional dan spiritual?

Untukmu yang berada di alam lain, jika ingin mengenalku lebih jauh, bersuaralah!  Kamu punya hak untuk itu. Aku tidak se-perfect dan se-kaku yang kamu pikir. Kamu bisa mengirimkan pesan kepadaku melalui media komunikasi yang biasa kita gunakan. Walau beda alam, kita masih memakai bahasa yang sama, kan? Tak perlu ragu atau sungkan. Selagi kamu baik, cerdas dan bersahabat, aku akan menyambutmu dengan baik. Aku yakin kamu memiliki ketiga aspek itu. Itulah yang menjadikanmu menarik di mata dan di otakku.

Untukmu yang berada di alam lain, sampai disini dulu suratku. Jika kamu punya waktu luang dan punya cukup energi, kamu bisa membalas suratku melalui media apapun. Tapi kalau tidak bisa juga tidak apa-apa. Jaga selalu kesehatanmu ya! Ibumu akan sedih jika kamu dalam kelemahan tubuh. Masyarakat akan semakin menjadi-jadi keluhannya jika kamu dan kawan-kawanmu tak dapat bertugas karena sakit. Tolong sampaikan juga salamku untuk mereka. Santih.


Temanmu,


Wayan Irmayani

Selasa, 22 Maret 2016

Dik, Pokok Bahasan Sistem Reproduksi Manusia Tak Butuh Praktek

Dik, mungkin kamu tak begitu mengenalku. Bahkan mungkin kamu tak mau mengenalku, sehingga  dengan mudahnya kamu mendustai dirimu sendiri. Jujur, aku sangat kecewa atas semua hal yang terjadi padamu. Secara hereditas, kita memang tak memiliki hubungan genetik.  Tapi bukankah kita bersaudara di dalam Tuhan? Malah kamu seharusnya yang lebih tahu, karena di ajaran agamamu sering dijumpai kalimat demikian. Atas dasar itulah aku menganggapmu sebagai adik. Orang tuamu juga yang memintaku untuk turut menjagamu. Itu berarti ada sebuah kepercayaan yang mereka lihat dalam diriku.

Lalu ketika aku menjalankan tugasku sebagai seorang kakak yang selalu menginginkan kebaikan bagi adiknya, salahkah jika aku menegurmu saat kamu melakukan kesalahan? Salahkah jika aku melarangmu setelah beberapa arahan dan penjelasan tak pernah kamu indahkan? Kamu mengadukanku kepada Ibumu dan menambahkan bumbu pedas yang kamu buat-buat dalam wacanamu. Lalu Ibumu sempat berpendapat jika aku telah berlaku kasar terhadapmu. Dik, kalau aku tak peduli padamu, buat apa aku bertindak demikian? Menelponmu jika pulang lambat, mengirimimu pesan jika ada hal ganjil yang kurasa, bahkan mengecek keberadaanmu di sekolah, melalui teman atau gurumu. Itukah alasan hingga kamu melabeliku over protective? Seandainya kamu menunjukkan sikap yang baik padaku, aku tak akan pernah bahkan tak perlu melakukan tindakan spionase itu. Tak pantaskah aku curiga jika anak perempuan keluar malam dengan kekasihnya, lalu pulang dengan “keadaan tidak utuh”, atau pulang telat dari sekolah dengan berbagai macam alasan kegiatan dan setelah diselidiki ternyata ada di kos-kosan? Aku mohon maaf jika tindakanku salah dan melampaui batas. Dik, semuanya aku lakukan karena aku peduli kepadamu. Itu yang mungkin tidak pernah kamu tahu dan sadari.

Berita siang itu cukup membuat telingaku panas dan tensiku sontak meningkat. Aku merasa berdosa kepada Ibumu yang pernah menitip pesan untuk turut menjaga (mengawasi) mu. Mengapa kamu dengan mudahnya memberi akses terhadap ovummu? Atau kamu sudah lupa pelajaran Biologi tentang Sistem Reproduksi Manusia, bagaimana jika ovum bertemu sperma? Darimana kamu mendapat pembenaran atas itu semua? Kamu terlalu jauh melangkah Dik.

Di usia remajamu yang belia, usia yang semestinya kamu gunakan sebaik-baiknya untuk menimba ilmu pengetahuan, malah kamu salah gunakan. Pokok bahasan Sistem Reproduksi Manusia yang tercantum di buku Biologi yang tak ada standar kompetensi untuk dipraktekan, malah kamu lakukan. Tak pernahkah gurumu menjelaskan jika pokok bahasan yang satu itu tidak perlu praktek? Atau kamu malas membaca literatur? Disana sudah ada tercantum standar kompetensi untuk setiap pokok bahasan, dan Sistem Reproduksi Manusia hanya sebatas teoritis, TIDAK masuk dalam aspek praktis.
Perlu kamu tahu, orang tuamu jauh-jauh menyekolahkanmu kesini penuh dengan perjuangan, penuh harapan. Tak peduli seberapa lelahnya mereka membanting tulang tiap hari, melawan teriknya matahari, berjudi nasib bahkan bertaruh nyawa demi mendapatkan pundi-pundi rupiah untuk memfasilitasi pendidikanmu. Berharap agar kehidupanmu kelak setidaknya bisa setingkat lebih baik dari mereka. Sementara kamu disini, tanganmu tak pernah lepas dari gadget, kalau ada waktu kosong bukan kamu gunakan untuk belajar, tapi untuk sosmed-an, selfie-selfie-an, makan, tidur, atau huru-hara dengan teman-temanmu. Dimana letak penghargaanmu atas kerja keras orang tuamu? Apakah janin berumur lima bulan yang sedang berkembang dalam rahimmu itu yang akan kamu jadikan blueprint atas kerja keras orang tuamu dalam menyekolahkanmu?

Ketahuilah Dik, menjadi siswi itu memang gampang-gampang susah. Aku sudah mengalaminya lebih dulu. Aku juga pernah melewati masa pubertas. Masa dimana aku selalu diingatkan akan peringatan larangan pacaran oleh Ibuku. Sebenarnya masa-masa menjadi siswi itu bisa menjadi sangat manis jika berada di jalur yang benar dan akan menjadi rumit jika jalur yang benar itu dibelokkan. Masa-masa menjadi pelajar (brahmacari) adalah masa untuk mencari dan menimba sebanyak mungkin ilmu pengetahuan (dharma) dan harus bisa pula menekan dan mengendalikan keinginan atau hawa nafsu (kama). Jika bisa melewati itu semua, pantaslah kamu digelari sisya sista (siswa teladan).


Jadi sekarang, tidak usahlah repot-repot meminta maaf kepadaku. Aku sudah memafkanmu sebelum kamu memintanya. Orang tuamu adalah orang yang paling terpukul atas peristiwa ini dan kepada merekalah kamu pantas memohon maaf. Tuhanpun mungkin baru akan memafkanmu jika orang tuamu sudah bisa memberimu maaf. Bertanggung jawablah atas perbuatan besar yang telah sukses kamu lakukan. Pesanku, jaga kesehatanmu juga janin yang kamu kandung. Rawat baik-baik bayimu nanti. Kamu perlu banyak belajar dari bidan desa atau ibu-ibu yang menurutmu punya kompetensi dalam mengasuh anak. Tak perlu berkecil hati atas insiden ini. Tunjukkan pada orang tuamu dan tunjukkan kepada masyarakat bahwa kamu bisa menjadi ibu yang baik. Cukuplah itu menjadi pelajaran bagimu dan berusahalah untuk memperbaiki semuanya. Tolong jangan abaikan lagi nasehatku yang terakhir ini.

Senin, 21 Maret 2016

Bahagia Itu Sederhana: Bersyukur

Saya sempat menarik nafas dalam-dalam sambil menyeka air mata pada saat yang bersamaan. Sebuah foto sederhana dengan kualitas gambar yang tak terlalu baik entah mengapa bisa membuat saya hingga sedemikiannya. Sekilas terlihat biasa, hanya seorang pria muda dan beberapa anak-anak yang memancarkan senyum gembira. Lalu, mengapa gerangan air mata saya bisa keluar dari peraduannya jika itu merupakan sebuah foto yang melukiskan kebahagiaan?

Benar, itu merupakan lukisan cahaya yang menampakkan kebahagiaan. Senyum mereka tak mampu berbohong atas itu. Wajah anak-anak yang polos nan riang itu juga menjadi bukti bahwa mereka memang benar-benar bahagia. Tak luput juga senyuman pria muda yang menampakkan lesung pipinya. Saya benar-benar bersyukur dan berterima kasih kepadaNya telah memperlihatkan foto sederhana itu yang bisa menggugah emosi. Tersebutlah teman saya di dunia maya yang berkewarganegaraan India. Ia merupakan keturunan Brahmana yang tinggal di wilayah Shantiniketan. Ia seorang guru dan juga seniman.

Suatu hari, saat liburan tiba, ia dan anak-anak didiknya melakukan rekreasi. Di benak saya, rekreasi erat kaitannya dengan keelokan yang bisa mendatangkan rasa gembira. Pantai yang biru dengan hamparan pasir putih dan udara sepoi-sepoi yang melambaikan nyiur; sebuah danau berair hijau yang ditumbuhi beraneka pepohonan disekelilingnya; taman bunga yang harum dan semerbak dengan warna-warni yang memanjakan mata atau pegunungan yang asri dengan aliran sungai jernih. Itu semua yang terbayang jika clue rekreasi disebutkan. Tapi mereka? Teman saya dan anak-anak didiknya berekreasi disebuah sungai tandus yang hampir kering, berdebu dan tak ada pepohonan yang terlihat. Raut wajah mereka sangat ceria, seolah tempat itu indah sekali.

Ya Tuhan, betapa bersyukurnya saya terlahir di tanah surga Indonesia ini. Berapa kali lipat lagi harusnya saya bersyukur mengagumi ciptaanMu. Mereka dengan pemandangan alam yang demikian masih bisa tersenyum tulus penuh rasa gembira, apalagi saya seharusnya yang tiap hari masih bisa melihat dan merasakan sejuknya pepohonan hijau. Jika saya yang sudah terbiasa dimanjakan oleh keindahan alam ini berada posisi mereka, mungkin akan sulit bagi saya untuk tersenyum. Jangankan sebagai destinasi untuk selevelan rekreasi, berhenti sejenak di tempat demikian saja mungkin sudah ada keluhan yang muncul dalam diri saya. Sungguh, saya mendapat pelajaran baru dari foto itu. Pelajaran tentang kehidupan lebih tepatnya.


Saya menanyakan, apakah anak-anak itu benar-benar gembira, seperti yang nampak di foto itu? Teman saya pun mengiyakan. “Bukan hanya mereka, saya lebih gembira melihat kegembiraan mereka” begitu kira-kira jika di Indonesiakan. Lalu saya bertanya kembali, bagaimana pendapatnya tentang Indonesia, sebab beberapa waktu lalu ia dan pacarnya sempat berkunjung ke Bali, di rumah calon mertuanya. Ia pun mengatakan tak pernah terpikir olehnya ada alam seindah Indonesia. Wah, bahagia itu sederhana ya? Lalu, masih adakah alasan untuk tidak bersyukur?

Jumat, 11 Maret 2016

I Witness (Total Solar Eclipse)

Gerhana Matahari Total (Total Solar Eclipse) menjadi perbincangan hangat di Indonesia belakangan ini. Pasalnya, fenomena alam yang langka ini akan melewati sejumlah wilayah di Nusantara. Demam gerhana terjadi dimana-mana, termasuk di tanah kelahiran saya, Palu. Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah ini menjadi salah satu lokasi strategis untuk menyaksikan gerhana dengan durasi 2 menit dan 4 detik. Saya menjadi salah satu dari ribuan orang yang beruntung berkesempatan menyaksikan proses gerhana dengan sempurna, walau hanya menggunakan alat bantu yang sangat sederhana dan terbilang sangat konvensional. Yups, hanya bermodalkan lembaran film bekas foto Rontgen.
Beberapa hari sebelumnya, rencana menyaksikan gerhana sudah masuk dalam agenda saya. Kamera, masker dan camilan sudah saya siapkan dari jauh hari. Tapi kemudian semuanya berubah ketika saya sadar jika fenomena ini akan jatuh bersamaan dengan Hari Raya Nyepi. Pupuslah harapan untuk melakukan outbond melihat proses gerhana terjadi.

Menyaksikan GMT dari atas makam di Tempat Pemakaman Umum Talise
Ternyata Tuhan punya kehendak lain. Beliau mengizinkan “tamu bulanan” saya datang tepat sehari sebelum Nyepi. Itu berarti saya dalam keadaan cuntaka dan tidak diperkenankan melakukan komunikasi transendental. Thanks God. I know, You love me so much! Saya tak bisa menyembunyikan kegembiraan. Really really surprise. I can’t wait for it. Malam harinya (8/9) sekitar pukul 21.20, saya ditelpon oleh Bapak. Ia mengucapkan selamat beribadah Nyepi besok, semoga berhasil melakukan catur brata katanya. Ia juga berpesan, jika hendak menyaksikan gerhana, sebaiknya menggunakan alat bantu khusus.

Sambil menepuk jidat, saya baru sadar ternyata saya harus punya alat bantu tambahan untuk membantu dan melindungi indera penglihatan saya dalam menyaksikan gerhana. Saya juga teringat akan pelajaran IPA (Fisika) sewaktu SD tentang alat optik, yang mana prinsip kerja mata sama dengan kamera. Itu berarti, mata dan kamera saya butuh filter tambahan. Masa iya saya harus melewatkan fenomena alam langka ini? Ya ampun, dimana gerangan saya bisa mendapatkan semuanya jam begini? Lagi pula kondisi keamanan di kota kelahiran saya kurang bersahabat . Ah sudahlah.

Keesokan harinya sekitar pukul 05.30 saya dan tiga rekan lainnya berkumpul membicarakan lokasi yang akan kami tuju. Ada yang mengusulkan Dolo, Matantimali dan Kawasan Teluk Palu. Saya sendiri mengusulkan Taman Edukasi Nosarara Nosabatutu. Entah mengapa saya merasa nyaman jika berada disana. Ternyata dari sekian opsi yang kami usulkan, ada-ada saja sanggahan dari satu sama lain, sehingga tidak terjadi kemufakatan. Setelah hampir satu jam berdebat soal tempat dan tak membuahkan kesimpulan, entah mendapat ide dari mana, tiba-tiba salah seorang dari kami mengusulkan tempat yang terbilang tak lazim. “Kita ke kuburan Talise saja. Nanti naik ke atap kuburnya adikku. View-nya juga bagus disana” usul Ray dengan percaya diri. Pardon me. Are you bold enough? Lalu bagaimana jika waktu gelap nanti kita berempat yang tidak punya cukup nyali untuk hal-hal mistis ini dihadapkan dengan salah satu makhluk penghuni tempat itu?

Mereka meyakinkan saya dengan sejumlah formula bujuk rayu. Diantara kami berempat, saya bukanlah satu-satunya orang yang takut dengan hal-hal mistis. Tapi entah mengapa mereka itu tiba-tiba menjadi sok berani. Mungkin ada pengaruhnya dengan eclipse effect. Entahlah. Sekian lama kita duduk di atas atap kuburan, melihat Kota Palu dari ketinggian dan menunggu detik-detik gerhana. Sambil menikmati camilan pengganti sarapan, tiba-tiba ada sesuatu yang terlintas di benak saya. Teringat saat saya terlibat obrolan singkat beberapa tahun silam dengan salah seorang teman di dunia maya yang juga pengagum Albert Einstein. Ia sempat membahas tentang gerhana.

“Ray, bukannya ayahmu punya film bekas foto Rontgen itu ya? Sepertinya bisa kita gunakan” ucapku dengan pasti. Setelah saya berikan sedikit penjelasan, Ray yang juga satu-satunya laki-laki diantara kami berempat akhirnya pulang mengambil film itu. Berperang dengan rasa takut walau hari sudah sangat terang, kami bertiga memberanikan diri dan saling menguatkan tinggal di atap kuburan untuk beberapa saat sambil menunggu Ray kembali.
***
“Iyo e, jelas sekali kelihatan celetuk Jane dengan wajah gembira. Mereka bertiga bergantian melihat tampilan matahari sebelum gerhana terjadi menggunakan film bekas foto Rontgen yang dijadikan sebagai filter cahaya. Neni menggunakan sunglasses-nya ditambah dengan film foto Rontgen nampak tak kalah gembira. Ray sibuk mengabadikan proses gerhana menggunakan kamera di smartphone-nya dengan bantuan filter sederhana, film Rontgen. Saya pun senyam-senyum sendiri, gembira melihat mereka yang sangat antusias. Yah, walaupun cara kami terbilang konvensional, tapi setidaknya fungsional untuk menyaksikan gerhana matahari total secara langsung dan tentunya tidak mengganggu kesehatan mata. Jika scientists menyaksikan gerhana dengan alat optik canggih, apalah daya kami yang hanya bisa menggunakan lembaran film bekas foto Rontgen.

Gambar terbaik dari yang terburuk yang berhasil kami abadikan .
And this is it, saat yang ditunggu-tunggupun tiba. Kami berempat menjadi saksi mata gerhana matahari total yang terjadi pada tanggal 9 Maret 2016, pukul 08.27 wita dengan durasi 2 menit 4 detik. Sorakan kegembiraan diantara kami berempat saat bumi di pagi hari yang cerah berubah seketika menjadi gelap gulita akibat cahaya matahari terhalang oleh bulan, sekaligus menjadi ungkapan kekaguman atas Kebesaran dan Kemaha-kuasaan Tuhan. Awesome!! I praise dan worship You God, the creator of the solar system. Terima kasih  telah mengizinkan saya menyaksikan langsung Kemaha-kuasaanMu untuk yang kesekian kalinya melalui fenomena gerhana matahari total. Semoga dengan terjadinya gerhana matahari total yang juga bertepatan dengan Tahun Baru Saka ini, dunia ketambahan orang-orang baik dan cerdas baik secara intelektual, spiritual maupun emosional yang dapat membawa pengaruh kebaikan bagi kehidupan sesama dan semesta. Santih.
x_3badcda6