http://winest-wirmayani.blogspot.com/2013/04/budaya-galau-mahasiswa-vs-tipologi-dosen.html

Selasa, 17 Juni 2014

“Pelancar Skripsi” Tanpa Pemanis Buatan



Terik mentari siang itu seolah sanggup membakar kulit cokelatku yang hanya mengenakan kemeja setengah lengan dan sepatu teplek tanpa kaos kaki. Entah mengapa, sepertinya aspal yang kulalui terbuat dari bara yang tengah berkobar, yang hawanya mampu membuatku bercucuran keringat. Keluh kesah tak pelak kulontarkan. Ya, keluh kesah kepada diriku sendiri, yang tak mengenakan jaket juga kaos kaki. Aku pun sesekali melirik teman di depanku yang kebetulan dialah yang mengendarai kendaraan roda dua ini, sedangkan posisiku, selalu dibelakang, tak pernah kedua tanganku bersentuhan langsung dengan stang. Aku melihat, betapa capainya dia mengendarai motor, sedangkan aku dibelakang sibuk dengan seribu omelan yang tak ada ujung pangkalnya.

Sekitar limabelas menit perjalananku, hingga sampailah di sebuah tempat yang begitu banyak menyimpan kenangan. Ya, kenangan kejahilan dan kebersamaan dengan teman-teman seangkatan saat masa-masa aktif perkuliahan dulu. Tak terasa itu sudah empat tahun silam. Ya Tuhan, sudah empat tahun aku di kampus ini tapi sampai sekarang aku belum bisa mengendarai sepeda motor. Empat tahun aku di kampus ini tapi belum bisa move on. Empat tahun aku di kampus ini tapi belum.. ah sudahlah, panjang ceritanya kalau diteruskan.
Ku langkahkan kaki perlahan, sambil sesekali menengok kiri kanan berharap ada sesuatu yang bisa menyejukkan hati, mereduksi panasnya terik mentari kala itu. Ah, hanya penjual es blender instan, walaupun dingin tapi aku tak terpikat, terlalu banyak mengandung pemanis buatan dan tak begitu baik untuk kesehatan. Tiba-tiba pandangan saya tertuju pada suatu hal. Oh My God, inilah penyejuk yang tanpa pemanis buatan, dia manis alami serta baik untuk kesehatan. Hey, mengapa kamu tiba-tiba mengusik hatiku, menembus pori-pori kulitku dengan keteduhan pesonamu? Mungkin hanya aku yang merasakannya. Ya Tuhan, betapa mulianya Engkau, memberikan sepercik keteduhan bagi jiwaku ditengah teriknya mentari siang itu. Senyumnya mampu mendinginkan panasnya Kota Palu di hatiku. Siapakah gerangan? Sepertinya dia tak asing lagi di mataku, setidaknya aku mengetahui namanya walau hanya satu kata dari sekian rangkaian kata penyusun namanya.

“Hey, kamu Bhisma (nama samaran), kan?” Aku menyapanya. Yang disapa pun berhenti tepat di depanku. Ia mengangguk sambil melontarkan sedikit guyonan dan mempebaiki kesalahan pengucapanku pada namanya. Kami tertawa sejenak dan bertegur sapa secukupnya. Beberapa hari sebelumnya aku sering melihatnya dan suatu hari lalu, aku memang pernah menemuinya untuk tujuan akademik. Selidik punya selidik, ternyata aku pernah se-tim bersamanya beberapa tahun yang lalu.
Aduh, mengapa penyejuk mata ini baru muncul, coba kalau dari semester-semester kemarin, pastinya aku bakal semangat empat lima kalau ngampus. Tapi, Tuhan biasanya selalu punya cara yang luar biasa buat aku. Lalu, apa rencana Tuhan di balik mengagumkannya sosok pria yang misterius yang manis, tanpa pemanis buatan itu terhadapku? Entahlah, mungkin Tuhan menyiapkannya untukku, agar semangatku bangkit kembali untuk menggarap Skripsiku. Ya Tuhan, betapa Aku sangat megangumimu, juga makhluk ciptaanMu yang Kau kirimkan sebagai pereduksi jiwa yang letih di tengah kendornya semangatku menyelesaikan Skripsi.
x_3badcda6