http://winest-wirmayani.blogspot.com/2013/04/budaya-galau-mahasiswa-vs-tipologi-dosen.html

Sabtu, 27 Februari 2016

Ketika Rasa Sudah Kadaluwarsa



“Bagaimana mungkin aku bisa memaafkan orang yang tak bersalah kepadaku? Tidak, aku tidak bisa. Jangan paksa aku untuk memaafkanmu!”

Untukmu yang pernah aku perjuangkan, dimanapun dan apapun yang sedang kamu lakukan, aku berharap semua kebaikan selalu menyelimutimu. Aku tak ingin menggunakan formula 5W+1H (who what, where, when, why and how), untuk mengawali kalimat apapun itu yang aku tujukan kepadamu. Aku juga berharap demikian denganmu. Ada baiknya kamu menghindari kata “mengapa” atau salah satu unsur “W” dalam mengawali pembicaraan denganku. Kalau kamu masih bersikukuh menanyakannya, aku hanya punya satu frasa sebagai jawabannya. Maukah kamu tahu frasa apa yang aku maksud? “Sudah kadaluwarsa”. Itu! Hanya dua kata.

Aku yang selalu kamu panggil “adik” ini memang sudah (sangat) bisa menganggapmu sebagai kakak. Ya, bukan yang lain-lain. Sebagaimana kakak-beradik, aku tak bisa lagi menaruh perasaan-perasaan yang sulit didefinisikan itu kepadamu, begitu juga kamu seharusnya. Lagu “Tak Pernah Padam” dari Sandi Sandoro pun kini sudah tak relevan lagi menggambarkan perasaanku kepadamu. Jika aku punya hak untuk merevisi lagu tersebut, maka aku akan mengganti salah satu baris liriknya dengan kalimat berikut: “api cintaku padamu sudah terlampau padam”. Sepertinya lirik itu sangat tepat untuk menggambarkannya, apalagi belakangan ini memang sering terjadi pemadaman listrik di kota kelahiranmu juga kelahiranku ini.

Wahai kakak yang secara hereditas sama sekali tak memiliki hubungan genetik dengan adikmu ini, kamu tak perlu meminta maaf kepadaku. Kamu tidak pernah membuat kesalahan yang berarti. Kamu sudah menjalani dengan benar apa yang seharusnya kamu lakukan. Jujur, aku tidak punya alasan untuk marah apalagi benci kepadamu. Memang, beberapa bulan lalu aku sempat merasakan dada yang sesak dan organ penglihatanku menjadi aktif memproduksi kelenjar air mata. Tapi sekali lagi, itu bukan salahmu. Aku hanya ingin rehat dari masa-masa itu. Cuma itu.

Aku masih bisa mengingat bagaimana aku dan kamu waktu itu. Saat kamu menelponku dari kejauhan sana sekedar untuk menanyakan kabarku. Saat kamu bicara ditelpon denganku hingga hitungan jam dihari Valentine. Saat kamu pertama (dan terakhir) datang ke rumah ini menemuiku dan menjabat tanganku berkali-kali. Saat kamu mengirimkanku sepucuk SMS hingga lima layar. Saat kamu menatap mataku dalam-dalam dengan sorot matamu yang tajam. Yeah, that’s all.

TAPI perlu kamu tahu Kak, adikmu ini telah kehilangan rasa atas semua itu. Aku dapat mengingat peristiwanya, tapi aku tak bisa lagi merasakannya. Seperti lawar tanpa baso (Bali:bumbu). Hambar! Aku masih bisa jelas mengingat saat kamu beberapa kali menelponku, tapi aku lupa bagaimana gembiranya aku menyambut suaramu yang dalam itu, bagaimana aku merasakan kenyamanan saat terlarut dalam dialog bersamamu. Aku ingat saat Valentine setahun silam. Kamu menelponku hingga menghabiskan waktu hingga hitungan jam. Tapi, aku lupa rasa senyumku, aku lupa bagaimana rongga dadaku terasa kosong dan plong, bagaimana jantungku secara drastis meningkatkan detakannya ketika mendengar kalimat menggelitik darimu. Aku masih ingat saat kamu cuti (bukan cuti karena aku tentunya) dan datang ke kota ini juga sempat menemuiku di rumah ini. Kamu mengulurkan tanganmu berkali-kali untuk kujabat. Tapi, aku tidak bisa mengingat bagaimana sensasi hangatnya telapak tanganmu ketika berjabat dengan telapak tanganku yang dingin dalam satu genggaman. Aku tak bisa mengingat bagaimana aku merasa seluruh darahku terkumpul di pipiku, yang menjadikannya merona berseri ketika dalam jarak beberapa sentimeter harus kuat membalas tatapanmu yang dalam dan meneduhkan itu. Kini, semua rasa yang pernah ada itu hanya bisa kubaca lewat buku harianku yang sangat detail kutuliskan. Kak, untuk kesekian kalinya kukatakan, adikmu ini sudah kehilangan rasa. Perasaannya kepadamu sudah kadaluwarsa, sudah habis masa berlakunya. Tak bisa lagi dikembalikan atau didaur ulang dengan cara apapun. Tak perlulah kamu tanyakan mengapa.

Adikmu ini telah berhasil melewati masa-masa sulitnya, Kak. Masa dimana aku memaksa seluruh komponen dalam diriku untuk bekerjasama melupakanmu. Tak gampang melawan ego, Kak. Tak gampang melawan kuatnya arus. Pekerjaan move on adalah jenis pekerjaan yang sangat tidak mengasyikan dan sangat menguras energi, waktu dan pikiran. Tapi aku rela melakukannya untuk mengembalikan aku pada realita. Kamu tidak pernah melihat air mata adikmu ini, kan? Bahkan mungkin tak pernah terbersit dibenakmu jika adikmu yang keras kepala dan doyan bergurau itu bisa menangis? Lalu, setelah aku berhasil melewati semuanya, tidakkah kamu ingin memberikan (sedikit saja) apresiasi atas kerja kerasku itu? Tidakkah kamu ingin bertepuk tangan seperti halnya ketika kamu menjadi orang pertama yang memberikan applause kepadaku saat aku menyampaikan ide di depan forum? Aku akan jauh lebih simpati kepadamu jika kamu bisa mengapresiasi usahaku, ketimbang kamu meminta maaf. Bagian mananya yang harus aku maafkan sedangkan kamu tak punya salah apa-apa padaku. Aku malah ingin mendengar kamu mengucapkan selamat kepadaku atas suksesnya kerja kerasku dalam melupakanmu. Bukankah itu yang dulu kamu inginkan? Kamu memang tak mengatakan ataupun menuliskannya, tapi seperti itulah kiranya makna yang tersirat di dalamnya.

 I maybe quiet, but I have so much on my mind...

Aku pikir, Tuhan perlahan-lahan sudah menjawab doa adikmu ini, kak. Doa agar kakaknya yang dikejauhan sana selalu diliputi kebaikan. Doa agar ia diberikan anugerah kekuatan yang ampuh untuk bisa melupakanmu. Tapi, Tuhan Maha Bijaksana. Ia tak mengabulkan seutuhnya. Ia hanya menghapuskan rasaku terhadapmu, bukan keseluruhan peristiwanya. Setelah aku pikir-pikir, memang hanya itulah yang kubutuhkan untuk mengembalikan bagaimana aku sebelum menaruh rasa kepadamu. Kamu tahu apa yang aku gunakan untuk memampukan semua itu? Bhagavadgita. Kamu tentunya tak asing dengan pustaka suci itu.

Sebagaimana kakak beradik, aku ingin menyampaikan kepadamu bahwa saat ini aku sedang meningkatkan kualitas diri agar pantas menjadi pemilik masa depan. Aku sedang mengumpulkan energiku untuk seseorang yang tepat. Seseorang yang bisa kujadikan teman berpikir, yang bahunya bisa kujadikan sandaran tatkala ada hal yang terlalu sulit kucerna dengan logika, yang bisa kuajak berbagi suka duka, yang bisa kuajak bekerjasama mengasuh dan mendidik anak-anak suputra, yang bisa kuajak berbagi segala sesuatu tentang budaya dan agama, yang bisa kuajak bekerjasama membangun masyarakat dan yang bisa kuajak bekerjasama untuk menjaga kelestarian alam. Hmmmmm, masih banyak yang harus aku pelajari agar dipantaskan olehNya untuk bertemu dengan sosok yang demikian. Aku setuju dengan ungkapan Mario Teguh yang mengatakan: “wanita yang baik untuk pria yang baik dan sebaliknya”. Makanya aku berusaha menjadi wanita sebaik-baiknya agar aku pantas berjalan beriringan dengan seorang pria baik. Apakah kamu juga sependapat dengan teori yang sangat sederhana tapi sarat makna itu?

Aku berdoa semoga kamu segera dipertemukan dengan seseorang yang pantas olehNya. Someone who will always stand by your side through your brightest days or/and your darkest nights. For your information, wanita itu paling suka dengan yang namanya kepastian. Jangan pernah menggantungkan dia tanpa kejelasan. Kak, jemuran saja kalau lama digantung bisa hilang, apalagi perasaan adikmu ini.

Jika nanti kamu akan melangsungkan hari bahagiamu, janganlah sungkan untuk mengirimi undangan pawiwahan untuk adikmu ini. Entah kamu akan melangsungkannya di tanah kelahiranmu yang juga tanah kelahiranku (bukan kita) ini, atau di kampung halamanmu, jika tak ada aral melintang, aku pasti akan datang. Begitu juga denganmu. Jika navigatorku sudah dapat menunjukkan letak yang tepat, sebagaimana garis lintang dan garis bujur bertemu membentuk titik koordinat, maka aku akan berpindah ke tempat itu. You must remember,  everything is going to be alright. Maybe not today, but eventually. For the last, I just wanna say thank you for a sweetest smile as long I ever see, for all support you’ve  done and for everything can make me mature enough. Don’t blame yourself anymore. Maybe we are not in a relationship, but friendship will go long last between us. Just enjoy it and let it flow! Best regards.
x_3badcda6