http://winest-wirmayani.blogspot.com/2013/04/budaya-galau-mahasiswa-vs-tipologi-dosen.html

Senin, 28 Januari 2013

Kerinduan Besar Sang Anak untuk Berdamai


Seekor ayam baru saja menetaskan telurnya. Menjadilah beberapa ekor anak ayam yang lucu dan juga pintar. Mereka dituntun oleh sang induk untuk mengenal kehidupan, mencari makan, hingga membela diri bahkan berlindung tatkala ada bahaya mendekat. Begitu akrabnya keluarga ayam ini, selalu ada canda gurau disetiap langkah mereka. Sang induk pun tak henti-hentinya menuntun anaknya, kelak bisa ia andalkan dan bisa meneruskan cita-citanya.
Seiring waktu berlalu, anak-anak ayam itu mulai tumbuh. Ia tak lagi seperti dulu sewaktu masih kecil. Mereka ingin menemukan jati dirinya, mengeksplorasi segala potensinya, tanpa berpatokan dengan segala peraturan yang seolah telah disusun secara sistematis oleh sang induk. Disitulah hubungan famili itu mulai renggang.
Dari kesenjangannya dengan Sang Induk, anak-anak ayam ini sebenarnya menyimpan suatu hal layaknya hubungan keluarga, ada aspek yang tak mungkin dipisahkan. Suatu kekeliruan memang jika anak-anak ini terkesan menentang induknya. Tapi, dilain sisi anak-anak ini juga mempunyai hak asasi, punya hak berpendapat, bertindak dan juga hak untuk berkembang. Mulailah mereka satu per satu berkelana, hingga masih beberapa ekor saja yang masih bersama Sang Induk.
Kepergian anak-anaknya serta perilakunya yang terkesan menentang,

Jumat, 25 Januari 2013

Jurnal atau PR?


Tak terasa sudah memasuki semester enam. Ternyata sudah 3 tahun lamanya saya berada di Universitas Tadulako. Beberapa hari ini, otak saya sedang mencerna pertanyaan-pertanyaan serupa tapi dari sumber yang berbeda. Sebenarnya hal itu sudah kupikirkan matang dari awal. Tapi entah kenapa, pertanyaan-pertanyaan itu seakan turut mempengaruhi keputusanku.
Ilustrasi PR
Ilustrasi Jurnal
Ya, pemilihan konsentrasi. Pada semester enam, mahasiswa Ilmu Komunikasi sudah menentukan konsentrasinya, Jurnalistik atau Public Relations. Inilah yang menjadi ladang kebingungan mahasiswa seangkatanku. Aku berpikir simpel, kenapa sih perlu dipermasalahkan sampai dengan pertimbangan berat, seberat-beratnya? Toh kedua konsentrasi  itu hanya berbeda tiga mata kuliah saja. Jadi kenapa mesti bingung? Kan itu sesuai dengan minat masing-masing, bukan suatu paksaan. 
Entahlah. Sepertinya ada hal besar yang mendasari kebingungan itu. Ditengah kebingungan mereka, aku telah memutuskan akan ke jalur mana aku pada semester ini dan kedepannya. Menurutku itu bukan pilihan berat. Jadi, tak sulit bagiku untuk menjatuhkan pilihan yang masih kurahasiakan dan mungkin akan membuat kaget beberapa pihak.
Baik Jurnal maupun PR, pada hakikatnya sama saja, tinggal bagaimana kita bersikap dan berusaha agar keduanya bisa “menyamankan” diri kita nantinya. Percuma saja bila menetapkan pilihan pada PR atau Jurnal, toh kita tidak berlatih. Sebab, segala sesuatunya tidak ada yang bersifat instan. Semuanya perlu latihan. Ya, penggabungan antara teori dan action, itulah yang akan menyempurnakan dan memberikan hasil pada perkuliahan ini nantinya. Jadi, baik Jurnal maupun PR, tak perlu sangat dirisaukan. Keduanya akan berdampak baik apabila kita mampu memperbaiki kualitas diri.  

Belajar itu Penting, Liburan juga Perlu


Angin berhembus sepoi-sepoi, mengiringi perjalanan kami menuju wisata pantai impian di desa yang penuh dengan kesejukan. Alam begitu memanjakan kami. Menjelang middle test semester, tak heran lagi jika setumpuk tugas dadakan mendera rutinitas mahasiswa. Sibuk sana, sibuk sini, urus ini, urus itu, tak terasa hari mulai gelap, bahkan subuhpun tak menjadi pengecualian untuk menuntaskan segala penugasan yang diberikan oleh dosen. Tapi itulah mahasiswa, tugas sudah menjadi kewajiban sekaligus haknya. Hari-hari yang terkesan rumit dan melelahkan itu biasanya berlangsung selama sebulan, sebelum final test atau midtest dilaksanakan.
Waktu seminggu itu itu biasanya dimanfatkan oleh mahasiswa untuk melakukan penyegaran alias refreshing. Ya, seperti itulah. Begitupun saya. Beberapa bulan kemarin menyempatkan diri sejenak mengunjungi kampung halaman yang berlokasi di Desa Budi Mukti, Kecamatan Damsol, masih masuk dalam kawasan Sulawesi Tengah. Bertemu dengan keluarga tercinta merupakan kebahagiaan yang teramat sangat, merasakan keteduhan kasih sayangnya yang tak pernah saya dapatkan dari manapun, kecuali mereka.
Next, alam di desaku begitu mempesona. Hamparan sawahnya, hutan, danau hingga keadaan pantainya begitu asri dan masih alami. Alam sangat memanjakan indra penglihatanku, mensyukuri karunia Tuhan yang memberiku sepasang bola mata.
Tak jauh dari desaku, terdapat sebuah danau lengkap dengan dermaganya. Danau itu terletak di Desa Talaga. Disana terdapat beraneka spesies ikan air payau yang menaungi danau itu. Akupun selalu membawa joran untuk mengail beberapa ikan yang mungkin masuk dalam umpanku. Memang ikannya yang tidak pernah kelaparan atau aku yang tidak berbakat dalam dunia permancingan, tak seekor ikanpun kuperoleh. Sial. Tapi tak apalah, kan baru sejam. Siapa tahu satu jam kedepannya kailanku memenuhi ember kecilku (ngarep.com). Ternyata prediksiku sangat salah, ikan-ikan yang begitu banyak tak satupun yang berminat mencicipi umpanku. Ya, sudahlah. Akupun pergi dengan senyuman indah yang dipaksakan dan sesekali menatap kearah danau itu.
Biarpun tak mendapatkan ikan, setidaknya liburan ini bisa memberikan penyegaran dari aktivitas keseharian yang lumayan menjenuhkan. Dan mid semesterpun sudah di depan mata. Saatnya menjalankan kembali rutinitas kampus untuk mengejar cita, menggapai mimpi, kelak beberapa waktu kedepan bisa menjadi sosok kebanggaan Bangsa Indonesia.

Ada Apa dengan Pendidikan Kita?


       Akhir-akhir ini, di media massa seolah tak henti-hentinya tersiar betapa bobroknya karakter peserta didik di Indonesia saat ini. Bukan hanya menjadi berita biasa, bahkan menjadi headline dan top of the top diberbagai media. Ada apa gerangan dengan dunia pendidikan kita yang notabene sebagai pencetak generasi yang intelektual dan berkarakter yang kini menjadi sorotan publik? Inikah luaran dari pendidikan yang telah memasukkan unsur media pembelajaran berbasis internet yang bisa diakses peserta didik secara bebas? Dimana letak kekeliruan sehingga kasus-kasus kekerasan yang kerap kali melibatkan siswa ini terjadi? Adakah kurikulum yang seharusnya direvisi agar dapat mencegah atau meminimalisir terjadinya kasus kekerasan hingga menelan korban jiwa?
Ya, pendidikan adalah sesuatu yang bersifat vital. Pendidikan sebagai aset dan investasi bangsa yang kemudian menjadi indikator kemajuan suatu bangsa. Jika pendidikannya berkualitas dan kompetitif saja, itupun belum cukup. Etikalah kemudian yang menjadi salah satu faktor penentu, berhasil atau tidaknya seseorang ditengah masyarakat, bangsa dan negara. Ini artinya, pendidikan bukan hanya sebagai produsen generasi yang cerdas secara akademik, terlebih harus cerdas pula secara emosional. Faktor kekurangcerdasan emosional inilah yang menodai dunia pendidikan saat ini dengan banyaknya rentetan kasus kekerasan yang dilakukan oleh siswa bahkan mahasiswa.
Jika ditanya inikah luaran dari pendidikan? Jawabannya tentu bukan. Pendidikan di Indonesia yang berbasis Pancasila, tidak pernah mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan konstitusi negara. Pendidikan Indonesia bertugas mendidik dan membina peserta didik agar menjadi generasi yang intelektual dan bermartabat yang mampu berkompetisi dalam skala global untuk memajukan kesejahteraan bangsa. Seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945,

Jurnal oh Jurnal...


Dunia pendidikan, secara khusus di jenjang pendidikan tinggi, saat ini dituntut untuk membuat publikasi karya ilmiah untuk mendapatkan gelar akademik. Tak hanya di tingkat doktoral dan magister, tingkat sarjanapun harus mempublikasikan karya ilmiah sebagai syarat kelulusan. Bedanya, jika jenjang strata 1 minimal dipublikasikan di jurnal lokal, strata 2  di jurnal nasional, sedangkan program doktoral atau strata 3 harus bisa menghasilkan minimal satu publikasi ilmiah yang diterbitkan pada jurnal internasional.
Sebagai suatu hal yang baru, tak jarang pro dan kontra terhadap publikasi ilmiah kerap terdengar. Ada yang sepakat dengan adanya publikasi ilmiah sebagai syarat kelulusan, tapi ada pula yang kontra karena menganggap hal ini akan memperlambat terselesainya studi mengingat tahap publikasi jurnal yang relatif memakan waktu yang lama. Bahkan di jurnal internasional, waktu dua tahun adalah hal biasa untuk rentang waktu diterbitkannya artikel.
Alasan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) memberlakukan program ini karena publikasi ilmiah Indonesia masih sangat kurang jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia. Untuk menyiasati hal itu, Ditjen Dikti mensyaratkan kepada mahasiswa mulai dari jenjang strata 1 hingga strata 3 untuk membuat minimal satu publikasi karya ilmiah berupa artikel sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
x_3badcda6