Beberapa hari
lalu saya kedatangan sepupu perempuan saya yang masih duduk di bangku SD kelas
1. Ia baru saja berulang tahun yang keenam. Kedatangannya disini untuk berlibur seusai
ujian semester. Anaknya ramai, mudah bergaul, cerdas dan melek teknologi. Kami
berdua cukup akrab. Mungkin karena saya sering membuatkan ia makanan-manakan
yang saya sajikan dengan bentuk yang menarik atau mungkin karena saya sering bertindak
jenaka, hingga ia betah dan nyambung berkomunikasi dengan saya. Misalnya saja
jika saya punya waktu luang dan saya hanya berdiam diri di rumah. Reduktor
alternatif kebosanan saya adalah 3M. Masak, musik dan make-up. Dapur adalah tempat saya bereksperimen membuat camilan dan
dessert. Saya juga menyukai musik, walau
saya sadar dan teramat sadar jika suara saya jauh dari predikat merdu. Selain
itu, saya juga kerap mendandani diri membuat cosplay ala tokoh-tokoh tertentu dan berekspresi di depan cermin.
Inilah yang menyebabkan beberapa item
make-up saya cepat habis. Jika orang dewasa yang tidak mengenal saya
melihat tindakan itu, mungkin mereka akan berpendapat jika saya orang aneh, stres
atau kurang kerjaan. Tapi dari perspektif anak-anak, hal itu merupakan sesuatu
yang mengasyikan dan lucu. Well, back to
the topic.
Seperti
biasanya, ia selalu mengawali pembicaraan kami. Saya yang sedang duduk manis di
kursi di ruang belajar harus membagi konsentrasi antara mengerjakan feature yang tenggat waktunya tinggal
dua hari lagi dan mendengarkan cerita dari anak ini. Sebenarnya, jika saya
sudah berada di ruang belajar, saya tidak ingin diganggu oleh siapapun kecuali
ada hal yang sangat penting. Berhubung ia masih anak-anak, saya pun
memakluminya. Ia terus melanjutkan ceritanya mulai dari aktivitasnya di
sekolah, teman bermainnya di rumah, ataupun mengulas hal-hal yang ia sukai.
Sesekali saya menatap matanya dalam-dalam dan berhenti sejenak dari aktivitas
saya agar ia merasa dirinya dihargai dan diperhatikan karena saya dengan setia
mendengarkan ceritanya. Terkadang saya tertawa lepas mendengar ia bercerita
yang disampaikan dengan bahasanya yang amat polos dan jenaka. Ah, ada-ada saja
cara anak ini untuk membelah konsentrasi saya. Dia pun terus, lagi dan lagi bercerita,
hingga saya sudah mulai kesal karena konsentrasi saya menyelesaikan feature nyaris buyar.
Berselang
beberapa menit, suasana menjadi hening seketika. Inilah kesempatan saya untuk
mengerjakan feature sambil waspada
menunggu ia akan ngoceh kembali, layaknya
menguji kesabaran saya. Sudah hampir dua menit menunggu dan ternyata belum ada sepatah
kata pun yang keluar dari bibirnya. Sudut mata kiri saya bisa menangkap raut
wajahnya yang tampaknya sedang memikirkan sesuatu. Saya tetap diam, seolah hanya
fokus pada komputer.
Ternyata dugaan
saya benar. Ia menanyakan suatu hal. Saya merasakan nafas saya tertahan
beberapa detik persis seperti saat melakukan kumbaka. Tahukan Anda apa yang ia sampaikan? Ia