“Bagaimana mungkin aku bisa memaafkan orang yang tak
bersalah kepadaku? Tidak, aku tidak bisa. Jangan paksa aku untuk memaafkanmu!”
Untukmu yang
pernah aku perjuangkan, dimanapun dan apapun yang sedang kamu lakukan, aku
berharap semua kebaikan selalu menyelimutimu. Aku tak ingin menggunakan formula
5W+1H (who what, where, when, why and
how), untuk mengawali kalimat apapun itu yang aku tujukan kepadamu. Aku
juga berharap demikian denganmu. Ada baiknya kamu menghindari kata “mengapa”
atau salah satu unsur “W” dalam mengawali pembicaraan denganku. Kalau kamu
masih bersikukuh menanyakannya, aku hanya punya satu frasa sebagai jawabannya.
Maukah kamu tahu frasa apa yang aku maksud? “Sudah kadaluwarsa”. Itu! Hanya dua
kata.
Aku yang selalu
kamu panggil “adik” ini memang sudah (sangat) bisa menganggapmu sebagai kakak.
Ya, bukan yang lain-lain. Sebagaimana kakak-beradik, aku tak bisa lagi menaruh
perasaan-perasaan yang sulit didefinisikan itu kepadamu, begitu juga kamu
seharusnya. Lagu “Tak Pernah Padam” dari Sandi Sandoro pun kini sudah tak
relevan lagi menggambarkan perasaanku kepadamu. Jika aku punya hak untuk
merevisi lagu tersebut, maka aku akan mengganti salah satu baris liriknya
dengan kalimat berikut: “api cintaku
padamu sudah terlampau padam”. Sepertinya lirik itu sangat tepat untuk
menggambarkannya, apalagi belakangan ini memang sering terjadi pemadaman
listrik di kota kelahiranmu juga kelahiranku ini.
Wahai kakak yang
secara hereditas sama sekali tak memiliki hubungan genetik dengan adikmu ini,
kamu tak perlu meminta maaf kepadaku. Kamu tidak pernah membuat kesalahan yang
berarti. Kamu sudah menjalani dengan benar apa yang seharusnya kamu lakukan.
Jujur, aku tidak punya alasan untuk marah apalagi benci kepadamu. Memang,
beberapa bulan lalu aku sempat merasakan dada yang sesak dan organ
penglihatanku menjadi aktif memproduksi kelenjar air mata. Tapi sekali lagi,
itu bukan salahmu. Aku hanya ingin rehat dari masa-masa itu. Cuma itu.
Aku masih bisa
mengingat bagaimana aku dan kamu waktu itu. Saat kamu menelponku dari kejauhan
sana sekedar untuk menanyakan kabarku. Saat kamu bicara ditelpon denganku
hingga hitungan jam dihari Valentine. Saat kamu pertama (dan terakhir) datang
ke rumah ini menemuiku dan menjabat tanganku berkali-kali. Saat kamu
mengirimkanku sepucuk SMS hingga lima layar. Saat kamu menatap mataku
dalam-dalam dengan sorot matamu yang tajam. Yeah,
that’s all.
TAPI perlu kamu
tahu Kak, adikmu ini telah kehilangan rasa atas semua itu. Aku dapat mengingat
peristiwanya, tapi aku tak bisa lagi merasakannya. Seperti lawar tanpa baso (Bali:bumbu). Hambar! Aku masih bisa
jelas mengingat saat kamu beberapa kali menelponku, tapi aku lupa bagaimana
gembiranya aku menyambut suaramu yang dalam itu, bagaimana aku merasakan
kenyamanan saat terlarut dalam dialog bersamamu. Aku ingat saat Valentine setahun silam. Kamu menelponku
hingga menghabiskan waktu hingga hitungan jam. Tapi, aku lupa rasa senyumku,
aku lupa bagaimana rongga dadaku terasa kosong dan plong, bagaimana jantungku
secara drastis meningkatkan detakannya ketika mendengar kalimat menggelitik darimu.
Aku masih ingat saat kamu cuti (bukan cuti karena aku tentunya) dan datang ke
kota ini juga sempat menemuiku di rumah ini. Kamu mengulurkan tanganmu
berkali-kali untuk kujabat. Tapi, aku tidak bisa mengingat bagaimana sensasi hangatnya
telapak tanganmu ketika berjabat dengan telapak tanganku yang dingin dalam satu
genggaman. Aku tak bisa mengingat bagaimana aku merasa seluruh darahku
terkumpul di pipiku, yang menjadikannya merona berseri ketika dalam jarak
beberapa sentimeter harus kuat membalas tatapanmu yang dalam dan meneduhkan itu.
Kini, semua rasa yang pernah ada itu hanya bisa kubaca lewat buku harianku yang
sangat detail kutuliskan. Kak, untuk kesekian kalinya kukatakan, adikmu ini
sudah kehilangan rasa. Perasaannya kepadamu sudah kadaluwarsa, sudah habis masa
berlakunya. Tak bisa lagi dikembalikan atau didaur ulang dengan cara apapun.
Tak perlulah kamu tanyakan mengapa.
Adikmu ini telah
berhasil melewati masa-masa sulitnya, Kak. Masa dimana aku memaksa seluruh
komponen dalam diriku untuk bekerjasama melupakanmu. Tak gampang melawan ego,
Kak. Tak gampang melawan kuatnya arus. Pekerjaan move on adalah jenis pekerjaan yang sangat tidak mengasyikan dan
sangat menguras energi, waktu dan pikiran. Tapi aku rela melakukannya untuk
mengembalikan aku pada realita. Kamu tidak pernah melihat air mata adikmu ini, kan? Bahkan mungkin tak pernah terbersit
dibenakmu jika adikmu yang keras kepala dan doyan bergurau itu bisa menangis?
Lalu, setelah aku berhasil melewati semuanya, tidakkah kamu ingin memberikan
(sedikit saja) apresiasi atas kerja kerasku itu? Tidakkah kamu ingin bertepuk
tangan seperti halnya ketika kamu menjadi orang pertama yang memberikan applause kepadaku saat aku menyampaikan
ide di depan forum? Aku akan jauh lebih simpati kepadamu jika kamu bisa mengapresiasi
usahaku, ketimbang kamu meminta maaf. Bagian mananya yang harus aku maafkan
sedangkan kamu tak punya salah apa-apa padaku. Aku malah ingin mendengar kamu
mengucapkan selamat kepadaku atas suksesnya kerja kerasku dalam melupakanmu.
Bukankah itu yang dulu kamu inginkan? Kamu memang tak mengatakan ataupun
menuliskannya, tapi seperti itulah kiranya makna yang tersirat di dalamnya.
I maybe quiet, but I have so much on my mind...
Aku pikir, Tuhan
perlahan-lahan sudah menjawab doa adikmu ini, kak. Doa agar kakaknya yang
dikejauhan sana selalu diliputi kebaikan. Doa agar ia diberikan anugerah
kekuatan yang ampuh untuk bisa melupakanmu. Tapi, Tuhan Maha Bijaksana. Ia tak
mengabulkan seutuhnya. Ia hanya menghapuskan rasaku terhadapmu, bukan
keseluruhan peristiwanya. Setelah aku pikir-pikir, memang hanya itulah yang
kubutuhkan untuk mengembalikan bagaimana aku sebelum menaruh rasa kepadamu. Kamu
tahu apa yang aku gunakan untuk memampukan semua itu? Bhagavadgita. Kamu
tentunya tak asing dengan pustaka suci itu.
Sebagaimana
kakak beradik, aku ingin menyampaikan kepadamu bahwa saat ini aku sedang
meningkatkan kualitas diri agar pantas menjadi pemilik masa depan. Aku sedang
mengumpulkan energiku untuk seseorang yang tepat. Seseorang yang bisa kujadikan
teman berpikir, yang bahunya bisa kujadikan sandaran tatkala ada hal yang terlalu
sulit kucerna dengan logika, yang bisa kuajak
berbagi suka duka, yang bisa kuajak bekerjasama mengasuh dan mendidik anak-anak
suputra, yang bisa kuajak berbagi segala sesuatu tentang budaya dan agama, yang
bisa kuajak bekerjasama membangun masyarakat dan yang bisa kuajak bekerjasama
untuk menjaga kelestarian alam. Hmmmmm, masih banyak yang harus aku pelajari
agar dipantaskan olehNya untuk bertemu dengan sosok yang demikian. Aku setuju
dengan ungkapan Mario Teguh yang mengatakan: “wanita yang baik untuk pria yang
baik dan sebaliknya”. Makanya aku berusaha menjadi wanita sebaik-baiknya agar
aku pantas berjalan beriringan dengan seorang pria baik. Apakah kamu juga
sependapat dengan teori yang sangat sederhana tapi sarat makna itu?
Aku berdoa
semoga kamu segera dipertemukan dengan seseorang yang pantas olehNya. Someone who will always stand by your side through
your brightest days or/and your darkest nights. For your information, wanita itu paling suka dengan yang namanya
kepastian. Jangan pernah menggantungkan dia tanpa kejelasan. Kak, jemuran saja
kalau lama digantung bisa hilang, apalagi perasaan adikmu ini.
Jika nanti kamu
akan melangsungkan hari bahagiamu, janganlah sungkan untuk mengirimi undangan pawiwahan untuk adikmu ini. Entah kamu
akan melangsungkannya di tanah kelahiranmu yang juga tanah kelahiranku (bukan
kita) ini, atau di kampung halamanmu, jika tak ada aral melintang, aku pasti
akan datang. Begitu juga denganmu. Jika navigatorku sudah dapat menunjukkan
letak yang tepat, sebagaimana garis lintang dan garis bujur bertemu membentuk
titik koordinat, maka aku akan berpindah ke tempat itu. You must remember, everything is
going to be alright. Maybe not today, but eventually. For the last, I just
wanna say thank you for a sweetest smile as long I ever see, for all support
you’ve done and for everything can make
me mature enough. Don’t blame yourself anymore. Maybe we are not in a
relationship, but friendship will go long last between us. Just enjoy it and
let it flow! Best regards.