Dua
Juli dua ribu tiga belas, menjadi salah satu hari bersejarah dalam kehidupan
akademikku. Hari dimana aku merasa bahwa aku telah matang menjadi mahasiswa. Hari
dimana aku untuk pertama kalinya berhadapan dan terjun langsung dalam
masyarakat sebagai bentuk pengabdian. Rasa bangga itu tak dapat dielakkan,
senang sekali rasanya bisa mengabdi pada masyarakat desa, serasa menjadi
Pengajar Muda di Indonesia Mengajar.
Dua
bulan. Ya, tepat sekali! Siapa bilang dua bulan itu waktu yang singkat. Tidak.
Bagiku, dua bulan adalah waktu yang begitu panjang, apalagi tinggal bersama
rekan-rekan sesama mahasiswa KKN yang belum saling mengenal satu sama lain.
Disinilah kekompakan kami diuji, bagaimana menjalin hubungan kerjasama tim yang
baik agar seluruh program kerja dapat berjalan sesuai harapan. Yang namanya
belum kenal, pastilah ada hal yang mengganjal, tak seperti kerabat atau sahabat
yang telah kita kenal sebelumnya. Mengutip kata pepatah, “tak kenal maka tak
sayang”. Itulah yang terjadi. Aku kerap pesimis dengan mereka yang belum
kupahami karakternya. Kerap kali aku mengeluh, “Oh God, kenapa aku ditempatkan seposko dengan makhluk-makhluk seperti
ini”. Begitulah. Tapi, itu dalam dimensi pesimistik yang didominasi oleh egoku.
Tak dapat dipungkiri, dengan berkumpul bersama mereka, ada suatu optimisme, ada
semacam motivasi yang saya dapatkan, walau itu bukan langsung datangnya dari
mereka. Ada suatu hal yang selama ini kutentang, sampai akhirnya aku sadar
sendiri, bahwa disanalah letak dan sumber motivasi itu.
Selama
dua bulan berjalan, pergolakan diantara kami berempat kerap terjadi. Perbedaan term of reference juga field of experience membuat kami sering
terlibat konflik. Tapi, berkat manajemen yang baik, serta dibumbui oleh rasa-rasa
yang entah apa sebutannya itu, akhirnya rekonsiliasi konflik terjadi dan itu
menyebabkan hubungan kami menjadi dekat. Ada semacam hubungan timbal balik
diantara kami berempat. Mulai dari observasi, lokakarya desa untuk penentuan
program kerja, hingga pelaksanaannya selalu dibumbui aneka rasa. Kadang menyenangkan,
ada pula menjengkelkan hingga menyedihkan. Aku pun pernah mengalami semuanya,
hingga suatu ketika aku bersyukur kepada Tuhan YME telah menempatkanku seposko
dengan mereka. Dibalik kesedihan, selalu saja ada tawa yang menggema. Ada suatu
kesedihan mendalam pasca KKN, tapi mungkin hanya aku yang merasakannya.
Ketika
itu, aku duduk sendirian di Kantor Desa ditemani laptop, sebuah diary biru, MP3, buku Bhagawadgita dan
pastinya camilan tak pernah ketinggalan. Aku mengelaborasi semuanya,
mengeksplor semua kejenuhan yang kutuangkan dalam goresan pena pada diary biruku. Bhagawadgita hijau itu
bagai basis kekuatanku, mereduksi jiwaku yang perlahan rapuh, menguatkan
pikiranku dari terlampau jenuhnya aku saat itu. Pada saat yang bersamaan, aku
serasa memperoleh suatu jawaban riil tentang penyebab kegalauanku tiga hari
berturut-turut kemarin. Walau aku sudah menemukan jawabannya dan nuraniku
berkata benar, tapi egoku tetap merajai pikiranku hingga aku tak sanggup
menerima kenyataannya. Arghhh. Aku menggerutu. Kenapa ya perasaan itu muncul?
Bagaimana bisa? Mengapa harus dia? Apa yang menyebabkan? Sederet Tanya itulah
yang kutanyakan dengan hatiku. Kalau sudah begini, maka terlalu sulit bagiku
untuk menghapusnya. Melenyap-bersihkan perasaan seperti ini memang membutuhkan
waktu yang lama. Makanya, sebisa mungkin aku selalu menghindari hal-hal semacam
ini, karena aku tahu benar betapa sulitnya aku untuk menghapusnya. Inilah yang
kunamai CINTA, walau aku sendiri pun sulit mendefinisikannya.
Sering
kali aku menyendiri, mencari tempat asing dan aman bagiku untuk sekedar rehat
dari perasaan-perasaan itu. Aku khawatir, jika terlalu lama bersamanya, aku
takut perasaan itu makin menjadi, hingga akhirnya aku memutuskan untuk menjauh,
menghindar dari jangkauannya. Di lain sisi, aku selalu ingin melihat raut
wajahnya, tapi sekali lagi, aku tetap bersikukuh menahan diri. Menanyakan kabar
lewat cara sesederhana SMS pun aku enggan. Bukannya berniat sombong, bukan sama
sekali. Aku hanya ingin, agar aku tak terlalu terbawa dalam perasaan aneh itu.
Kini,
semuanya telah berlalu, walau ada segelintir hal yang tak dapat dilewatkan
begitu saja. Dua bulan adalah waktu yang panjang. Dua bulan yang mengandung
keajaiban. Dari totalitas kebencian, bisa menumbuh-suburkan rasa cinta. Sayang,
cinta itu datangnya tiba-tiba dan tanpa permisi. Seandainya saja dia pamit dulu
sebelum menguasai hatiku, pasti hal ini gak bakal terjadi. Aku berharap suatu
ketika aku bertemunya kembali, dalam waktu yang kurang dari dua puluh menit. I
hope it.