“Ternyata berpura-pura tidak mencintai jauh lebih
sulit daripada berpura-pura mencintai”
Mentari
pagi mengintipku dari celah jendela, seolah membangunkanku dari buaian tidur
semalam. Aku berbegas bangkit dari tempat tidur lalu mencakupkan tangan untuk
menyampaikan ucapan terima kasih kepadaMu, Sang Pencipta. Sambil melantunkan
beberapa pujian, berharap agar Engkau tahu betapa aku mengagumi kuasaMu dan
betapa aku mensyukuri hikmatMu. Tak lupa pula kupanjatkan doa untuk mahadewa
dan mahadewi duniaku yang telah membesarkanku dengan penuh kasih, kepada para
leluhur, guru pengajian dan guru wisesa juga tak luput kuselipkan sebait doa
teruntuk Sang Dewa yang berada di bhur
loka.
Secangkir
kopi turut menghangatkan pagiku. Tak butuh waktu lama buatku untuk
menyeruputnya. Aku sudah sangat akrab dengan minuman berwarna gelap itu, bahkan
ia seolah bisa memaksimalkan fungsi otakku. Mulailah aku menggerakkan jemariku
di atas lembaran putih untuk sekedar menuangkan isi hatiku tatkala tak ada
tempat lain yang aman untuk menampungnya. Ya Tuhan, lagi-lagi dia yang ada di
benakku. Kenapa semuanya berujung padanya? Dia tak memberiku apa-apa, tetapi
mengapa dia tak pernah luput dari ingatanku? Tuhan, aku mulai subjektif. Aku
menyadari itu, tapi sulit bagiku bersikap objektif jika dihadapkan dengan hal
yang satu ini. Mana mungkin sepucuk SMS lawas yang sangat biasa tapi bisa
membuat hariku luar biasa? Ketika membacanya, aku seakan punya kekuatan baru,
ada semacam kandungan semangat dari bahasanya yang singkat dan sangat biasa
itu. Magis apakah gerangan yang diformulasikan sehingga bisa menghipnotisku
sampai sedalam itu? Aku sangat jarang berkomunikasi dengannya. Jangankan secara
langsung, lewat media pun, bisa dihitung dengan jari. Tapi mengapa dia yang
merajai pikiranku? Aku tak sanggup lagi memendamnya sendiri.
Aku
jenuh dengan keberpura-puraanku selama ini seolah tak mencintainya. Masihkah
aku bisa berkilah dan mengatakan itu bukan cinta setelah SMS yang sangat
singkat dan biasa darinya mampu membuatku senang bukan kepalang? Masihkah itu
bisa disebut bukan cinta jika aku ingin selalu tahu aktivitasnya, walau ku tahu
tak ada sedikitpun hubungannya denganku? Katanya cinta itu cenderung dekat,
tapi mengapa aku merasakan hal itu dengan seseorang yang jaraknya berpuluh
bahkan beratus mil denganku? Mengapa aku begitu merindukannya, sedangkan dia mungkin
tak pernah sekalipun menginputku dalam benaknya, apalagi merindukanku. Ah,
sudahlah.
Tuhan,
mungkin Engkau lelah dengan keegoisanku. Aku ingin dia tahu perasaanku tanpa
aku memberikan isyarat apapun tentang itu. Aku ingin dia tahu isi hatiku tanpa
mengatakan dan menunjukkan apapun kepadanya. Aku ingin dia merindukanku juga,
tanpa memberi sinyal-sinyal rindu itu kepadanya. Hingga suatu ketika akupun
sadar, dia hanya manusia biasa walaupun ada embel-embel “kedewataan” yang
melekat dalam namanya. Dia juga bukan manusia setengah dewa yang memiliki
kemampuan melebihi manusia pada umumnya. Dia hanyalah manusia biasa yang luar
biasa di mataku. Olehnya, perlu buatku untuk memberitahukan kepadanya walau
hanya 15 persen dari totalitas perasaan anehku itu terhadapnya berharap penat
di kepalaku sedikit berkurang. Mungkin aku berdosa diam-diam telah mencuri
hatinya. Mungkin itu pula sebabnya sehingga aku selalu merasa tak tenang
sebelum aku mengakui kepadanya, bahwa akulah pencurinya.
Kuyakinkan
tekad dan ku memantapkan pikiran. Aku menginstalasi semua piranti yang terkait
dengan perasaanku. Butuh waktu lama buatku mengumpulkan keberanian untuk
menyampaikan pernyataan yang terlalu pribadi itu kepadanya. Hanya dengan cara ini
dia bisa tahu dan dengan cara ini pula aku bisa melegakan hatiku yang terlampau
sesak. Aku mengukir banyak fantasi terhadapnya. Diantara semua fantasi-fantasi
itu, kepastianlah yang paling kuharapkan. Aku tak ingin jawaban yang
muluk-muluk atau yang berbunga-bunga yang bisa menimbulkan misinterpretasi. Aku
hanya butuh jawaban “ya” atau “tidak”.
bersambung...